Punya pendirian dong!

170 32 25
                                    

Keminderan itu tak bisa diabaikan. Di depan Aiden dan asprinya, Molly menunjukkan senyum ramah. Namun begitu dua orang itu masuk ke mobil Aiden dan meninggalkan rumah, Molly mengingat lagi bagaimana tampilan Nila.

Mukanya segar. Rambutnya yang pendek sebahu. Pakaiannya yang formal. Dengan dress selutut yang dengan blazer sebagai luaran.

Molly memandang wajahnya di kaca. Masam karena terlalu dikuasai sakit hatinya pada suaminya yang tak mencintainya. Bajunya juga sederhana dengan blouse dan celana panjang. Itu terus yang dipakainya.

Hari itu Molly berjalan-jalan. Tentu dia kabari suaminya. Bahwa Dia akan seharian di mal. Aiden sibuk, tidak menggubris pesan singkat darinya, apalagi mengangkat teleponnya.

Molly tetap pergi. Dia memotong rambutnya sebahu. Dipakainya kartu kredit yang pernah Aiden berikan padanya untuk belanja baju-baju yang tidak biasa dipakainya.

Dia berharap saat Aiden melihatnya, suaminya akan takjub, dan barangkali hatinya yang sedingin es batu itu bisa mencair.

Namun dia menelan kecewa saat Aiden cuma menatapnya datar. "Pergi seharian?" tanya pria itu, tidak tertarik.

"Iya." Molly mengikuti pria itu yang berjalan ke ruang makan.

"Sama siapa perginya?"

"Supir."

"Benar? Tidak sama pacar kamu itu?"

"Nggak."

"Kenapa tidak ijin?"

"Kan aku sudah SMS Mas Ai," jelas Molly.

"Tapi kan saya tidak bilang iya."

"Oh...."

Aiden duduk di dekat meja makan. Menatap hidangan makan malam hari itu.

"Siapa yang masak?" Sekalipun Aiden tak perlu bertanya.

"Siapa lagi?" jawab Molly yang duduk di sampingnya. "Ya Bibi."

"Kenapa bukan kamu?"

"Aku... Aku tidak tahu kalau Mas mau aku masakin Mas," sahut Molly sedikit terbata.

"Bukan karena Mas mau! Tapi kamu dong. Inisiatif sendiri! Tidak pernah ya, melakukan sesuatu karena keinginan kamu, huh? Dulu saat kamu hamil, apa itu kemauan kamu? Kamu nikah sama saya, apa itu kemauan kamu? Terus sekarang kamu ubah tatanan rambut kamu - ya saya sadar kamu potong rambut - itu keinginan kamu? Atau kamu cuma mau ikut-ikutan kayak Nila?"

"Mas...," gumam Molly pundung.

"Kamu tuh usianya berapa sih, huh? Kenapa saya nih.. kayak berhadapan sama anak kecil? Tidak punya pendirian. Cuma senang mengikuti arus."

"Mas mau saya bagaimana?"

"Ya kamu pikir dong. Kamu mau apa. Apa tujuan kamu selanjutnya. Kalau mau jadi ibu rumah tangga, ya belajarlah melayani suami dan mengurus rumah. Jadi mau wanita karir? Buat CV. Cari-cari kerja. Apa saja kek. Jangan hidup seperti tidak ada tujuan begitu."

"Oh.. Aku.. aku mau sih, Mas. Aku mau kerja. Dulu aku setelah lulus kuliah sempat magang jadi marketing. Susah sih, tapi aku...."

Molly tidak melanjutkan ucapannya. Aiden melahap makan malamnya tanpa menoleh sedikit pun pada Molly. Pria itu memikirkan hal lain.

Tahu tak ada gunanya bicara Molly pun ikut makan. Aiden menghabiskan makanannya duluan.

Dia meraih ponselnya. "Halo, Nila, gimana ya klien yang tadi sudah menghubungi..." Pria itu memundurkan kursinya, berjalan meninggalkan ruang makan.

Molly memandang kepergiannya. Semakin jauh pria itu melangkah semakin sadar juga dia seberapa jauh rentang usianya dengan pria itu.

Dia dan Aiden hidup di dunia berbeda.
Pria matang itu berada di lingkungan orang-orang dewasa. Sedangkan Molly... dia cuma sibuk memikirkan suaminya mencintainya atau tidak!

Pikiran lain melecuti Molly. Sekalipun dia tidak menipu pria itu, apakah dia akan tetap merasa gundah seperti itu, ya?

Suaminya benar. Dia harus dewasa. Bisa menentukan pilihan. Dan Molly memutuskan....

** i hope you like the story **

Dont Ever Let Me Go | 21+ #CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang