🍁013🍁

4.8K 348 2
                                    

Butuh waktu berdua adalah kalimat terakhir yang kedua anak Lucien dengar tiga hari yang lalu. Selama tiga hari itu, mereka tidak bisa bertemu dengan ibu mereka karena Lucien terus menerus melampiaskan hasratnya yang tertahan. Virgo pun, selama tiga hari itu, perlahan mulai memahami kepribadian Lucien—siapa dia sebenarnya, dan apa yang pria itu sukai darinya.

Pagi ini, Virgo terbangun tanpa menemukan Lucien di sampingnya. Ruangan kamar yang biasanya terasa hangat dengan kehadirannya kini sunyi. Virgo segera beranjak dari tempat tidur, mandi, dan berpakaian sebelum turun mencari suaminya. Suara orang memasak terdengar samar dari arah dapur, dan Virgo mengikuti aroma yang menggugah selera itu hingga ke meja makan.

Di sana, ia menemukan Lucien sedang memasak, dengan sebuah cerutu yang menyala di bibirnya. Wajahnya tampak serius, tetapi ada keanggunan tersendiri dalam gerakannya yang terampil.

"Hmm, mirip sekali dengan Sanji dari One Piece," pikir Virgo dalam hati.

Penampilannya yang berantakan namun tetap memikat, dengan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, membuat hati Virgo berdesir. Bukan karena dia mengingatkan pada karakter anime favoritnya, tetapi karena Virgo selalu menyukai pria yang bisa memasak. Hal itu selalu menjadi daya tarik tersendiri baginya.

"Lucien," panggil Virgo lembut, membuat Lucien berhenti sejenak dari kesibukannya di dapur.

"Sayang? Kenapa kamu turun? Kembalilah ke kamar, aku akan menyelesaikan ini sebentar lagi," jawab Lucien sambil memberikan instruksi halus agar Virgo kembali ke kamar.

"Tidak bisakah kita makan di ruang makan saja?" tanya Virgo sambil melangkah lebih dekat, ingin tahu apa yang sedang dimasak suaminya.

Lucien mengangkat satu alis, mempertimbangkan permintaan Virgo sejenak sebelum akhirnya menghela napas pelan. Dia meletakkan spatula yang dipegangnya, mematikan api kompor, dan melepaskan cerutu dari bibirnya. Tanpa banyak bicara, dia dengan mudah mengangkat tubuh Virgo dan mendudukannya di atas meja dapur yang dingin.

Tatapan Lucien menelusuri wajah Virgo yang kini berada dalam genggamannya. Dia mengambil sendok kecil, menyendok sedikit nasi goreng yang sudah dia siapkan, dan mendekatkannya ke bibir Virgo. 

"Coba ini," katanya lembut.

Virgo tanpa ragu membuka mulutnya dan mencicipi makanan yang disodorkan Lucien. Rasa nasi goreng yang gurih segera memenuhi lidahnya, membuatnya tersenyum puas.

"Bagaimana?" tanya Lucien, matanya penuh perhatian.

"Ini enak sekali," jawab Virgo dengan senyuman hangat, matanya berbinar.

Mendengar pujian itu, Lucien tidak bisa menahan diri. Dengan seringai tipis di wajahnya, dia mengecup bibir Virgo. Namun, kecupan itu terasa kurang bagi Lucien. Dia menunduk lagi, kali ini mencium bibir Virgo lebih dalam, seakan tak ingin melepaskan. Bibir Virgo adalah candu bagi Lucien, sesuatu yang tidak bisa dia tolak atau hindari. Ciuman mereka pun semakin intens, penuh hasrat dan kehangatan yang hanya mereka berdua yang tahu.

Di dalam dapur yang hangat itu, keduanya terhanyut dalam momen yang tak terganggu oleh apapun. Hanya ada mereka, rasa yang membara di antara mereka, dan cinta yang meski sering kali terbungkus dalam dominasi, tetap terasa begitu nyata. 

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Lucien perlahan melepaskan ciumannya, mengakhiri momen yang begitu intens dengan kehangatan dan gairah. Dia menatap dalam-dalam ke mata Virgo, melihat refleksi dirinya dalam iris yang lembut itu.

"Sayang, tunggulah di ruang makan," bisiknya, suaranya rendah dan penuh perhatian. "Aku hampir selesai dengan masakanku. Hanya butuh beberapa menit lagi."

Virgo, yang masih sedikit terengah-engah setelah ciuman panjang itu, hanya bisa mengangguk. Ada kehangatan yang menjalari tubuhnya, efek dari ciuman Lucien yang masih terasa di bibirnya. Tanpa kata, dia turun dari meja dapur dengan bantuan Lucien, langkahnya sedikit goyah karena perasaan yang membuncah di dalam dirinya.

