Strong Friendship

4 1 0
                                    

Hari itu di kafe, matahari menyelinap melalui celah-celah jendela, menghangatkan suasana pagi yang sibuk. Aluna sibuk melayani pelanggan, namun sesekali matanya mencuri pandang ke arah teman-teman kerjanya. Ada Safa yang ceria dengan rambut diikat kuncir kuda, bercanda dengan pelanggan seperti biasa, membuat suasana kafe terasa lebih hidup. Di sudut lain, Raka, sang barista yang pendiam, berdiri di belakang mesin espresso, fokus meracik kopi tanpa banyak bicara, seperti biasa. Dan tentu saja, Damar, dengan gaya santainya, tersenyum jahil setiap kali Safa mulai menggodanya dengan lelucon ringan.

Aluna menyeka keringat di dahinya setelah menyelesaikan pesanan pelanggan yang tergesa-gesa. Dalam beberapa bulan terakhir, bekerja di kafe ini telah menjadi bagian penting dari kehidupannya. Namun, lebih dari itu, hubungan yang ia bangun dengan rekan-rekannya mulai terasa seperti oase di tengah padang gersang yang ia rasakan sejak meninggalkan rumah.

"Ada yang bisa ku bantu?" suara lembut namun ceria Safa menyapa Aluna yang sedang berdiri di belakang kasir.

Aluna tersenyum. "Nggak, terima kasih, Safa. Hari ini ramai, ya?"

Safa mengangguk cepat. "Ramai banget, tapi aku suka! Pelanggan-pelanggannya asyik-asyik. Oh ya, si Damian sudah duduk di pojokan lagi, lho."

Aluna mengalihkan pandangannya ke sudut kafe, di mana Damian, pelanggan tetap, duduk sendirian seperti biasa. Pria itu tenggelam dalam laptopnya, mungkin sedang menulis sesuatu atau membaca artikel. Meskipun Damian sering kali tampak pendiam, kehadirannya di kafe selalu menjadi sesuatu yang dinantikan. Ia bukan tipe yang mengobrol banyak, tetapi kebaikan hatinya terlihat jelas dari senyum tipis dan sapaan singkatnya ketika ia memesan kopi.

"Dia nggak pernah bosan ya, datang sendirian terus," gumam Aluna.

Safa tertawa pelan. "Mungkin kafe ini tempat favoritnya. Atau mungkin dia lagi nulis sesuatu yang serius. Siapa tahu, ya kan?"

Damar, yang mendengar pembicaraan itu dari meja lain, melangkah mendekat dengan senyum jahilnya. "Damian? Ah, aku yakin dia nulis novel misteri atau sesuatu yang keren. Diam-diam, tapi otaknya pasti jalan terus."

Aluna tertawa. Damar selalu bisa membuat suasana jadi ringan dengan candaannya. "Kalau kamu yang nulis, Dam, aku yakin itu novel komedi," balas Aluna.

Damar mengangkat bahu, "Eh, siapa tahu. Tapi serius, Luna, kamu udah lama di sini, dan aku lihat kamu makin nyaman, ya? Nggak kayak pas pertama kali."

Aluna terdiam sejenak. Damar benar. Ketika pertama kali bekerja di kafe ini, ia merasa seperti orang asing. Ia tak mengenal siapa pun, dan beban hidup yang ia bawa membuatnya sulit untuk membuka diri. Namun, waktu mengubah segalanya. Persahabatannya dengan Safa, Damar, Raka, dan Damian-meski pria itu hanya pelanggan-mulai memberikan dukungan emosional yang sangat ia butuhkan.

"Ya, aku merasa lebih baik sekarang. Kalian semua bantu aku lebih dari yang kalian sadari," jawab Aluna jujur, senyumnya lembut.

Raka, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan sambil meracik kopi, tiba-tiba menoleh. "Teman itu penting," katanya singkat sebelum kembali fokus ke kopinya.

Damar tertawa keras. "Wah, Raka bicara! Catat di kalender, Safa!" Damar menepuk-nepuk bahu Raka dengan gaya bercanda.

Safa bergabung dalam tawa itu. "Iya, iya, bener juga. Jarang-jarang nih!"

Raka hanya tersenyum tipis, tidak banyak bicara, tapi jelas ada ikatan yang terbentuk di antara mereka semua.

***

Beberapa minggu kemudian, malam itu di kafe terasa lebih tenang. Suasana yang biasanya ramai berubah menjadi lebih santai. Para pelanggan mulai berkurang seiring waktu mendekati tutup, dan tim kafe mulai sedikit melonggarkan kesibukan mereka. Safa, dengan sifatnya yang ceria, mengusulkan agar mereka duduk bersama setelah kafe tutup.

"Bagaimana kalau kita nongkrong dulu setelah ini? Cuma ngobrol-ngobrol sambil minum kopi sisa," tawar Safa.

Aluna langsung menyetujui ide itu. "Tentu! Sepertinya sudah lama kita nggak punya waktu untuk ngobrol santai."

Raka hanya mengangguk setuju sambil tetap membersihkan mesin kopi, sementara Damar, seperti biasa, langsung setuju dengan antusias.

Beberapa menit setelah kafe resmi tutup, mereka berkumpul di meja paling belakang. Masing-masing membawa secangkir kopi, dan obrolan ringan mulai mengalir di antara mereka. Awalnya, mereka hanya berbicara tentang pekerjaan-pelanggan yang menyebalkan, pesanan aneh yang mereka terima, dan kejadian-kejadian konyol di kafe. Namun, seiring berjalannya waktu, pembicaraan mulai bergeser ke hal-hal yang lebih pribadi.

Safa, dengan ekspresi ceria yang selalu ia kenakan, tiba-tiba berbicara tentang keluarganya di luar kota. "Aku sebenarnya suka banget kerja di sini, tapi kadang kangen juga sama keluargaku di rumah. Aku udah hampir setahun nggak pulang."

Aluna bisa merasakan sedikit kerinduan dalam nada suara Safa, meskipun gadis itu berusaha menyembunyikannya di balik senyumnya.

"Kenapa nggak coba pulang sebentar? Libur akhir pekan?" tanya Aluna.

Safa menggeleng. "Mungkin nanti. Sekarang lagi sibuk-sibuknya, kan? Lagipula, aku juga nggak mau ninggalin kalian di sini pas lagi ramai-ramainya."

Raka yang biasanya jarang berbicara tiba-tiba menimpali. "Keluarga penting. Kalau bisa pulang, pulang aja. Nanti kita yang jaga kafe."

Kejutan muncul di wajah Safa, dan juga di wajah Aluna. Raka memang dikenal sebagai pria pendiam yang jarang terlibat dalam obrolan pribadi. Namun, ketika ia berbicara, kata-katanya selalu punya makna yang dalam.

"Wow, Raka. Kamu bener-bener peduli ya sama kita," canda Damar sambil terkekeh, mencoba meringankan suasana.

Namun, di balik candaan itu, Aluna tahu bahwa ada kebenaran dalam kata-kata Raka. Persahabatan mereka di kafe ini lebih dari sekadar hubungan kerja. Ada ikatan yang tumbuh, ikatan yang mulai mengisi kekosongan yang pernah Aluna rasakan sejak meninggalkan rumah.

***

Suatu malam setelah mereka selesai bersih-bersih, Damian, pelanggan tetap, datang mendekati mereka saat mereka berkumpul di meja belakang. Pria itu membawa laptopnya, tapi kali ini tak langsung tenggelam dalam layar.

"Aku lihat kalian selalu kumpul setelah tutup. Boleh gabung?" tanyanya dengan suara tenang, namun hangat.

Safa langsung menyambut dengan antusias, "Tentu saja! Duduk sini, Damian. Mau kopi?"

Damian mengangguk, dan Safa segera membuatkan secangkir kopi untuknya. Meskipun Damian adalah pelanggan tetap yang sering datang sendiri, kehadirannya tak pernah membuat suasana jadi canggung. Ia pendiam, tetapi kebaikan dan ketenangannya membuatnya mudah disukai.

"Jadi, kamu sering nulis di sini?" tanya Damar sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

Damian tersenyum tipis. "Ya, aku lagi ngerjain novel sebenarnya. Tempat ini enak buat kerja, suasananya tenang."

Mendengar itu, Safa langsung antusias. "Wah, novel? Tentang apa?"

"Lebih ke drama kehidupan. Ceritanya tentang seseorang yang berusaha menemukan jati dirinya setelah melalui banyak masalah dalam hidup," jawab Damian sambil menatap cangkir kopinya.

Aluna merasakan ada sesuatu yang familiar dalam kata-kata Damian. Seolah-olah apa yang ia tulis menggambarkan perjalanan hidupnya sendiri. Tanpa sadar, ia menatap Damian lebih lama, merasa ada keterhubungan emosional di antara mereka, meskipun tidak terucap.

***

Malam itu berakhir dengan lebih banyak tawa dan cerita. Aluna merasa hatinya lebih ringan setelah berbicara dengan teman-temannya. Dukungan yang mereka berikan, baik secara langsung maupun tidak, menjadi sumber kekuatan yang ia butuhkan. Ia tak lagi merasa sendirian di kota yang asing ini. Meski kehidupan di luar kafe masih penuh dengan tantangan, setidaknya di sini, di antara orang-orang yang peduli padanya, Aluna menemukan tempat di mana ia bisa merasa nyaman dan didukung.

Persahabatan yang tumbuh ini memberikan kekuatan yang luar biasa bagi Aluna, dan ia mulai menyadari bahwa kadang, keluarga tidak selalu berasal dari darah. Keluarga juga bisa berarti orang-orang yang ada di sekitar kita, yang memberikan dukungan.

🎀🎀🎀
Barangkali mau ada tambahan apa gitu?

Aluna Adrienne Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang