🍁028🍁

3K 261 15
                                    

Jika Sebastian adalah tipe pria mesum dengan sejuta kehangatan, maka Lucien adalah kebalikannya—arogan, kasar, dan blak-blakan. Di sisi lain, Clovis merupakan pribadi ceria dan kreatif, sementara Klause adalah pria yang keras, bossy, dan sangat sensitif. Lalu, Cedric hadir sebagai sosok yang pendiam, perfeksionis, dan ambisius.

Meski karakter mereka berbeda, ada beberapa sifat yang menjadi benang merah di antara mereka. Mereka semua manipulatif, memiliki harga diri yang tinggi, penipu ulung, dan hampir tidak pernah merasa bersalah. Emosi yang mereka miliki sering kali dangkal, dan empati tampaknya adalah sesuatu yang nyaris tidak ada dalam diri mereka.

Di balik perbedaan dan persamaan itu, masing-masing dari mereka memiliki cara sendiri dalam menunjukkan ketertarikan, kendali, atau bahkan cinta, meski seringkali terbungkus dalam tindakan yang kelam dan sulit dimengerti oleh orang lain.

Kata orang, orang baik akan berkumpul dengan orang baik, dan orang jahat akan berkumpul dengan orang jahat. Orang baik dan orang jahat tidak akan pernah bisa berjalan seiring, karena dunia mereka berbeda. Namun, bagi mereka yang berada di sisi gelap, kesamaan dalam sifat buruk adalah ikatan yang kuat.

Meski tampak memiliki kepribadian yang bertolak belakang, mereka—para penghuni dunia kelam—dapat bersatu karena satu hal: kecenderungan untuk memanipulasi, berbohong, dan menipu. Keburukan itu adalah jembatan yang menghubungkan mereka, menjadikan perbedaan sifat tidak lagi penting. Mereka hidup dalam bayang-bayang dunia, di mana kebaikan jarang ditemukan, dan kesetiaan hanya diberikan pada mereka yang memiliki kepentingan serupa.

Meskipun pekerjaan mereka berbeda, perilaku dan karakter yang mereka tunjukkan juga tidak pernah sama, kelima pria itu jarang sekali berada di satu tempat dalam waktu yang lama. Namun, demi satu wanita, mereka rela bekerja sama—meskipun bagi banyak orang, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tabu.

Perbedaan yang ada di antara mereka sering kali menciptakan jarak yang tak terlihat. Tapi, ketika menyangkut wanita yang mereka cintai, perbedaan itu sirna. Mereka, yang biasanya bergerak sendiri-sendiri dalam bayang-bayang, siap menyingkirkan ego masing-masing. Bagaimanapun, wanita itu adalah satu-satunya alasan yang bisa menyatukan mereka, meskipun dunia luar tak akan pernah memahaminya. 

"Ced, gimana kalian bisa menikahiku bersamaan? Aku udah tanya ke Clovis, tapi dia nggak kasih jawaban jelas. Sebenarnya apa yang terjadi di antara kita semua?" tanya Virgo dengan nada penasaran.

Cedric mengubah posisinya, bangkit dari rebahan dan menatap Virgo dalam-dalam. Tatapan itu begitu intens hingga membuat Virgo sedikit gugup. Cedric kemudian merengkuh tubuhnya lagi, menariknya ke dalam pelukan hangat, sebelum membaringkannya kembali di atas ranjang.

"Nggak ada yang terlalu spesial. Mungkin buat Clovis, pernikahan itu cuma hal konyol. Bayangkan saja, bagaimana mungkin kami berlima bisa mencintai satu wanita yang sama, lalu menikah denganmu bersamaan ketika kita masih sekolah?" jawab Cedric sambil tertawa kecil, nada suaranya terdengar santai meski ada sedikit ironi di baliknya.

Virgo mengerutkan kening, masih tak percaya dengan cerita yang baru saja didengarnya. "Jadi, kita semua saling mencintai? Gimana bisa aku kayak gitu? Apa aku lagi kesambet waktu itu?" 

Cedric tertawa lebih keras kali ini. Mendengar pertanyaan Virgo yang nyeleneh membuat suasana sedikit lebih ringan. Tidak aneh jika Virgo merasa tidak percaya dengan cerita itu. Bagaimana tidak? Cerita itu terdengar tidak masuk akal, hanya sebuah rangkaian kata yang seolah tidak pernah terjadi.

Namun, Cedric tahu lebih dari siapapun bahwa di balik tawa dan canda, ada kebenaran yang kelam. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya—bahwa mereka berlima awalnya memaksa Virgo. Menikahinya bukanlah keputusan yang lahir dari saling mencintai, melainkan karena cinta sepihak dari mereka. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, sudah pasti Virgo akan melarikan diri lagi—seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Cedric bukan orang bodoh yang akan memancing kekacauan dan membuat sisi gelap sahabat-sahabatnya bangkit kembali. 

Selama ini, ia sudah berusaha keras mengembangkan alat untuk menghapus dan merancang ulang ingatan seseorang. Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada kemajuan yang berarti dari proyek rahasianya itu. Meski begitu, ia tetap berusaha menjaga Virgo di sisinya dengan cara apa pun, meskipun itu berarti menutupi kebenaran untuk selamanya.