Lucien mengawasi setiap gerakan Virgo dengan tatapan yang lembut, tetapi tetap ada bayangan gairah yang belum sepenuhnya hilang dari matanya. Dia tersenyum kecil saat Virgo akhirnya melangkah keluar dari dapur, menuju ruang makan seperti yang dimintanya. Setelah memastikan istrinya merasa nyaman, Lucien segera kembali ke kompor, melanjutkan masakannya yang hampir selesai.

Dengan tangan yang cekatan, dia mengaduk bahan-bahan terakhir, menambahkan bumbu dengan presisi yang hanya dimiliki oleh seseorang yang ahli. Meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan kehadiran Virgo, Lucien tetap fokus pada apa yang sedang dia lakukan. Setiap langkah dipikirkan dengan matang, karena dia ingin menyajikan sesuatu yang istimewa untuk wanita yang begitu dicintainya.

Sementara itu, di ruang makan, Virgo duduk dengan hati yang tenang, tetapi penuh dengan antisipasi. Dia menatap meja makan yang sudah tertata rapi, menunggu saat ketika Lucien akan datang membawa hasil masakannya. Pikirannya berkelana, memikirkan semua yang telah terjadi, semua perasaan yang kini mulai muncul dan berkembang antara dirinya dan Lucien. Ada banyak hal yang dia belum pahami sepenuhnya, tetapi satu hal yang pasti: Lucien, dengan segala kerumitannya, adalah seseorang yang dia mulai cintai dengan cara yang unik dan tak terduga. 

Setelah menikmati sarapan yang disiapkan oleh Lucien, Virgo merasa kenyang dan puas. Makanan yang dihidangkan tidak hanya lezat, tetapi juga disiapkan dengan penuh perhatian, membuatnya merasa semakin dekat dengan pria yang kini menjadi suaminya. Mereka berdua duduk di meja makan, suasana yang awalnya tenang kini terasa lebih hangat dan penuh keakraban.

Lucien meletakkan garpu dan sendok dengan rapi di atas piringnya, menatap Virgo dengan senyum lembut yang jarang dia perlihatkan. 

"Jadi, Sayang, apa pendapatmu tentang pria yang suka memasak?" tanyanya, suaranya terdengar tenang namun penuh rasa ingin tahu.

Virgo, yang masih merasakan kehangatan dari ciuman dan sarapan tadi, mengangkat kepalanya dan menatap Lucien dengan binar di matanya. Senyum lebar muncul di wajahnya, menambah keindahan yang sudah terpancar dari dirinya. 

"Pria yang suka memasak itu sangat menarik," jawabnya dengan jujur. "Aku selalu menyukai pria yang bisa memasak. Ada sesuatu yang begitu memikat tentang seorang pria yang tahu bagaimana meracik rasa dan menyajikan makanan dengan cinta."

Lucien memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibir Virgo, menikmati cara dia bicara dengan begitu antusias. 

"Jadi, aku berhasil memikat hatimu dengan kemampuanku di dapur?" godanya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, masih dengan tatapan penuh minat.

Virgo tertawa kecil, senyumnya semakin lebar. "Bukan hanya karena memasak, Lucien," katanya lembut. "Tapi karena kamu melakukan semuanya dengan begitu tulus. Aku bisa merasakan betapa kamu peduli. Itu yang paling berharga."

Mendengar itu, Lucien merasa hatinya menghangat. Dia sudah tahu bahwa Virgo adalah seseorang yang istimewa, tapi mendengar bahwa dirinya juga berarti sesuatu bagi wanita yang dia cintai, itu adalah perasaan yang luar biasa. 

"Kalau begitu, mungkin aku harus memasak lebih sering," katanya sambil tertawa kecil, meskipun dia sebenarnya cukup serius dengan kata-katanya.

Virgo mengangguk dengan penuh semangat. "Aku tidak akan menolaknya," katanya, matanya masih bersinar. "Mungkin, kita bisa memasak bersama suatu hari nanti."

Lucien terdiam sejenak, memandangi Virgo dengan penuh kasih sayang. "Itu terdengar seperti ide yang bagus," jawabnya akhirnya, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya. "Aku akan sangat senang bisa berbagi dapur denganmu."

Percakapan mereka berlanjut dengan ringan, tapi di balik semua itu, ada perasaan yang semakin tumbuh antara mereka berdua. Bukan hanya sekadar ketertarikan fisik, tapi juga koneksi yang lebih dalam, sebuah keinginan untuk saling memahami dan mendukung satu sama lain dalam segala hal. Dan itu membuat pagi mereka menjadi semakin indah. 


***

Im Sorry I Cant be PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang