5

186 39 13
                                    

Sudah 15 menit Tama menunggu dengan perasaan khawatir. Ibu yang ada di dalam kamar Sasya tak kunjung keluar hal itu semakin membuat perasaan Tama tak tenang.

Dia gerakan kakinya tangannya trus coba menghubungi Ayahnya. Suara dari pintu kamar Sasya membuat dia langsung berdiri menghampiri ibu nya yang baru saja keluar.

"Dia kenapa?"

"Gak apa-apa.." Jawab Bu Ratih tersenyum sembari membawa kotak obat.
"Mungkin kecapean aja. Biarin Sasya istirahat dulu.."

Suara nafas lega dari Tama membuat Ibu nya menggeleng. "Khawatir banget ya?"

Dia langsung kondisikan wajahnya, dahinya mengerut tanda menolak pertanyaan Ibu nya. "Biasa aja.. " Ucap nya sembari pergi dari hadapan Ibu nya.

"Aku balik ke kantor desa lagi.. " Ucap Tama sedikit berteriak agar Ibu nya yang didalam mendengar.

Sesampainya di kantor Desa Tama membereskan beberapa kerjaan yang harusnya dikerjakan Ayahnya. Tama menjabat sebagai sekretaris Desa. Bergelut di kantor Desa belum lama Tama geluti. Awalnya dia tak ingin berada disini hanya karna Ayahnya menjabat sebagai kepala Desa. Tapi Tama rasa kantor Desa ini perlu anak muda. Hanya dia lah anak muda yang berada di kantor ini.

Ayahnya tak pernah meminta Tama untuk bergabung masuk dalam urusan penting orang dewasa. Diusianya yang masih muda, kedua orang tuanya selalu mendukung apapun yang Tama lakukan.

Bahkan Pak Dawan sudah meminta Tama untuk melanjutkan pendidikan nya di kota. Tapi Tama merasa keberlangsungan hidup masyarakat Desa juga menjadi tanggung jawabnya.

Untuk satu tahun dua tahun kedepan biarlah hal ini jadi bekal sebelum terjun ke dunia yang sesungguhnya pikirnya. Setelah itu mungkin dia akan melanjutkan pendidikannya mencari ilmu yang lebih luas untuk membangun Desanya.

Lagian menjadi bagian dari perangkat Desa tak buruk juga. Tama banyak belajar dari orang-orang yang memang sudah lebih dulu menggeluti bidang ini.

"Ini kopinya Mas.. "

"Oh iya makasih ya.. "

Orang-orang lebih sering memanggil Tama dengan panggilan Mas. Mungkin karna terlahir dari rahim perempuan berdarah Sunda, lagian wajah Tama memang lebih mirip dengan wajah Ibu nya.

Aroma kopi hangat mampu mengusir banyak pertanyaan didalam pikirannya. Satu dua berkas sudah dia selesaikan, waktu juga terus berjalan semakin sore. Beberapa orang sudah pamit untuk pulang duluan.

Data-data penduduk masih menumpuk tak beraturan. Banyak sekali pikirnya hal yang harus dia kerjakan. Dia rapihkan meja kerjanya yang berantakan. Matahari semakin tenggelam dia harus pulang, kantor Desa juga sudah sangat sepi.

Seharusnya kakinya bisa menapak sempurna di halaman rumahnya, tapi dia merasa kakinya tak berpijak dengan baik. Matanya memandang jauh kedalam rumah. Sosok Sasya memenuhi bola matanya.

Senyum Sasya suara ketawanya yang nyaring membuat Tama luruhkan semua rasa khawatirnya. Setelah beberapa menit dia berhasil kendalikan dirinya sendiri, kembali berjalan masuk kedalam rumah.

Ntah mungkin hanya perasaanya saja, dia merasa wajah Sasya jadi berubah menjadi cemberut. Senyum dan tawanya hilang begitu saja.

Pandangannya bertemu dengan pandangan mata Sasya, tatapan tajam yang Sasya berikan membuat Tama jadi bergidik sendiri.

Setelah ikut bergabung duduk dan berbincang, ternyata tawa Sasya timbul karna kedua orang tuanya yang membicarakan masa kecilnya pada Sasya.




GARIS RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang