Accidental Meeting

6 1 0
                                    


Pagi itu, Aluna berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dan merasakan debaran di dadanya. Hari pertama bekerja di kafe kecil yang kemarin memberinya kesempatan. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pekerjaan ini mungkin tidak ideal, tapi itu langkah awal yang sangat dia butuhkan.

Setibanya di kafe, Aluna langsung disambut oleh suasana yang ramai tapi hangat. Aroma kopi bercampur dengan tawa ringan para pelanggan yang sudah mulai berdatangan sejak pagi. Pemilik kafe, Pak Adit, berdiri di belakang meja kasir, sibuk mencatat pesanan.

"Aluna, datang lebih awal. Bagus! Sini, saya kenalin sama yang lain," kata Pak Adit dengan senyum tipis.

Aluna mengikuti langkah Pak Adit, memperkenalkan dirinya kepada para staf lainnya. Ada empat orang yang bekerja di kafe itu, masing-masing dengan kepribadian yang tampaknya unik.

Pertama, dia bertemu dengan Safa, seorang gadis berpenampilan ceria dengan rambut diikat kuncir kuda. Senyum Safa tampak tulus, membuat Aluna merasa sedikit lebih nyaman. "Hai, Aluna! Akhirnya ada teman perempuan lagi di sini. Nanti kalau ada yang kamu gak ngerti, tanya aja, ya," katanya dengan ramah.

Selanjutnya ada Raka, seorang barista yang terlihat pendiam. Dia tidak banyak bicara saat diperkenalkan, hanya mengangguk singkat sambil tetap fokus pada pekerjaannya meracik kopi. Meski begitu, dari tatapan matanya, Aluna bisa merasakan bahwa Raka adalah tipe orang yang serius dan berdedikasi.

Terakhir, ada Damar, pemuda dengan senyum jahil dan gaya santai. "Selamat datang, Aluna! Jangan terlalu serius ya di sini. Ini tempat kerja, bukan penjara," ucapnya sambil tertawa kecil. Aluna tak bisa menahan senyum tipis mendengar candanya.

***

Hari pertama Aluna di kafe itu berjalan dengan cepat. Dari menyajikan pesanan hingga membersihkan meja, tangannya tak pernah berhenti bergerak. Di sela-sela kesibukan, dia berusaha memahami dinamika kerja dan mencoba menyesuaikan diri. Safa sering membantunya, menjelaskan hal-hal kecil yang belum dia mengerti.

Namun, saat sedang sibuk di meja kasir, sebuah kejadian kecil menarik perhatiannya. Seorang pelanggan pria, yang tampak berusia akhir dua puluhan, duduk di sudut kafe sambil membaca buku tebal. Dia datang sendirian, dengan wajah tenang dan aura yang berbeda dari pelanggan lainnya.

"Siapa dia?" Aluna bertanya pada Safa saat ada jeda waktu.

"Oh, dia? Itu Damian. Pelanggan tetap di sini. Dia selalu datang sendirian, baca buku atau nulis sesuatu di laptopnya. Pendiam, tapi baik kok. Nggak usah takut."

Aluna mengangguk, namun tatapannya masih tertuju pada Damian. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya penasaran, meski dia tak tahu apa.

***

Waktu berlalu, dan Aluna mulai terbiasa dengan ritme pekerjaan di kafe. Dia juga mulai mengenal lebih baik teman-temannya. Safa sering mengajaknya berbicara tentang hal-hal ringan, tapi juga tak ragu berbagi cerita pribadinya.

"Aku kerja di sini buat bantu keluarga," kata Safa suatu sore. "Orangtua aku udah tua, dan adik-adik masih sekolah. Jadi ya... ini bukan pilihan, tapi keharusan."

Aluna bisa merasakan kejujuran dalam nada suara Safa. Dia menyadari bahwa setiap orang di sini punya cerita dan alasan mereka masing-masing.

Di sisi lain, Raka tetap menjadi sosok yang sulit didekati. Setiap kali Aluna mencoba mengobrol dengannya, jawabannya selalu singkat. Tapi dia memperhatikan bahwa Raka sangat serius dalam pekerjaannya, seolah dunia di sekitarnya tak penting selama dia bisa fokus pada kopinya.

"Jangan heran sama Raka," ujar Damar sambil mendekati Aluna ketika dia sedang memperhatikan Raka. "Dia emang gitu, susah diajak ngobrol. Tapi dia baik kok, cuma nggak suka basa-basi."

Damar sendiri selalu berhasil membuat suasana menjadi lebih ringan. Dengan lelucon dan cara bicara yang santai, dia seolah menjadi penyeimbang di antara para pekerja di kafe itu. Sering kali dia memecahkan tawa di tengah kepenatan kerja.

Namun, yang paling menarik perhatian Aluna adalah Damian. Meskipun mereka belum pernah berbicara secara langsung, Aluna mulai menyadari pola kehadiran Damian di kafe. Dia selalu datang di jam yang sama, memesan kopi yang sama, dan duduk di sudut yang sama. Aluna tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dilakukan pria itu di sana setiap hari?

***

Sore itu, saat kafe mulai sepi, Aluna sedang merapikan meja di dekat tempat Damian duduk. Ketika dia hampir selesai, tanpa disangka, Farel membuka percakapan.

"Kamu baru di sini, ya?" suaranya lembut, namun cukup jelas untuk membuat Aluna sedikit terkejut.

"I-Iya, baru beberapa hari," jawab Aluna sambil tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Damian mengangguk pelan. "Semoga betah. Kafe ini cukup nyaman, kalau kamu suka tempat yang tenang."

"Terima kasih. Kamu sering ke sini, ya?" Aluna mencoba melanjutkan pembicaraan.

Damian tersenyum tipis. "Iya, ini salah satu tempat favoritku. Tenang, dan kopinya enak."

Percakapan mereka mungkin singkat, tapi perasaan aneh muncul dalam diri Aluna. Ada sesuatu yang berbeda dari Damian, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang pria itu.

Di hari-hari berikutnya, Aluna merasa hidupnya mulai terisi oleh pertemuan-pertemuan baru ini. Safa yang ceria, Raka yang penuh misteri, Damar yang selalu bisa mencairkan suasana, dan kini Damian, pria yang hadir dengan kesan tenang namun dalam.

Dia tahu, hidupnya perlahan mulai berubah, meskipun dia belum sepenuhnya menyadari seberapa besar pengaruh orang-orang ini akan terhadap hidupnya ke depan.

---

"Terkadang, pertemuan kecil bisa membawa perubahan besar," pikir Aluna sambil menatap langit sore dari balik jendela kafe.

Aluna Adrienne Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang