Kafe sore itu terasa lebih ramai dari biasanya. Suara denting cangkir, tawa riang pelanggan, dan aroma kopi khas memenuhi udara. Aluna berdiri di balik kasir, mengamati suasana sambil sesekali mencatat pesanan. Ada yang berbeda hari ini. Matanya terus bergerak tanpa sadar ke arah sudut kafe tempat Elzio biasa duduk, namun kali ini ada seseorang yang bersamanya.
Wanita berambut hitam panjang dengan gaun sederhana namun elegan duduk di samping Elzio. Mereka tampak sangat akrab, tertawa bersama sambil berbicara santai. Elzio sesekali menatapnya dengan senyuman yang hangat, sementara wanita itu, yang Aluna ketahui bernama Neysa, terlihat begitu nyaman di dekatnya. Hati Aluna terasa tertusuk-rasa cemas yang selama ini ia coba hindari kini muncul dengan kuat.
Neysa, wanita yang tampaknya datang dari masa lalu Elzio, seakan-akan menyelinap ke dalam dunianya tanpa permisi. Setiap kali Aluna menoleh ke arah mereka, dadanya terasa sesak. Segalanya terasa salah.
Raka, salah satu rekan kerjanya, memperhatikan perubahan di wajah Aluna. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Aluna dan berkata dengan nada santai, "Oh, itu Neysa. Teman lama Elzio."
Aluna mencoba tersenyum, meskipun hatinya mulai terasa berantakan. "Teman lama?" tanyanya tanpa berpaling dari kasir.
Raka mengangguk. "Iya, mereka udah kenal lama banget. Malah dulu pernah pacaran."
Jantung Aluna seakan berhenti berdetak sejenak. "Pernah pacaran?" Suaranya terdengar datar, meski dalam hati ia berusaha keras menahan gejolak yang tiba-tiba muncul.
"Yup, tapi itu udah lama banget. Sekarang sih mereka cuma teman biasa, katanya sih." Raka menyeringai, seolah itu bukan sesuatu yang penting. Namun bagi Aluna, kata-kata itu seperti bom yang meledak di kepalanya.
---
Malam itu, setelah kafe mulai sepi, Aluna duduk sendirian di sudut ruangan, menatap layar laptopnya yang kosong. Rasanya mustahil untuk fokus. Pikirannya dipenuhi oleh Elzio dan Neysa. Mereka terlihat begitu serasi, begitu dekat. Bagaimana mungkin Aluna bisa bersaing dengan seseorang seperti Neysa? Wanita yang telah mengenal Elzio jauh lebih lama darinya, yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.
Ketika ia tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara familiar mengagetkannya. "Aluna, kau masih di sini?"
Aluna mendongak dan melihat Elzio berdiri di dekatnya, membawa gitarnya dengan senyuman hangat. "Ya, aku... cuma menyelesaikan tulisan," jawabnya sambil berusaha terdengar biasa.
Elzio menarik kursi dan duduk di hadapannya. "Kau kelihatan tidak fokus. Ada yang mengganggumu?"
Aluna terdiam. Bagaimana mungkin ia menjelaskan perasaannya tanpa terlihat cemburu? Sebelum sempat ia menjawab, Elzio melanjutkan, "Kau lihat Neysa tadi? Dia teman lama, kami sudah lama tidak bertemu."
Aluna mencoba tersenyum. "Ya, aku lihat. Kalian tampak dekat."
Elzio tertawa ringan. "Kami memang pernah dekat, tapi itu sudah lama sekali. Sekarang, dia hanya teman. Tidak perlu khawatir."
Perkataannya menggantung di udara, menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apa maksud Elzio dengan 'tidak perlu khawatir'? Apakah dia tahu bahwa Aluna merasa cemburu?
Namun, sebelum Aluna bisa bertanya lebih lanjut, Neysa muncul di samping mereka. "Elzio, kau sudah siap? Aku bisa mengantarmu pulang," katanya dengan senyum manis, namun ada sesuatu di balik senyumnya yang membuat Aluna merasa tidak nyaman.
Elzio berdiri, merapikan gitarnya, dan menoleh pada Aluna. "Aku harus pergi, Luna. Jangan lupa ya, soal malam baca puisi itu. Aku masih menunggu jawabanmu."
Aluna hanya mengangguk, hatinya terasa semakin kacau. Setelah mereka pergi, ia duduk termenung, merasa bingung dan terjebak di antara keinginannya untuk lebih dekat dengan Elzio atau menjauh untuk melindungi hatinya.
---
Hari-hari berikutnya, Neysa semakin sering muncul di kafe. Setiap kali Aluna melihatnya, perasaan tidak nyaman itu kembali muncul. Neysa selalu tersenyum ramah, tetapi ada sesuatu dalam caranya berbicara dan bersikap yang membuat Aluna merasa bahwa ia sedang diuji.
Suatu sore, saat kafe mulai sepi, Neysa mendekati Aluna di kasir. "Aluna, kau akan datang ke acara malam baca puisi itu, kan?" tanyanya dengan nada santai namun menantang.
Aluna terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku belum tahu. Mungkin."
Neysa tersenyum, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. "Aku harap kau datang. Aku ingin lihat siapa yang bisa membuat Elzio lebih terkesan."
Kata-kata itu membuat Aluna terdiam, hatinya serasa imbang. Apakah ini sebuah tantangan? Neysa seolah sengaja menyiratkan bahwa ia memiliki kendali atas situasi ini, sementara Aluna hanya bisa merasa terpinggirkan.
---
Ketika malam baca puisi semakin dekat, Aluna tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Neysa. Seluruh perasaannya terhadap Elzio semakin rumit. Apakah ia harus menyerah? Mungkin Elzio dan Neysa lebih cocok bersama. Namun, bagian lain dari hatinya menolak untuk menyerah begitu saja. Bagaimanapun, Elzio selalu bersikap manis padanya, menunjukkan perhatian yang membuatnya merasa spesial.
Suatu malam, ponsel Aluna bergetar.
Elzio:
"Kau sudah memutuskan soal malam baca puisi itu? Aku benar-benar berharap kau datang."Aluna menatap pesan itu lama. Jika ia datang, itu berarti harus menghadapi Neysa, menghadapi semua ketakutan dan ketidakpastian nya. Tapi jika ia tidak datang, apakah itu berarti ia menyerah pada perasaannya?
Dengan tangan gemetar, ia mengetik balasannya.
Aluna:
"Aku akan datang."---
Saat malam baca puisi semakin dekat, Aluna tahu ini bukan hanya soal tampil di depan orang banyak. Ini soal keberaniannya untuk menghadapi perasaannya sendiri. Ini tentang menantang dirinya untuk berdiri di antara perasaan ingin mendekati Elzio atau mundur demi menjaga hatinya tetap utuh.
Namun, di lubuk hatinya, ia tahu bahwa malam itu mungkin bukan akhir dari semua kebingungannya. Sesuatu yang lebih besar mungkin masih menanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna Adrienne
Teen FictionAluna Adrienne adalah seorang perempuan muda yang terjebak dalam konflik keluarga yang berkepanjangan, mempengaruhi kesehatan mental dan emosionalnya. Setelah mengalami pertengkaran hebat, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan memulai hidup bar...