Cedric menatap Virgo dalam diam, matanya berbinar dengan perasaan yang tak terungkapkan. Seolah-olah waktu berhenti di sekitarnya, hanya ada mereka berdua di dunia ini. Ia perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Virgo, memperhatikan setiap detail wajahnya yang begitu ia hafal—garis halus bibirnya, lekukan pipinya, hingga pancaran matanya yang redup.

Tanpa berkata-kata, Cedric membungkuk lebih dekat, jemarinya yang panjang dan dingin menyentuh lembut dagu Virgo, mengangkatnya sedikit untuk mendekatkan bibir mereka. Tanpa menunggu lebih lama, ia menempelkan bibirnya ke bibir Virgo, menciuminya dengan lembut namun penuh gairah. Bibir Cedric yang dingin menyatu dengan bibir Virgo yang hangat, memberikan sensasi yang membuat Virgo merinding.

Ciuman itu terasa begitu dalam, penuh dengan keinginan yang selama ini Cedric pendam. Setiap gerakan bibirnya adalah ungkapan perasaan yang tak mampu ia sampaikan dengan kata-kata. Tidak ada rasa terburu-buru, Cedric menikmati setiap detiknya. Ia memperlambat temponya, seolah ingin mengabadikan momen ini.

Virgo terdiam dalam pelukannya, merasakan setiap sentuhan dari bibir Cedric yang seolah menuntut balasan. Meski ia tahu ada banyak hal yang belum terjawab, ada sisi dirinya yang tak kuasa menolak. Jantungnya berdetak lebih cepat, tubuhnya merespons sentuhan Cedric secara alami.

Setelah beberapa saat yang terasa abadi, Cedric akhirnya melepaskan ciuman itu, meskipun enggan. Bibir mereka terpisah, dan Cedric menatap Virgo dengan mata yang berbinar, senyum tipis terukir di wajahnya. Ia tetap dekat, menghirup napas lembut Virgo, menikmati kehangatan yang tersisa dari momen intim mereka.

"Sayang, kamu selalu bikin aku nggak bisa berhenti," bisik Cedric dengan nada lembut, suaranya serak namun penuh cinta.

Virgo menelan ludah, matanya masih terpaku pada Cedric. Ia tahu, meskipun Cedric tidak banyak bicara, ciuman itu sudah menyampaikan semua perasaan yang selama ini ia pendam.

Cedric tetap memandang Virgo dengan intens, kemudian tiba-tiba suaranya menjadi lembut namun sarat dengan keraguan yang jarang ia tunjukkan. 

"Virgo, apa aku terlihat seperti ... monster bagimu? Karena, kamu tahu ... aku terlahir seperti ini," katanya, suaranya bergetar tipis.

Ia merujuk pada kondisi albinonya—rambutnya yang putih, alis, dan bulu matanya yang juga serupa dan mata yang berwarna merah. Semua aspek fisik yang sering ia anggap sebagai kutukan, membuatnya berbeda dari orang-orang di sekelilingnya.

Virgo mengerutkan kening sejenak, matanya menelisik wajah Cedric yang dipenuhi kecemasan. Ia tahu Cedric sangat jarang menampilkan sisi rentan ini, terutama di hadapannya. Virgo menghela napas pelan dan dengan gerakan lembut, ia meletakkan tangan di pipi Cedric, menatapnya dalam-dalam.

"Tidak, Ced," jawabnya jujur, suaranya tulus. "Kamu nggak pernah kelihatan seperti monster. Malah sebaliknya."

Cedric menatapnya, tampak terkejut, seakan ia belum pernah mendengar kata-kata seperti itu dari orang lain sebelumnya. Virgo melanjutkan, tanpa henti menatap mata Cedric yang berwarna pucat, begitu dalam namun penuh rasa penasaran. 

"Kamu itu cantik dan juga tampan. Mungkin nggak secantik Clovis, ya aku jujur soal itu," Virgo tertawa kecil, mencoba meringankan suasana.

Cedric ikut tersenyum samar, ia mengingat jawaban yang sama 19 tahun yang lalu.

"Tapi, Ced, ketampananmu beda. Unik," lanjut Virgo dengan serius. "Kamu punya keindahan yang nggak dimiliki orang lain. Cara kamu membawa dirimu, caramu menatap, dan ketulusan yang kamu sembunyikan di balik dinginnya sikapmu. Itu yang membuatmu istimewa."

Virgo membelai pipi Cedric, memberikan sentuhan penuh keyakinan. "Kamu mungkin melihat dirimu berbeda dari yang lain, tapi bagi aku kamu sempurna dengan caramu sendiri."

Cedric terdiam, matanya berkaca-kaca ia sedang mencerna setiap kata yang diucapkan Virgo. Jawaban yang sama meski Virgo hilang ingatan, di balik topeng kedinginan dan kontrol yang selalu ia jaga, hanya Virgo yang bisa menyentuh sisi dirinya yang paling rapuh.

Ia menggenggam tangan Virgo di wajahnya, mendekatkan bibirnya ke tangannya, mencium punggung tangan Virgo dengan lembut. 

"Kamu selalu bisa membuatku merasa lebih baik," bisik Cedric. 


***

Im Sorry I Cant be PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang