Jangan Dulu

450 67 2
                                    

Dalam hati yang tidak akan pernah siap, mau tidak mau Haechan tetap harus melangkah ke depan. Sesuai janji, hari ini adalah rencana kedelapan saudara itu mengunjungi rumah orang tua mereka.

Yup, pemakaman.

Agaknya merasa kurang ajar setelah melihat rumput liar yang tidak rapi, juga jarangnya bunga di atas makam itu. Mereka memang membayar penjaga makam untuk merawat. Mungkin karena saking banyaknya makam jadi hanya dibersihkan sekedarnya saja.

"Kita datang, ibu, ayah. Gimana kabarnya?"

Taeyong membuka pembicaraan meski ia sendiri tau bahwa kedua orang tuanya tidak akan menjawab.

"Ayah ibu ngga perlu khawatir. Disini aku jagain adek-adek," sambung Johnny yang ikut bersimpuh di samping nisan sang ayah.

Ini merupakan pertama kalinya mereka berdelapan berkunjung bersamaan.

Sebab biasanya akan datang terpisah karena ketidaksesuaian jadwal satu sama lain. Untuk sekarang, Tuahn seolah sedang membuka portal khusus, membiarkan mereka untuk berdialog membuka kenangan lama.

Sedangkan di sisi lain, Haechan sendiri bingung ingin berkata bagaimana. Karena jujur saja, ia tidak terbiasa berbicara kepada kedua orang tuanya jika ada seseorang di sampingnya. Dia masih merasa bersalah atas apa yang menimpa mereka.

Tentang bagaimana perasaan abang-abangnya yang ditinggal sang ibu ketika mempertaruhkan nyawa demi melahirkan dirinya.

Bagaimana bang Jo yang saat itu menjadi penguat adik-adiknya karena sang ayah sibuk di rumah sakit.

Belum cukup, empat tahun kemudian sang ayah ikut menyusul ibu.

Dan lagi-lagi itu karena dirinya. Haechan merasa Tuhan jahat membiarkan dirinya tetap hidup mengemban rasa bersalah yang kian besar.

"Adek mau pulang?" tanya Jaehyun dengan suara pelan ketika merasakan tangan yang sejak tadi digandengnya balik meremat.

Haechan yang sadar dengan apa yang dilakukan lantas melepas genggamannya sambil menggelengkan kepala. Dirinya tidak sadar sudah menjadi pusat perhatian sejak beberapa menit yang lalu.

"Adek mau ngomong sama ayah ibu?" tanya Doyoung ketika menyadari adiknya yang cerewet itu mendadak bisu.

Kini semua diam, tidak ada lagi suara dan hanya menatap bungsu mereka yang semakin menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya yang menekuk.

Taeyong yang sejak datang langsung bersimpuh di nisan sang ibu kemudian berdiri menghampiri si kecil sambil mengelus puncak kepalanya. Ia tidak ingin adik kecilnya terus menyalahkan dirinya sendiri dengan hal yang memang sudah ditakdirkan.

Haechan mendongakkan kepalanya ketika menyadari tidak ada lagi suara dan mendapati Taeyong yang mengelus kepalanya sambil menatapnya teduh, "Adek kenapa? Hmm..?"

Memaksakan tersenyum, ia menjawab, "Ngga papa bubu, adek cuma capek aja."

"Mau pulang aja? Atau ngobrol sama ayah ibu dulu? Muka adek pucet gini," ucap Taeyong sambil menyingkirkan anak rambut Haechan yang lepek karena keringat.

Sejujurnya adik mereka belum sepenuhnya pulih dari kejadian trauma lamanya yang tiba-tiba muncul itu. Belum lagi semalam sempat demam, tapi tetap memaksa hari ini ke pemakaman karena katanya kapan lagi bisa bareng-bareng. Efek domino kambuhnya kali ini tumben sekali hampir dua minggu membuat Doyoung diam-diam membuat janji temu psikiater si bungsu.

"Ngga papa bubu. Adek disini aja liat kalian, masih kuat kok," jawabnya lesu dengan nada dibuat meyakinkan.

"Adek udah besar bu. Jago banget isengin aku," adu Mark tiba-tiba. Ia ingin mengubah alur pembicaraan ketika mengetahui adik satu-satunya tidak ingin dipaksa.

Bukan Matahari Bila Tak Menyinari | Lee Haechan NCT 127Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang