Shadow

3 1 0
                                    


Pagi itu, Aluna duduk di depan laptopnya, mencoba memfokuskan pikiran pada laporan yang harus ia selesaikan. Kafe tempatnya bekerja terasa ramai, suara-suara orang berbicara, cangkir yang beradu, dan musik yang diputar dari pengeras suara seolah bercampur menjadi satu. Biasanya, suasana seperti ini membantu Aluna untuk bekerja dengan lebih fokus, tapi hari ini berbeda.

Bayangan tentang Ferro masih menghantui pikirannya. Sejak semalam, ketika ia kembali melihat foto Ferro dan Neysa di Instagram, pikirannya tak pernah bisa tenang. Ada perasaan sakij yang ia coba abaikan, namun rasa itu terus muncul tanpa henti.

"Kenapa susah sekali melupakanmu, Ferro?" bisiknya pada dirinya sendiri, sambil menghela napas panjang.

Tiba-tiba, bunyi notifikasi di laptopnya mengalihkan perhatian. Email dari kantornya masuk, mengingatkan tentang tenggat waktu laporan yang harus dikumpulkan hari itu juga. Aluna merapikan rambutnya yang berantakan dan menegakkan punggung. Ini bukan saatnya untuk tenggelam dalam perasaan. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya, atau risikonya terlalu besar. Aluna mengalihkan perhatiannya kembali ke layar, memaksa jemarinya mengetik.

Namun, semakin keras ia mencoba, semakin pikirannya melayang kembali pada Ferro. Setiap kata yang ia tulis di layar terasa hampa, seperti tak ada yang menghubungkan otaknya dengan pekerjaan yang ada di hadapannya. Ia mendesah panjang, merasa frustrasi dengan dirinya sendiri.

"Tidak bisa terus begini," gumamnya pelan.

***

Sambil menatap layar laptop, ingatannya kembali melayang pada waktu-waktu indah bersama Ferro. Waktu ketika mereka sering bertemu di kafe yang sama ini, bercanda dan berbagi cerita hingga larut malam. Bagaimana Ferro selalu bisa membuatnya tertawa dengan candaan-candaan yang sederhana. Kini, kenangan itu menjadi duri dalam dirinya, menusuk setiap kali ia mencoba untuk melupakan.

"Fokus, Aluna. Fokus," katanya pada diri sendiri sambil menggenggam erat cangkir kopinya.

Namun, fokus itu sulit diraih. Dalam pikirannya, Ferro masih menjadi bayangan yang tak bisa ia hapus. Setiap kali ia memejamkan mata, wajahnya terlintas-tertawa, berbicara, menatapnya dengan mata yang dulu penuh perhatian. Tetapi kini, mata itu menatap orang lain. Bayangan Neysa, wanita yang kini lebih dekat dengan Ferro, membuat hatinya semakin perih. Aluna benci mengakui bahwa kecemburuannya terus menggerogoti ketenangannya.

Aluna menggelengkan kepala, berusaha membuang jauh-jauh pikiran itu. Ia membuka kembali dokumen di laptopnya, mencoba fokus pada angka dan data yang seharusnya menjadi prioritasnya. Namun, setiap kali ia mulai menulis, pikirannya kembali mengkhianatinya.

Ferro. Neysa. Senyuman mereka.

Tanpa sadar, jari-jarinya berhenti mengetik. Aluna menatap layar kosong di hadapannya, seolah-olah menunggu sebuah keajaiban yang bisa menariknya keluar dari kebingungan ini.

"Kamu harus move on, Lun," suara Safa terngiang di telinganya. Nasihat yang selalu datang dari sahabatnya itu kini terasa seperti sebuah pengingat yang tidak bisa ia abaikan.

Namun, bagaimana mungkin ia bisa move on, ketika setiap sudut hidupnya masih dipenuhi oleh bayangan pria yang selama ini ia cintai?

***

Sore mulai menjelang, dan pekerjaan Aluna belum juga selesai. Kafe yang tadinya ramai kini mulai sepi. Aluna masih duduk di tempat yang sama, menatap layar laptopnya yang kini terlihat seperti musuh. Laporan yang harus ia selesaikan masih belum bergerak banyak dari pagi tadi. Ia merasa seperti terjebak di antara dua dunia-dunia nyata yang menuntutnya untuk bekerja, dan dunia emosionalnya yang terus-menerus diserang oleh kenangan tentang Ferro.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan cepat, Aluna meraihnya, berharap pesan itu bisa mengalihkan pikirannya sejenak. Namun, begitu ia melihat nama pengirimnya, hatinya berdegup kencang.

Elzioo

Untuk beberapa detik, Aluna terdiam. Apa yang ingin dikatakan Ferro kali ini? Setelah semua yang ia lihat tentang Neysa, apakah ia masih harus berbicara dengan Ferro seolah-olah tak ada yang terjadi?

Dengan tangan yang gemetar, ia membuka pesan itu.

"Hai, Lun. Lagi sibuk nggak? Aku mau ngobrol."

Pesan yang singkat, sederhana, namun penuh makna. Aluna memandangi layar ponselnya, merasa dilema. Sebagian dari dirinya ingin langsung merespons, ingin tahu apa yang ingin Ferro katakan. Mungkin, hanya mungkin, ada penjelasan yang bisa meredakan semua kebingungannya. Namun, sebagian lagi dari dirinya tahu bahwa membuka pintu untuk percakapan ini hanya akan membuatnya semakin terjerat dalam lingkaran perasaan yang ia coba hindari.

Setelah beberapa menit menatap layar, Aluna menghela napas panjang. Ia mengetik balasan yang singkat.

"Aku lagi sibuk. Nanti aja, ya."

Ia meletakkan ponselnya di meja, berusaha mengalihkan perasaan yang kembali mengaduk-aduk hatinya. Ferro masih memikirkan dirinya, dan itu membuat segalanya menjadi lebih sulit. Mengapa, setelah semua ini, ia masih mengharapkan kehadirannya?

***

Malam itu, setelah berjam-jam mencoba menyelesaikan pekerjaannya, Aluna akhirnya menyerah. Pekerjaan tetap tak selesai, dan pikirannya tetap dipenuhi oleh Ferro. Aluna tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk mengendalikan dirinya, untuk bisa melepaskan Ferro dari pikirannya. Namun, itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Di dalam kamar tidurnya yang sunyi, Aluna duduk di tepi ranjang. Ia merasa lelah, baik fisik maupun emosional. Hari-harinya selama ini hanya diisi dengan upaya mengalihkan diri dari kenyataan yang tak ingin ia hadapi. Dan malam ini, meski ia merasa sangat lelah, pikirannya tetap berputar-putar tentang hal yang sama.

Ferro.

"Aku harus mulai hidup untuk diriku sendiri," bisik Aluna pada dirinya sendiri, meski ia belum yakin sepenuhnya bagaimana caranya melakukan itu.

Ia tahu bahwa hidupnya tak bisa terus-terusan seperti ini. Jika ia ingin menemukan kebahagiaan, ia harus mulai berhenti memikirkan tentang sesuatu yang tak bisa ia kontrol. Tentang seseorang yang, meski tak pernah benar-benar meninggalkannya, juga tak pernah benar-benar bersamanya.

Namun, meski ia tahu semua itu, hatinya masih belum siap untuk melepaskan.

Dan dengan pikiran itu, malam ini, Aluna kenbali terjebak dalam perang batinnya yang tak berujung. Bayangan Ferro masih terus menghantui, seolah-olah tak ingin pergi, seolah-olah ingin terus menetap di setiap sudut hidupnya.






🎀🎀🎀
Kalo ada typo komen plsss 😗
Barangkali boleh promosikan heheheheh

Aluna Adrienne Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang