Curahan Hati

151 1 0
                                    


Aku mendengar lantunan merdu dari surat itu, terlebih ayat yang terjemahannya "Nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan", membuat diriku sedikit gemetar dan menangis, terlebih diriku sekarang sudah jauh berubah baik secara penampilan maupun perilaku. Selesai mengaji, aku menangis sesengukan karena ayat itu.

"Udah mbak jangan nangis ya", ucap Dyana mulai memelukku. Perlahan dia mulai menceritakan kalau surat itu mengingatkannya pada suaminya, dimana suaminya itu sering mengaji dan membaca lantunan surat itu sehabis sholat magrib padahal dirinya sendiri masih kekurangan. Namun dia beralasan membaca surat itu agar memperoleh ketenangan dalam menjalani kehidupan rumit di dunia ini. Jujur saja, aku hampir melupakan itu sewaktu merantau keluar kota dengan segala kesibukannya. Dan dirinya kini sekarang terlalu berubah, jika seandainya dia tidak kabur dari penjara dan menerima hukumannya mungkin dia tidak berubah menjadi seperti ini.

"Udah mbak, jangan menangis lagi", perlahan Dyana mengusap air mataku seperti saat aku dulu mencoba mengusap air matanya saat dirinya diusir keluarganya. Aku hanya mengangguk saja, mungkin karena hormon wanita membuatku lebih mudah mewek macam gini. Padahal dulu aku tidak seperti ini, terlebih melihat Dyana sudah setegar dan semandiri ini menjaga jabang bayi kita berdua.

"Mbak, boleh ga malam ini tidur bareng Dyana?", tanyanya pelan sambil memelukku. Aku bingung menjawabnya, dan aku hanya diam saja.

"Ouh... Ga boleh ya mbak?", wajahnya mulai terlihat terlipat, dan muram. Karena tidak tega akhirnya aku mengiyakan, tapi aku bilang mau ambil guling dulu. Dan perlahan raut wajahnya berubah menjadi cerah di tengah gelapnya rumahku ini. Aku masuk ke kamarku, sambil melepas mukena yang belum lepas semenjak tadi.

Beberapa saat kemudian aku masuk ke kamar Dyana yang memakai daster yang baru ku belikan tadi. Aku harap tidak sange saat ini, meski samar dengan cahaya remang lilin Dyana terlihat cantik meski perutnya sudah besar.

"Napa mabak masih berdiri di pintu, sini masuk?", ajak Dyana agar aku secepatnya masuk ke kamar. Aku gugup bersebelahan dengannya, apalagi kasurnya begitu sempit karena memang dibuat untukku pas aku masih lajang dulu. Aku juga ingat saat dulu berhubungan intim di sini, ranjang yang sempit membuat seksualitas lebih bergairah. Apalagi waktu itu berbagai macam gaya dihajar di sini. Aku masih mengingat posisi woman on top Dyana begitu membuatku mabuk kepayang. Namun sekarang rasanya mustahil jika hal itu diwujudkan.

"Mbak, coba elus deh perutku", tangan Dyana menuntunku untuk mengelus perutnya. Aku mengelusnya pelan, terbawa suasana tanpa sadar aku menyandarkan kepalaku ke perutnya.

"Perutnya nendang-nendang mbak", aku kaget saat gerakan perutnya terkena pipiku.

"Iyaaa mas.....",

Selengkapnya hanya di https://karyakarsa.com/cheesebuns555/jilbabku-9-17

JilbabkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang