Besar tanpa sosok ibu, terkadang membuat Haechan merasa menyesal karena sudah merenggut malaikat abang-abangnya. Mereka memang tidak pernah melontarkan secara langsung bahwa ia adalah penyebab kematian sang ibu. Hanya saja, isi pikirannya selalu berkata demikian. Rasa bersalah karena telah lahir selalu menghantuinya.
"Andai saja saat pertanyaan ke-77 ia menjawab tidak ingin turun ke dunia, apakah nasib abang-abangnya berubah lebih baik?"
Tentu saja!
Selain Mark yang akan tetap menjadi bungsu selamanya, mereka juga tidak akan kehilangan wanita kesayangannya.
Kata otaknya yang berisik sih gitu, dia juga setuju.
Dari mendengar bagaimana antusiasnya para abang menceritakan kisah ibu ketika masih ada, benar-benar membuatnya ingin mati. Tidak sering, tapi pernah sesekali ia merasa iri dengan orang-orang yang masa kanak-kanaknya ditemani ibu.
DISCLAIMER!
Dia tidak pernah menyalahkan abang-abangnya, dia menyalahkan diri sendiri.
"Udah siap?" tanya moderator.
Ngomong-ngomong Haechan sedang berada di sekolahnya, tepatnya di belakang panggung. Dia akan ikut memeriahkan acara Hari Ibu dengan memberikan persembahan kelincahan jarinya mengalun indah di atas piano.
Mengatur nafasnya berulangkali berharap setidaknya membantu meredakan cemasnya sedikit, kata Doyoung sih gitu. Dari banyaknya audience di depan sana, ada abang-abangnya yang sengaja meliburkan diri untuk menemaninya.
Iya, semuanya.
Tujuh orang, lengkap.
Bahkan abangnya yang kerja sambilan sebagai model, rela mempersingkat waktu pemotretannya dan tidak mengambil jatah liburan yang biasanya ada di akhir acara sebagai reward. Padahal, saat itu sedang berada di Paris.
Benar-benar bukan Lee Jaehyun sekali.
Karena shopping adalah nama tengahnya, membuat beberapa orang hampir tidak percaya dengan langkah yang Jaehyun ambil. Tidak usah berlebihan, tentu karena adik kecilnya, Lee Haechan. Siapapun pasti rela memberikan dunianya untuk sang adik, pun dirinya.
"Adek dimana, Mark?" tanya Taeyong. Karena semenjak sampai di sekolah, mereka belum melihat batang hidung adiknya. Seharusnya si bocil menghampiri sebentar untuk sekedar menyapa.
Harusnya begitu, kan?
Mark yang sedang melihat handphone-nya seketika menoleh sembari mengerutkan dahinya berpikir, "Ngga tau bu. Tadi dia cuma ngasih tau letak kursi kita doang."
Haechan memang sengaja menghilang karena sedang mempersiapkan diri.
Sebulan sebelum acara, dia memohon ke semua abangnya untuk mengosongkan jadwal satu hari saja. Selain wajib untuk orang tua/wali kelas 9, Haechan juga mempersiapkan sesuatu untuk pertama dan terakhir kalinya karena ini merupakan tahun terakhir masa putih birunya. Ia ingin melakukan hal spesial di acara tahunan sekolahnya.
Awalnya Haechan bingung akan berpartisipasi bagaimana. Secara, ia adalah murid anti organisasi alias sepu-sepu (sekolah-pulang-sekolah-pulang).
Meski belum pernah merasakan kasih sayang ibu secara langsung, tapi abang-abangnya selalu mengupayakan hadirnya 'sosok' ibu versi mereka. Dengan mendengar ceritanya saja membuat ia merasa ibunya selalu 'ada' di setiap harinya.
Bersama otak SKS-nya, ia menemukan jawabannya tepat seminggu sebelum acara. Tiba-tiba di berandanya muncul cuplikan video instrumen 'Bunda - Melly Goeslaw' dan langsung mengeksekusinya dengan bantuan temannya, Jeno.
"Mari kita sambut, Lee Haechan dari kelas 9-B!!!"
Tepuk tangan meriah menjadi awal pembuka seluruh inderanya untuk tetap sadar bahwa ia harus serius melakukannya. Tidak langsung menuju bangku yang sudah disediakan, Haechan memilih melangkah ke standing mic dahulu. Sesuai perkiraan, ke-tujuh abangnya melongo melihat dirinya.
"Halo semuanya, selamat siang! Sebelumnya, terima kasih telah menyempatkan hadir di acara ini. Terkhusus kepada abang-abang saya yang sudah meluangkan waktunya."
