keep the distance

3 2 0
                                    


Pagi itu, sinar matahari merayap masuk melalui celah tirai kamar Aluna. Ia memandang langit-langit, merasa kelelahan meski baru bangun. Pikiran tentang Elzio dan malam baca puisi masih berputar di kepalanya. Semakin ia mencoba untuk menjaga jarak, semakin kuat dunia mendorong mereka bersama. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap fokus pada pekerjaan dan menahan perasaannya. Namun, seperti yang sering terjadi, kenyataan tidak sejalan dengan rencananya.

Saat Aluna tiba di kafe, ia berharap bisa melewati hari itu dengan tenang. Namun, begitu ia melangkah masuk, matanya langsung menangkap sosok Elzio di sudut ruangan, sedang menyetem gitarnya. Tatapan mereka bertemu sejenak, dan ia langsung membuang muka. Apakah aku bisa menjauh untuk saat ini dengan elzio?, pikirnya. Tapi setiap kali ia berusaha menghindari Elzio, sesuatu selalu terjadi yang menarik mereka kembali bersama.

"Kamu datang lebih awal hari ini," suara Raka mengejutkannya dari belakang.

Aluna tersenyum kecil. "Ya, ingin menyelesaikan beberapa tulisan sebelum mulai sibuk."

"Tulisan lagi? Kapan kamu akan membacanya untuk kami?" goda Raka, mengingatkan pada permintaan Elzio dari malam sebelumnya.

"Aku... belum siap," jawab Aluna, mencoba terdengar santai, meski jantungnya berdebar tak karuan.

Raka menggeleng, tertawa kecil. "Kamu selalu begitu, Aluna. Kau harus lebih percaya diri. Kau kan penulis berbakat."

Aluna hanya tersenyum canggung sebelum berjalan menuju meja favoritnya di dekat jendela. Ia membuka laptopnya dan mencoba berkonsentrasi pada naskah yang sedang ia kerjakan, tetapi suara tawa dan percakapan dari pelanggan lain terus-menerus mengalihkan perhatiannya. Tidak lama kemudian, Elzio mulai memainkan gitarnya lagi, dan seketika, suara lembutnya memenuhi ruang kafe.

Kenapa dia selalu muncul saat aku mencoba fokus?, pikir Aluna dengan frustasi. Suara Elzio, meskipun indah, hanya membuatnya semakin sulit menjaga jarak.

Hari terus berjalan, dan Aluna terjebak dalam rutinitasnya. Ia melayani pelanggan, menulis beberapa baris di antara tugas-tugasnya, lalu kembali melayani. Namun, setiap kali ia merasa berhasil sedikit melupakan Elzio, seseorang dari lingkaran pertemanannya selalu menyebut namanya.

Ketika senja mulai turun, Damar datang dengan segerombolan teman-teman mereka. "Hei, Aluna! Kita mau nongkrong di taman nanti. Kau ikut, kan?"

Aluna menggeleng pelan. "Aku... mungkin akan pulang lebih awal malam ini. Ada beberapa hal yang harus ku selesaikan."

Damar mengerutkan kening. "Ayolah, Luna! Sudah lama kita tidak berkumpul bersama. Lagipula, Elzio juga akan datang."

Nama itu membuat Aluna terdiam sejenak. Ia tidak ingin terlihat menghindar, tapi ia juga tahu bahwa perasaannya mulai tak terkendali. "Aku benar-benar tidak bisa, Dam. Maaf," katanya sambil tersenyum tipis.

"Ah, kau selalu sibuk belakangan ini. Elzio juga sempat tanya tentangmu, loh," goda Damar sebelum akhirnya berjalan menjauh.

Aluna menghela napas panjang. Kenapa semua orang terus mendesaknya? Ia hanya ingin menjaga jarak, memberikan ruang untuk dirinya sendiri, tetapi setiap orang di sekelilingnya seolah tidak mengizinkannya.

---

Malam itu, Aluna memutuskan untuk pulang lebih awal. Hatinya terasa berat, dan pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Ketika ia berjalan menuju apartemennya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Damar.

Aluna menatap layar ponselnya, merasa bimbang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aluna menatap layar ponselnya, merasa bimbang. Di satu sisi, ia tahu bahwa berada di sekitar teman-temannya, terutama Elzio, hanya akan membuat perasaannya semakin kacau. Namun, di sisi lain, ia merasa kesepian. Malam-malam seperti ini sering kali terasa panjang dan sunyi ketika ia sendirian.

Ia hampir memutuskan untuk mengabaikan pesan itu ketika tiba-tiba pesan lain masuk. Kali.

Elzio:
“Hey, apa kabar? Damar bilang kau tidak bisa datang. Aku harap semuanya baik-baik saja.”

Aluna tertegun. Pesan dari Elzio begitu sederhana, namun cukup untuk membuat hatinya berdebar. Bagaimana mungkin hanya beberapa kata darinya bisa begitu mempengaruhi perasaannya? Mungkin aku harus membalas, sekadar sopan santun, pikirnya.

Aluna:
“Aku baik, hanya butuh waktu sendiri malam ini. Terima kasih sudah bertanya :)”

Ia menekan tombol kirim dan berharap percakapan berakhir di situ. Namun, tidak lama kemudian, balasan dari Elzio muncul.

Elzio:
“Kadang kita memang butuh waktu sendiri. Tapi kalau butuh teman bicara, aku di sini.”

Aluna menatap pesan itu cukup lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aluna menatap pesan itu cukup lama. Kata-kata Elzio selalu terasa tulus, dan itulah yang membuatnya takut. Aku tidak bisa terlalu dekat dengannya, pikirnya. Tapi entah mengapa, ia tidak bisa mengabaikan tawarannya.

---

Hari-hari berikutnya berlalu dalam kebingungan yang sama. Setiap kali Aluna berusaha menjaga jarak, sesuatu selalu menariknya kembali. Ia mulai menyadari bahwa Elzio mungkin juga merasakan sesuatu terhadapnya, namun Aluna terus-menerus membangun dinding untuk melindungi dirinya sendiri.

Suatu malam, setelah kafe mulai sepi, Elzio menghampirinya lagi. “Aluna, kau sudah memikirkan soal malam baca puisi?”

Aluna tersentak. Ia hampir lupa tentang itu. “Aku... aku belum yakin. Aku tidak terbiasa membaca tulisanku di depan orang lain.”

Elzio tersenyum hangat. “Aku mengerti. Tapi aku pikir, itu akan sangat bagus. Kamu punya bakat, dan orang-orang perlu tahu itu.”

Aluna merasakan dorongan di dalam dirinya untuk menerima tawaran itu, namun ketakutannya menahan langkahnya. “Aku takut. Bagaimana kalau orang-orang tidak menyukainya?”

Elzio menatapnya dengan serius. “Aluna, kau tidak perlu takut dengan pendapat orang lain. Yang penting adalah apa yang kau rasakan tentang karyamu sendiri. Jangan biarkan ketakutan mengendalikan mu.”

Kata-kata Elzio membuat Aluna terdiam. Ia tahu bahwa Elzio benar, tetapi ketakutannya begitu dalam. Namun, di dalam dirinya, ada bagian yang ingin mengambil risiko—untuk pertama kalinya, mungkin ia harus berani.

“Aku akan memikirkannya,” kata Aluna akhirnya.

Elzio tersenyum, dan kali ini, Aluna merasa sedikit lebih tenang. Tapi ketika ia melihat Elzio berjalan pergi, ia menyadari sesuatu. Mungkin bukan hanya tentang membaca puisinya. Mungkin, inilah saatnya ia juga harus berani mengambil risiko dalam hal lain—dalam hal perasaannya pada Elzio. Tapi apakah aku siap?

---

Malam semakin larut, dan Aluna kembali terjebak dalam pikirannya sendiri. Elzio terus muncul di dalam pikirannya, dan tidak peduli seberapa keras ia berusaha menyingkirkan perasaan itu, perasaannya semakin kuat setiap hari.

Apakah Aluna benar-benar bisa menjaga jarak dari Elzio?






minnn jarang uppp, ayo baca dan promosikan 😠😠😠😠😠😠😠😠😠😠
baca or tak bacain
innalilahi aliaa innalilahi mata kiri
miykel jekson nanti dulu yaa
dia tau dia tau
aku tau dia tau
@northesh.writer

Aluna Adrienne Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang