Niat busuk Ben

105 20 55
                                    

Mobil Aiden berhenti di depan gedung kantor punya Ben. Sebelum Molly turun, Aiden meraih tangannya, mengecupnya.

"Nanti kasih tahu supir ya untuk dijemput."

"Iya, Mas! Mas hati-hati ya ke kantor."

"Molly."

"Iya, Mas?"

"Sun dulu."

"Eh?" Kikuklah Molly. Dia tidak terbiasa bermesraan di depan orang lain.

"Kenapa?"

"Nggak enak," sahut Molly merujuk pada supir.

"Nggak apa-apa. Ayo." Aiden mendekatkan pipinya ke bibir Molly.

Secepat kilat Molly mencium. Mukanya memerah. "Sudah ya, Mas! Doakan aku!"

"Pasti."

Pada hari pertama bekerja tidak banyak yang Molly lakukan. Dari ruang HR dia diantarkan ke ruangan khusus bagian agen pemasaran. Atasan yang seharusnya memberikan orientasi padanya lagi tidak masuk ke kantor.

Dia berkenalan dengan agen-agen yang lain. Tapi mereka tak bisa lama-lama ngobrol. Mereka semua sibuk. Kebanyakan keluar untuk menemui calon klien. Sisanya berkutat dengan komputer mereka.

Ben si direkturlah yang menghampiri Molly di meja kerjanya. Menyapanya dengan senyum lebar.

"Molly! Masih ingat tidak sama aku?" Dia mengulurkan satu tangannya.

Molly berdiri, menerima uluran itu. "Masih, Kak - eh Pak."

"Santai saja. Duduk, duduk." Ben kemudian duduk di kursi kosong sebelah kursi Molly. Begitu perempuan itu duduk juga, Ben bicara lagi, "Maaf ya manajer kamu lagi ada halangan. Anaknya sakit. Jadi hari ini kamu coba baca-baca saja modul yang ada."

"Baik, Pak."

"Molly, aku senang lho bisa ketemu kamu lagi. Terakhir tuh saat aku dan Cessa lulus kuliah ya. Kamu waktu itu masih SMA. Nggak nyangka. Kamu malah nikah sama Aiden. Kukira dia bakal sama..." Ben memotong ucapannya sendiri. "Ya nasib tidak ada yang tahu, ya."

"I.. iya, Pak," jawab Molly agak gugup. Dia tidak yakin bagaimana seharusnya dia bersikap. Ben rileks sekali sementara mereka kan di lingkungan kerja. Jadi Molly jawab sesopan dan sekenanya saja.

"Di sini kita santai saja, cuma harus serius saat berurusan dengan pihak lain, terutama klien," tambah Ben seakan mengerti pertanyaan di benak Molly.

"Baik, Pak."

Ben beringsut. Dia ingatkan pada tim agent. "Ini Molly dibantu ya. Kalau ada waktu diajarin juga soal properti yang di Bogor itu. Karena kemungkinan Molly yang akan handle."

"Siap, Pak!" jawab mereka serentak.

"Oke, Molly, aku ke ruang kerjaku ya."

Molly mengangguk. Pria itu berlalu dari hadapan Molly.

Sebelum Ben masuk ke ruang kerjanya, dia menghampiri asisten pribadinya. Dia tegur, "Bagaimana? Kamu sudah mulai lakukan apa yang saya minta, kan?"

Asisten pribadinya mengangguk.

"Ingat ya, setiap saya sama Molly, kamu harus foto."

Ben masuk ke ruang kerjanya. Dia pejamkan kedua matanya. Membayangkan Molly. Wajahnya yang manis. Senyumnya yang polos.

Sesaat Ben mengingat masa lalu. Ketika dia berada di rumah Cessa. Dari sanalah perasaannya pada Molly tumbuh.

Sayangnya dulu dia tak punya keberanian untuk mengakui apa yang dia rasakan. Cessa yang melarangnya karena Molly masih di bawah umur. Ditambah lagi dengan situasi keluarga Ben yang saat itu dilanda keretakan.

Lulus kuliah Ben ikut ayahnya ke Amerika. Sempat dia pulang untuk menemui Molly yang sudah bukan anak-anak lagi. Tapi yang ada dia sakit hati. Yang dia dengar dari Cessa, Molly sudah punya pacar.

Ben bisa saja mengejarnya saat itu, namun ayah Ben meneleponnya untuk segera kembali. Ben pun menyerah.

Namun sekarang, Ben tidak punya lagi alasan untuk mundur. Dia sudah di sini. Dekat Molly. Dan dia bisa merebut Molly dari Aiden. Ben tahu betapa Aiden mencintai tunangannya yang meninggal itu.

Cinta Aiden pada Molly tidak besar. Tidak sebesar cinta Aiden pada mantan kekasihnya. Tidak sebesar cinta Ben pada Molly!

Ben akan merenggangkan hubungan Molly dan Aiden, bahkan sampai putus. Mula-mula dia suruh orang memasukkan kotak kondo* ke dalam tas Molly. Tentu agar lebih mencurigakan, kotak itu sudah dibuka dan beberapa diambil. Lalu dia akan buat Molly tersenyum, bahkan tertawa di dekatnya, untuk difoto dari jauh.

Yang terakhir dia akan benar-benar bawa Molly ke dalam dekapannya. Aiden akan benar-benar melihat Ben dan Molly melewati batas terlarang itu.

Ah, membayangkannya saja sudah buat Ben tersenyum senang.

Ah, membayangkannya saja sudah buat Ben tersenyum senang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


** I hope you like the story **

Dont Ever Let Me Go | 21+ #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang