Sejak Haechan mendudukkan dirinya di jok belakang, Jeno tidak menanyainya apapun. Pemuda jangkung itu sengaja memberi ruang pada sobatnya dan melakukan apa yang sudah direncanakan. Melajukan si cupang -vespa maticnya- dengan apik menuju tempat peristirahatan terakhir orang tua Haechan.
"Jen..." suaranya serak sekali, terdengar menyakitkan.
Jeno hanya membalas deheman sembari tetap fokus mengendarai karena tau apa yang akan Haechan ucapkan selanjutnya.
"Mau ibu, mau dipeluk ibu, mau tau wangi ibu. Tolong kasih tau gue gimana caranya... Please Jen, gue mau ketemu ibu.."
Kan..
Padahal temannya itu sering menanyai dirinya hal yang sama berulang kali. Tapi bibirnya selalu kelu, ia tidak tau harus menjawab apa. Hingga ketika keduanya sampai, Haechan turun lebih dulu dan menepuk bahunya sekilas untuk menunggunya sebentar.
Setelah memastikan bungsu keluarga Lee sudah jauh, Jeno mengambil ponsel yang ia simpan di saku dalam jaket denimnya untuk kemudian di arahkan ke telinganya ketika melihat telfonnya masih tersambung.
"Haechan-nya lagi ngobrol sama tante sama om. Jeno matiin telfonnya ya abang-abang. Terus nanti di rumah ngga usah ditanyain apa-apa dulu ya. Biar Haechan-nya sendiri yang cerita."
"Oh, oke Jen. Makasih infonya ya, kita titip adek," jawab Jaehyun sebagai pemilik ponsel yang kini sedang tersambung.
Tut!
Jeno memang sengaja memberi tau abangnya Haechan yang berlesung pipi tentang rencananya seusai tampil. Sebab dengan itu, entah bagaimana caranya Jaehyun bisa mengumpulkan seluruh saudaranya untuk menguping perjalanan adik mereka hingga tau apa isi kepala si bungsu.
Seperti yang sudah dilakukan selama dua tahun terakhir, mereka akan mampir membeli bajigur dahulu sebelum pulang. Kali ini mood Haechan sedikit membaik walau sembab mukanya tidak bisa hilang kalo rasa sesaknya masih tersisa.
"Bunda ada di rumah, Jen?"
Ditanyai demikian membuat Jeno mengalihkan pandangannya dari ramainya jalanan, "Ada, kenapa? Mau ke rumah gue dulu?"
Rambut jamurnya bergoyang ke kiri sebab bingung, "Ya iyalah, pake nanya!"
"Hahaha, santai aja bosque."
Seperti rumahnya sendiri, Haechan main masuk setelah meninggalkan Jeno yang sibuk memarkirkan motornya. Dengan menenteng kresek berisi bajigur sebagai buah tangan, ia menyusuri rumah keduanya dengan santai mencari ayah bundanya yang lain.
"Eh, bungsunya bunda udah pulang. Apa kabar sayang? Seabad bunda ngga liat kamu."
Haechan cuma nyengir aja dengernya, "Kita baru ketemu kemarin ya bunda. Tapi Echan kangen sama bunda huhuhu selamat hari ibu, bunda sayang. Ini Echan bawain bajigur hehe ayah dimana, bun?"
Mengusap dan mengecup pucuk kepala Haechan sekilas, bunda menggiring si kecil untuk menemui suaminya, "Makasih ya adek sayang, selalu sweet ngga kayak Jeno. Bunda mau nuangin ini dulu ya, ayah ada di belakang sama si mochi."
Setelah mengucap sama-sama, si kecil berlalu menuju area taman dan terlihat seorang pria awal 50 tahunan sedang bersama kucing putih. Berjalan dengan mengendap-ngendap, ia berencana akan mengejutkan sang ayah. Tapi, belum rencananya berjalan, target sudah menyadarinya.
"Ayah harus kaget mode gimana biar keren, dek?"
Ditanyai begitu membuat Haechan cemberut dan langsung duduk di sampingnya dengan kaki yang sengaja ia hentakkan keras.
"Ayah mah ngga seru, ah!"
Melihat reaksi Haechan yang menggerutu dengan bibir dimajukan membuat ayah tertawa lepas. Ia merasa langsung fresh setelah kehadiran bungsu keluarga Lee. Memang sesuai namanya, Haechan -bersinar terang seperti matahari membawa energi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Matahari Bila Tak Menyinari | Lee Haechan NCT 127
Fanfic[LOCAL STORY] "Banyak yang bilang jadi bungsu itu enak, apa iya?" -Lee Haechan. Hanya berisi daily life seorang bungsu dan 7 saudara lainnya. #brothership #brotherhood #no_bxb