Haechan menjeda sebentar dengan menjauhkan mic dari hadapannya untuk sekedar mengambil nafas. Entah mengapa oksigen di sekitarnya seolah menjauh setelah melihat perubahan wajah abang-abangnya dari kaget menjadi tersenyum teduh.
"Mungkin yang sudah mengenal saya lama, pernah, atau sering berpikir bahwa saya menyebalkan, ngga mau kalah, sulit diatur, keras kepala dan lain sebagainya."
Tawa abang-abangnya otomatis menyambut kalimat si bungsu, sedikit membenarkan.
"Disini saya bukan untuk menjual cerita sedih. Tetapi, saya serius ingin mengucapkan terima kasih kepada abang-abang yang telah memberitahu saya siapa itu ibu. Jujur, saya sering mikir lebih baik ngga usah lahir ke dunia aja kalo pada akhirnya taruhannya adalah ibu saya sendiri."
Menghela nafas sejenak sebab sesak makin merangkak naik dan matanya ikutan memburam membuat Haechan ingin menangis detik itu juga.
"Dan untuk Tuhan, maaf sudah berburuk sangka kepada takdir-Mu. Saya tau, setiap kejadian ada maksud dan tujuannya. Maka dari itu, terima kasih Tuhan, telah memilih saya dari milyaran kandidat sebagai anak dari ibu saya yang super hebat."
Matanya ia edarkan pada audience dan menatap satu persatu ibu yang ada disana. Hati kecilnya benar-benar berharap bahwa ibunya hadir. Karena saat ini, Haechan sangat ingin memeluknya dan mengucapkan terima kasih secara langsung.
"Saya tau bahwa pengorbanan seorang ibu ketika melahirkan adalah perang yang sebenarnya. Untuk seluruh ibu di dunia, terima kasih sudah ada. Terima kasih atas dedikasinya selama ini."
Haechan membungkukkan badannya sebagai simbolisme atas keseriusan ucapannya. Ia sedikit menyeka ujung matanya yang berair sebelum kembali menegakkan badannya.
"Dan untuk abang-abang saya. Mungkin ucapan terima kasih saja tidak cukup untuk membalas segala hal yang sudah kalian berikan kepada saya. Sebab, butuh jutaan tahun untuk merangkai kata agar saya dapat menerangkan dengan detail, sebaik apa kalian selama ini."
Menarik nafas panjang sekali lagi, Haechan arahkan pandangannya ke-tujuh orang tersayangnya. Seolah mendukung, otaknya tiba-tiba menciptakan sebuah ilusi dimana hanya ada 8 orang disana.
"Abang, terima kasih. Dari lubuk hati adek yang paling dalam, adek bener-bener makasih banget sama Tuhan karena udah menghadirkan kalian di hidup adek. Makasih karena ngga pernah capek membimbing dan mengingatkan adek yang super menyebalkan ini. Adek butuh, sangat butuh kehadiran kalian semua. Terima kasih, abang."
Setelah menaruh mic, Haechan langsung memainkan pianonya. Tuts demi tuts ia tekan sambil menahan diri untuk tidak kabur karena suasana yang baru saja ia ciptakan.
Tapi, show must go on.
Mengakhiri semuanya seperti awal kedatangannya dengan tepuk tangan yang meriah, Haechan kembali bungkukkan badannya dan mempersilakan sang moderator untuk melanjutkan jalannya acara. Kakinya ia bawa pergi menuju parkiran karena sudah ada yang menunggunya, Jeno.
Semuanya sudah tersusun rapi.
Haechan si gengsian tidak mau abang-abangnya tau bahwa ia menangis hanya karena beberapa kata yang ia siapkan selama seminggu.
+++
Tanggapan part kali ini yorobun?
Maaf baru awal udah dikasih yang berat wkwk karena zyu pun ngetiknya sambil nangis lebay huhu..
Terlalu menghayati sampai bikin narasinya panjang sekali hehe mau dibuat dua part><
Hope you guys like this and give a feedback:)
Thank u and have a nice day, my sunshine!
23-Agt-24
re-up: 01-Sept-24
![](https://img.wattpad.com/cover/375338121-288-k101121.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Matahari Bila Tak Menyinari | Lee Haechan NCT 127
Fanfiction[LOCAL STORY] "Banyak yang bilang jadi bungsu itu enak, apa iya?" -Lee Haechan. Hanya berisi daily life seorang bungsu dan 7 saudara lainnya. #brothership #brotherhood #no_bxb