Pagi ini sangat berbeda karena saat membuka mata ia sudah bukan lagi menatap atap kamarnya yang dulu melainkan atap kamar barunya. Liel cukup suka dengan kamar yang diberikan Herry. Kamarnya luas dan warna dindingnya full putih sesuai dengan seleranya.
Liel segera bangun dan mencuci wajahnya setelah itu keluar dari kamar untuk mencari Gama. Ia ingin melihat bagaimana bentuk kamar kakaknya itu. Ngomong-ngomong, dia tidak mengetahui di mana kamar kakaknya.
"Selamat pagi, tuan muda."
Liel membalas sapaan Roy padanya. Kebetulan sekali pria itu ada di sini, dia jadi bisa bertanya.
"Kamar kakak gue di mana, ya?"
"Mari saya antar, tuan."
Roy menuntun jalan Liel. Mereka hanya berjalan sedikit menyusuri lorong hingga berhenti di depan sebuah pintu.
"Ini kamarnya?"
"Benar, tuan."
"Oke, makasih."
Roy menerima ucapan terima kasih dari tuan mudanya itu kemudian pamit undur diri.
Liel mengetuk pintu kamar Gama dan menunggu beberapa saat hingga pintu itu akhirnya terbuka. Gama menatap datar adiknya yang terlihat sedang berpikir.
"Mau apa?" tanyanya.
"Ah, mau liat kamarnya dong!" pinta Liel.
Tanpa mengatakan apapun Gama langsung membuka lebar pintu kamarnya yang artinya dia menyuruh adiknya masuk. Liel masuk dengan senang hati.
Tidak ada yang berbeda dari kamar Gama dan kamarnya. Ukurannya sama, warna putih juga mendominasi. Hanya saja kamar kakaknya ini memiliki warna abu-abu gelap di dindingnya. Liel tidak heran karena Gama memang menyukai warna-warna gelap. Berbeda dengannya yang sangat menyukai warna putih.
"Nggak kapok-kapok sama warna gelap ternyata," komen Liel pada kakaknya.
Gama tak mengindahkan ucapan adiknya yang seperti mengejek itu. Dia memang menyukai warna-warna perpaduan gelap dan terang. Itu membuat kesan dominan dan cocok untuk dirinya yang cool ini.
"Mau ke mana?" tanya Gama saat Liel melangkah keluar. Jangan bilang anak nakal itu datang hanya untuk melihat kamarnya?
"Turun lah, apalagi?"
"Bareng aja," ujar Gama.
"Nggak mau! Lama!" tolak Liel cepat. Ia langsung keluar dari kamar kakaknya tanpa menunggu respon pemilik kamar.
Gama yang ditolak adiknya hanya bisa menghela nafas. Lama apanya coba? Dia hanya perlu waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Adiknya saja yang tidak sabaran.
...
Liel menuruni anak tangga dengan perlahan untuk sekedar melihat-lihat suasana pagi di rumah barunya ini. Jika diperhatikan, rumah ini hanya ramai oleh pelayan serta para penjaga. Apa Herry benar-benar tinggal sendiri di rumah yang besar ini?
"Liel, kenapa tidak menggunakan lift?"
Liel sedikit terkejut dengan teguran Herry yang ternyata keluar lewat lift. Ah, soal lift itu lagi-lagi dia melupakannya karena belum terbiasa. Herry menghampiri putranya itu yang sudah sampai di anak tangga terakhir. Ia mengelus rambut Liel dengan penuh kasih sayang.
"Kau belum menjawab pertanyaan papa," ujarnya lagi.
"Hm? Lupa," jawabnya jujur.
Herry memakluminya karena mungkin putranya itu belum terbiasa. Ia membawa Liel menuju ruang makan keluarga yang di mana sudah ada Sera yang menyiapkan banyak makanan.
"Pagi, mama~" sapa Liel senang.
"Pagi, sayang," balas Sera dengan senyum menenangkan.
Liel mengambil posisi kursi yang di sebelah mamanya. Sera meletakkan teh untuk Herry dan susu untuk Liel. Gama datang kemudian dan mengambil posisi kursi yang berhadapan dengan Liel. Sera memberikan teh untuk putra pertamanya itu.
Mereka kemudian sarapan dengan hikmat tanpa adanya pembicaraan sebelum selesai makan.
"Mah, Liel hari ini mau main sama Tio. Boleh, kan?" tanya Liel disaat semua sudah selesai sarapan.
"Kakak ikut?"
"Nggak dong, ngapain coba? Tio kan temen Liel," jawab Liel ketus.
"Main ke mana?" kali ini Herry yang bertanya. Ia berhak mengetahui ke mana putranya akan pergi.
"Ke tempat nongkrong lah!"
"Liel," tegur Sera. Saat ini Liel bicara dengan nada yang tidak sopan pada ayahnya.
Herry tersenyum kecil. Tidak tersinggung sama sekali dengan nada ketus putranya. Itu hal yang wajar karena Liel masih belum menerimanya sebagai ayah barunya. Herry memakluminya.
"Kalau begitu tidak usah pergi," ujarnya dengan senyum tipis yang berhasil membuat Liel marah.
"Kenapa?!"
"Karena itu tidak penting."
Liel tercengang dengan jawaban papa tirinya. Ia bangkit dari duduknya kemudian pergi ke kamarnya tanpa mengatakan apapun. Sera bahkan tak bisa menghentikannya. Herry juga tak berniat menghentikan putranya yang nakal itu. Sedangkan Gama hanya memperhatikan dengan tenang kejadian yang sudah biasa dilihatnya ini. Liel itu pantang sekali dilarang. Jika dilarang, Liel tak berdebat banyak melainkan langsung marah dalam diam dan pergi dengan rasa kesal.
Untuk pertama kalinya Herry mendapatkan amarah Liel dan pria itu harusnya tahu apa yang harus dilakukan. Ya, Herry harus membujuknya nanti.
____________
Tbc>>Haii, Liel up lagi nih. Nggak terlalu panjang gpp ya?
Nggak akan lupa buat bilang makasih sama kalian yang sampai saat ini masih support aku dalam berkarya. Sehat-sehat ya kalian di sana^^
Btw, sekedar info untuk cerita ku.
1. Ardan [Republish] Lengkap di Pdf
2. Story Of Nakala Lengkap di Pdf
3. Story of Arendra [Versi 2] Tersedia di Pdf
4. Life of Liel [On Going]
5. K......A [Coming Soon]Yang kelima mungkin beberapa dari kalian ada yg udah tau spoiler nya, di keep dulu aja ya. Rencananya aku mau publish awal september. Do'ain lancar-lancar aja ya, wkwk.
Sebenernya masih banyak draft cerita baru cuman masih belum ku pikirin mateng². Satu-satu dulu aja deh. Untuk cerita yang di pdf, kalian bisa order by WA, oke.
Sekian
See you next part 👋
![](https://img.wattpad.com/cover/365761037-288-k541964.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Life of Liel [On Going]
Fiksi Remaja----- Liel si anak bungsu yang keras kepala dan sulit diatur memiliki Gama, seorang kakak yang sangat protektif dan keras dalam mendidik. Liel sangat tidak suka dengan sikap sang kakak ditambah lagi kedatangan seorang ayah tiri yang membuatnya semak...