Overthinker

345 56 1
                                    

Haechan itu terkadang kesal juga dengan pemikirannya sendiri jika sedang overthinking begini.

Sudah terlewat dua jam sejak dia pamit kepada abang-abangnya untuk mengerjakan tugas setelah makan malam malah berakhir nangkring di balkon kamarnya.

Mikirin apa?
Mikirin yang engga-engga aja kayak kalian kalo udah masuk jam-jam overthinking.

Huft...

Entah sudah hembusan nafas ke berapa kali, tapi jika tembok kamarnya bisa bicara mungkin akan bertanya pada tuannya, ada apa gerangan?

Kamar Mark yang memang kebetulan ada di samping Haechan membuatnya ingin menyempatkan diri dahulu melihat sang adik. Memastikan apakah sudah tidur atau belum.

Tok! Tok! Tok!

"Dek, abang masuk ya?"

Terlalu fokus dengan acara melamunnya membuat Haechan tidak sadar dengan tepukan Mark pada bahunya yang spontan membuatnya memekik kaget.

"ABANG KOK NGGAK KETUK DULU?"

Mark tersenyum menanggapi dan mengusap puncak kepala adiknya, "Udah, kamunya aja yang terlalu konsen."

Ikut duduk di kasur yang disediakan di kamarnya, Mark bertanya, "Lagi mikirin apa dek? Coba sini."

Ditanyai begitu membuat Haechan tidak bisa menjawab. Ia juga bingung karena saking berisiknya isi kepala seperti minta dikeluarkan tapi tidak mau keluar.

"Adek juga nggak tau abang," jawabnya sambil melangkahkan kaki menuju sang abang.

Menghela nafas, Mark arahkan si kecil agar merebahkan tubuhnya dengan pahanya yang dijadikan bantalan sambil bersandar pada headboard.

"Abang nggak minta jujur sama kamu, dek. Abang tau kamu udah besar dan pengen punya privasi. Tapi, satu hal yang harus kamu tau kalo semua abang-abangmu itu selalu siap dengerin cerita kamu, termasuk abang."

Haechan jadi kepikiran sendiri. Akhir-akhir ini ia memang tidak lagi banyak cerita kepada abang-abangnya dan mereka pasti menyadari dengan perubahan sikapnya itu.

"Maaf abang..."

Mark tersenyum dan tak berhenti mengelus sayang kepala bungsunya, "Nggak usah minta maaf, dek. Kayak lagi lebaran aja."

Mendengus kesal, Haechan spontan bangkit dari acara rebahannya dan menatap Mark nyalang.

"ABANG NYEBELIN YA!"

Lagi-lagi Mark terkekeh. Jika boleh jujur, dalam hati kecilnya ia belum siap dengan kedewasaan adik satu-satunya ini.

"Cup, cup, cup. Jangan marah gitu adeknya abang," bujuknya sambil meraih tubuh kecilnya untuk ia rebahkan lagi.

Haechan menurut dan mulai mencari kenyamanan untuk tidur karena sepertinya, usapan abangnya membantu menghilangkan pikiran yang berisik itu.

"Tapi abang, adek beneran mau minta maaf karena udah nyusahin kalian. I know kita saudara, tapi ada sesuatu yang selalu bilang kalo adek ini beban untuk kalian."

Mark terhenyak sesaat mendengarnya. Ia tak pernah berpikiran sampai sana, pun dengan abangnya yang lain. Mengapa adiknya ini terlalu berfikiran yang aneh-aneh?

Ingin dia rukyah saja.

"Dek, kamu lagi overthinking? Kalo iya, kamu harus bisa nyingkirin prasangka-prasangka yang nggak jelas itu. Karena adek harus tau kalo kita semua nggak pernah ngerasa terbebani sama kamu. Kita itu sayang dan tulus banget sama kamu, dek."

Haechan tau dan Haechan paham itu semua.

Hanya saja, pikirannya selalu membawanya untuk membuat statement bahwa dia hanyalah parasit yang butuh inang di keluarga ini.

Bukan Matahari Bila Tak Menyinari | Lee Haechan NCT 127Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang