Major Incident

11 3 0
                                    

Hari itu, awan gelap menggantung rendah di langit, seakan memberikan pertanda buruk. Aluna duduk di ruang tamu, mengamati jarum jam yang terus berputar tanpa henti. Ia merasakan keheningan rumah yang menyesakkan, seperti badai yang siap menerjang. Pikirannya kalut, bercampur antara kecewa dan marah.

Ayahnya, Johns Hopki Drienne, pulang lebih awal dari biasanya. Wajahnya penuh dengan kerutan, tanda bahwa ada hal berat yang sedang dipikirkannya. Tanpa berbasa-basi, ia langsung menuju kamar Aluna. Aluna, yang merasakan firasat buruk, mengikutinya dengan hati yang tak tenang.

"Aluna, duduklah," suara Johns terdengar berat, seolah menyimpan beban yang tak terucapkan. Aluna menatap ayahnya dengan hati-hati, berusaha membaca ekspresi yang penuh misteri itu.

"Kenapa, Yah?" tanya Aluna akhirnya, mencoba memecahkan keheningan yang mencekam.

"Ayah mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan tentangmu. Benarkah kamu akan berhenti kuliah dan memulai bisnis sendiri?" Suara ayahnya penuh dengan ketegangan, seakan siap meledak kapan saja.

Aluna terdiam. Inilah momen yang sudah lama ditakutkannya. Keinginannya untuk memulai usaha sendiri memang sudah lama ia pendam, namun ia tahu betul bahwa keputusan itu akan menimbulkan konflik besar dengan ayahnya.

"Iya, Yah," jawab Aluna pelan tapi tegas. "Aku ingin mengejar mimpiku, aku tidak ingin hidup di bawah bayang-bayang orang lain terus-menerus."

Perkataan Aluna seketika seperti menyulut api dalam hati Johns. "Kamu pikir hidup ini hanya tentang mengejar mimpi? Kamu tahu berapa banyak pengorbanan yang Ayah lakukan untukmu? Kamu tidak menghargai semua itu!" Nada suara ayahnya naik, penuh dengan kekecewaan dan kemarahan.

"Ini hidupku, Yah! Aku yang menjalani, bukan Ayah!" Aluna tidak bisa lagi menahan emosinya. "Aku lelah selalu disuruh mengikuti keinginan Ayah. Aku juga punya mimpi, aku ingin menjalani hidup sesuai dengan caraku!"

Kata-kata Aluna bagaikan pisau tajam yang menusuk hati Johns. Ia tidak pernah menyangka anak perempuannya, yang selama ini selalu menurut, bisa berkata demikian. Kekecewaan dan kemarahan bercampur aduk dalam hatinya, membuat ia kehilangan kendali.

"Kamu tidak tahu apa-apa tentang kehidupan! Jika kamu terus seperti ini, kamu tidak perlu kembali ke rumah ini!" bentak Johns dengan suara bergetar.

Mendengar itu, hati Aluna hancur. Ia tidak pernah membayangkan akan mendengar kata-kata sekeras itu dari ayahnya. Air mata mengalir di pipinya, namun ia segera mengusapnya. Keputusan sudah bulat dalam pikirannya.

"Baik, jika itu yang Ayah inginkan. Aku akan pergi," jawab Aluna dingin, dengan suara yang penuh kepastian.

Tanpa menunggu jawaban, Aluna segera berbalik, meninggalkan ayahnya yang terdiam. Ia masuk ke kamar dan mulai mengemas barang-barangnya dengan cepat. Di antara pakaian dan buku-bukunya, ia menyelipkan kenangan masa kecil, yang kini terasa pahit. Dengan satu tas besar di tangannya, Aluna melangkah keluar dari kamar, meninggalkan rumah yang dulu selalu memberinya kenyamanan.

Sebelum meninggalkan rumah, ia menatap sejenak pintu depan, pintu yang kini menjadi batas antara masa lalu dan masa depannya. Ia tahu, langkah ini akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, di balik kesedihan dan rasa takut, ada secercah harapan yang membuatnya yakin bahwa ia melakukan hal yang benar.

**

Di luar rumah, angin malam menyambutnya dengan dingin. Langkah Aluna terasa berat, seolah setiap langkahnya menghilangkan beban masa lalu yang tak lagi ia ingin pikul. Ia berjalan tanpa tujuan yang pasti, hanya berusaha menjauh sejauh mungkin dari rumah yang kini terasa asing baginya.

Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Laura, sahabatnya sejak kecil. Melihat wajah Aluna yang penuh dengan kesedihan, Laura segera tahu ada sesuatu yang salah. Tanpa bertanya, Laura meraih tangan Aluna, memberikan pelukan hangat yang menjadi tempatnya menumpahkan segala rasa sakit.

"Apa yang terjadi, Na?" tanya Laura pelan, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapi sahabatnya.

"Pertengkaran besar dengan Ayah. Aku sudah tidak tahan lagi, Lau. Aku harus pergi dari rumah," jawab Aluna sambil menahan tangis.

Laura mengangguk, memahami perasaan Aluna. "Kamu bisa tinggal di tempatku sementara waktu. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian," kata Laura dengan tegas.

Dalam pelukan sahabatnya, Aluna merasa sedikit tenang. Meskipun keputusannya meninggalkan rumah berat, ia tahu bahwa ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya. Babak di mana ia akan menemukan jati dirinya yang sebenarnya, tanpa bayang-bayang orang lain.

Kisah ini berlanjut, ketika Aluna memulai perjalanan panjang untuk menemukan dirinya sendiri dan menentukan takdirnya. Namun, bayangan masa lalu dan konflik dengan keluarganya akan terus menghantuinya, menjadi ujian yang harus ia hadapi di kemudian hari.

Aluna Adrienne Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang