Maafkan saya, Molly

145 25 53
                                    

Cessa tidak masuk ke kamar adiknya. Dia berdiri di dekat pintu dan memberitahu, "Aiden ada di bawah ya. Nginep dia."

"Kenapa kasih dia numpang lagi?"

"Dia kan masih keluarga kita, Molly. Lagian hari ini cukup panjang. Bagi Kakak. Bagi suami kamu. Bagi Ben."

"Urusannya sama Ben?"

"Menurut kamu kenapa muka Kakak dan Aiden lebam begini?"

"Kalian berantem?"

"Iya!"

"Oh.. maaf ya, Kak. Kakak jadi repot. Tapi siapa yang Kakak ajak berantem? Ben atau Aiden?"

"Ben."

"Kakak! Yang menyakiti aku kan Aiden!"

"Dia begitu karena keusilan Ben!" sahut Cessa tak mau kalah. "Sudah ya! Kakak tidur dulu!"

Sempat Molly tidur. Tengah malam dia terjaga. Tenggorokannya terasa kering. Dia turun dari kasurnya.

Dia butuh air. Ya. Air. Di mana air? Di dapur! Ya ya ya. Dia butuh minum! Bukan ketemu Aiden!

Ketika matanya bertemu mata pria itu lagi, dia mencelos. Aiden masih di sana. Mengusap-ngusap mukanya dengan handuk yang dibasahi air es.

Aiden meletakkan handuknya di atas meja. Dia berdiri dekat Molly. "Perlu apa, Molly? Saya ambilkan."

"Bisa sendiri."

"Benar? Nanti capek lho bumil!"

"Orang cuma ambil air."

"Saya saja kalau gitu!"

"Ngapain sih kamu malam-malam di rumah orang?! Sejak dulu maiiiiin terus ke sini. Kan punya rumah! Pulang dong ke rumah sendiri!" omel Molly kesal.

"Gimana ya..." Aiden menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.

Kalimat Aiden menggantung.

Molly mendecih. "Gimana apa?!"

"Saya maunya di sini. Dekat kamu."

Tidak tahan Molly mendengar bualan itu. Dipukulnya dada pria itu. "Omong kosong!"

"Argh! Molly!" desis Aiden kesakitan.

"Eh?" Raut wajah Molly berubah panik. "Kenapa? Sakit?"

Sebenarnya... sakit banget! Tapi Aiden memasang senyum tegar. "Nggak! Pukul lagi dong! Senang deh dipegang sama kamu!"

Molly tidak tergugah. Dia ke rak khusus gelas, meraih satu gelas dan meletakkannya di dispenser. Setelah gelasnya terisi penuh, dia minum.

Aiden menunggu saja.

Sampai air itu habis ditelan.

"Sakit ya?" tanya Molly serius. Dia membuka kancing kemeja Aiden.

"Eh?"

Molly membuka bagian atas kemeja Aiden. "Coba buka dulu deh."

Aiden menurut. Dia menanggalkan kemejanya, lalu melepas kaos dalamnya.

Sejenak Molly diam. Badan Aiden rupanya memar juga. Dari situ Molly bisa bayangkan pertengkaran yang sengit antara Aiden dan Ben.

"Aku ada obat memar di atas. Bentar ya aku ambilkan."

Molly memutar tubuhnya.

Detik itu juga dia ditahan. Kedua tangan Aiden membekap tubuhnya. Molly dipeluk dari belakang.

Suara bisikan Aiden menggelitik tengkuknya. "Maafkan saya ya, Molly. Saya tidak seharusnya meragukan kamu."

"Lepas," kata Molly dingin.

"Nggak! Sampai kamu mau memaafkan saya!"

"Ya ampun. Mana ada sih, minta maaf maksa begini? Kamu saja harus hukum saya untuk memaafkan saya. Kamu sakiti saya setiap kita melakukan itu! Sekarang minta maaf, dikira gampang dengan ngomong gitu saja? Hati saya tuh sakit banget!" Molly mengurai kedua tangan Aiden hingga dia terlepas dari rangkumannya. Dia membalikkan tubuhnya. Mendongak, menatap pria itu dengan sorotan nanar. "Saya selalu berusaha menyenangkan hati kamu. Tapi kamu selalu... ya selalu! Sakiti saya. Suruh saya keluar dari rumah kamu. Dan kamu suruh saya balik lagi ke sana. Untuk apa?! Untuk apa juga kamu nampung wanita seperti saya?"

"Molly, saya minta maaf dengan ucapan saya waktu itu...."

"Diam! Yang saya mau kamu dengar saya!"

"Ba.. baik."

"Saya cuma mau bertahan sampai anak ini lahir. Selama saya hamil, saya tidak mau kamu ganggu saya! Ngerti?"

"Maaf, Molly, saya nggak bisa..."

"Ngerti atau nggak?!" bentak Molly geram.

Demi kesehatan Molly dan kandungannya. Demi kebahagiaan Molly. Aiden mengingatkan dirinya.

Dia perlahan mengangguk.

"Saya mengerti, Molly."

"Ya sudah. Sekarang ayo ke atas. Kita oleskan obatnya dulu ke badan kamu."

Next: EPILOG

Dont Ever Let Me Go | 21+ #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang