Kamu yang mancing emosi saya

190 35 21
                                    

Molly menatap pantulan wajahnya di cermin. Dulu saat dia masih sekolah, bahkan sampai kuliah, dia sering dipuji dengan keayuan mukanya. Saat itu dia percaya diri sekali. Tak heran sikapnya jadi semau-maunya, sebab dia merasa parasnya dapat menyelamatkannya dari masalah.

Sekarang sebaliknya. Molly merasa buruk rupa. Matanya belo. Hidungnya tirus. Pipinya kempot. Warna wajahnya pun pucat. Heran juga Aiden masih mau bersamanya dengan tampang istrinya yang seperti itu.

Sedangkan Aiden. Makin tua makin matang. Kematangannya itulah yang menambah daya tariknya. Dia terlihat tampan dengan wibawanya.

Molly melengos. Dia galau. Apa dia bisa bekerja dengan penampilannya yang sekarang? Dengan Aiden yang tidak menghargai perubahannya, Molly jadi merasa kecil. Tidak berarti apa-apa. Tidak menarik. Tidak ada tujuan.

Pria itu masuk ke kamar. Raut mukanya tampak pahit.

"Ini.. ada proyek yang terancam tidak dibayar klien," katanya menjelaskan.

"Aku yakin Mas bisa menyelesaikan masalah itu."

"Harus, harus. Kalau tidak rugi dong perusahaan saya!"

"Mas."

"Apa, Molly?"

"Aku sudah tahu aku mau apa."

"Apa?"

"Aku mau kerja."

"Ya sudah. Kamu tahu kan apa yang perlu dipersiapkan?"

"Mas."

"Apa, Molly? Cepatlah. Saya mau mandi nih."

"Oh! Nggak. Mas.. Mas mandi saja."

Kedua mata Aiden membelo saat perempuan itu mendekati lemari, menarik handuk dan piyama untuk suaminya. Terang Aiden heran. Tumben perempuan itu tak perlu diberitahu apa yang harus dilakukannya.

Ketika menyodorkannya pada Aiden, Molly tersenyum, "Aku mau, Mas, melakukan apa yang aku kehendaki."

Aiden ikut mengulas senyum lega. "Baguslah! Itu namanya orang dewasa. Kamu. Kamu mau mandi bareng nggak sama saya?"

Molly menggeleng. "Aku lagi tidak mau melakukan itu."

"Masa tidak mau?" Aiden berdecak kecewa.

"Ya aku harus tegas kan, Mas. Kalau tidak mau ya tidak mau!"

"Hh.. ya sudahlah."

"Mas tanya dong kenapa aku tidak mau."

"Kenapa kamu tidak mau?"

"Mas tega sama aku."

"Saya tega?" ulang Aiden naik darah. "Kamu... apa? Apa yang buat kamu berpikir saya tega?"

"Ini. Mas emosian."

"Ya karena kamu mancing emosi saya!"

"Mas."

"Apa?!"

Molly menatap sendu pria itu. "Aku jelek ya, Mas?"

"Huh?"

"Mas tahu tidak, aku itu tidak mikir panjang untuk memotong rambutku di salon. Karena aku ingin Mas senang lihat aku!"

"Tapi kan kamu ngikutin gayanya Nila."

"Bagus kan, Mas? Jadi lebih rapi. Lebih segar."

"Molly. Saya tidak suka kamu mengubah diri kamu jadi orang lain. Saya kan nikahinnya kamu. Molly. Bukan Nila. Bukan perempuan lain mana pun."

"Iya?" Mata Molly berbinar-binar. "Mas suka aku apa adanya?"

"Iya."

"Sekalipun aku suka marah? Menyebalkan? 11-12 sama Mas?"

"Tuh kan mulai lagi."

"Aku cantik nggak, Mas?"

Pria itu memutar bola matanya. Enggan menjawab.

"Mas ayo dong jujur." Molly merayunya.

Pandangan pria itu turun ke wajah Molly. "Cantik. Biar cepat!"

"Mas......"

"Nyebelin banget sih," potong Aiden mengikuti gaya bicara Molly.

Aiden terkejut. Tahu-tahu pipinya dikecup Molly.

"Aku senang, dibilang cantik." Senyum Molly melebar.

"Kalau gitu mau dong.. anu.. di kamar mandi?" Aiden menyeringai penuh maksud.

"Tidak!" jawab Molly, menggeleng. "Tidak kalau Mas masih kasar!"

"Molly!" sergah Aiden memprotes. Lambat-laun dia sadar. Percuma memaksa perempuan yang keras kepala itu. "Ya sudah! Aku mandi sendiri juga tidak apa-apa kok!"

Dont Ever Let Me Go | 21+ #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang