Dia benar-benar menyesal, kalau jadinya akan seperti ini mungkin dia lebih baik memilih duduk di jok motor Tama yang keras.
Kepulan asap yang keluar dari mulut laki-laki tua membuat Sasya batuk beberapa kali. Kalau saja Tama tidak membuat Sasya kesal semalam mungkin dia masih berpikir untuk ikut bersama Tama.
Karna hal itu dia rela berangkat lebih pagi menumpang pada Pak Dawan. Awalnya nyaman saja, dipertengahan jalan ada seorang perangkat desa juga yang menumpang, mobil pick up yang digunakan untuk mengangkat sayur ini memang hanya memiliki satu kursi penumpang.
Sasya rela saja jika dia harus duduk dibelakang bak sayur yang siap diantar kepasar. Mungkin Pak Dawan juga tidak menyangka kalau teman kerjanya itu langsung masuk ke kursi penumpang padahal jelas ada Sasya yang sudah duduk.
Sekarang dia harus membagi kursi duduknya, dia yang berada di tengah benar-benar dibuat canggung.
Pak Dawan yang duduk dibalik kemudi melihat gelagat Sasya yang tak nyaman.
"Pak saya minta maaf, tapi bapak bisa duduk di belakang saja?" Kata Pak Dawan, dia berhentikan mobilnya.
Seorang laki-laki yang diketahui bernama Sandy dengan entengnya menjawab. "Ah dibelakang itu panas Pak.. "
Cengkraman tangan Pak Dawan pada stir mobil tertangkap mata Sasya, daripada terus bersikukuh Sasya pikir biar saja dia yang mengalah. "Saya saja Pak yang dibelakang.. "
Tapi seperti nya Pak Dawan tak menghiraukan ucapan Sasya, dia lebih memilih berbicara lagi dengan Pak Sandy. "Pak saya minta tolong, kalau memang mau menumpang duduk dibelakang.. "
"Bapak tau sendiri asam urat saya suka kambuh kalau kena panas.. "
Lama-lama jengkel juga pikir Sasya, apa hubungannya panas dengan asam urat.
"Pak permisi saya mau turun... "
Suara pintu mobil yang ditutup dengan keras oleh Sasya adalah bentuk kekesalannya. Dia lempar sepatu hak tingginya dengan perasaan yang benar-benar kesal, dia yang sedang mengenakan rok pendek harus susah payah naik ke mobil pick up. Dia sengaja memakai pakaian sedikit formal karna agenda hari ini hanya di balai desa.
Beruntung nya jarak rumah Pak Dawan dengan kantor desa tidak lah jauh. Tapi tetap saja hal ini membuat separuh perasaan bahagia Sasya jadi hilang.
Mobil sudah berhenti didepan balai desa. Sasya bisa lihat Tama yang berada didalam balai desa langsung keluar karna suara mobil yang datang.
Kapan Tama berangkat dari rumah pikir Sasya, bukannya Tama harusnya berangkat lebih siang. Keributan kecil dijalan tadi apakah membuatnya datang terlambat? Sasya lihat jam ditangannya, jam masih menunjukan pukul setengah delapan pagi. Harusnya Tama masih di rumah.
Di tengah rasa penasarannya tatapannya bertemu dengan Tama, tak ingin berlama-lama, dia alihkan pandangan itu, perasaanya sedang tidak baik-baik saja dia tidak ingin menambah perasaan jelek jika harus berurusan dengan Tama.
Sasya tidak tau pasti kapan Tama berjalan kearahnya, Tama tiba-tiba saja sudah ada di bawah mobil, tangannya terulur untuk membantunya turun.
Sasya yang masih kesal menolak tawaran bantuan dari Tama, dia lebih memilih turun sendiri. Setelah berhasil turun dia ambil sepatu hak tingginya, dan pergi meninggalkan Tama.
..
.
.Balai Desa cukup ramai, ada sebagian masyarakat Desa hadir datang terutama petani-petani yang membawa keluhannya untuk diadukan pada Sasya.
Ditengah ramainya suara, dia yang duduk bersebrangan dengan Sasya terus meliriknya. Menurutnya pagi ini Sasya terlihat lebih galak dibanding kemarin.
Sekarang dia bisa lihat Sasya menekuk wajahnya, walau sesekali tersenyum tapi Tama tau kalau Sasya pasti sedang kesal.
"Jadi Sasya akan bantu kita disini ya. Jadi tolong untuk Bapak dan Ibu mohon kerjasamanya untuk Sasya.. "
Pak Dawan menutup perkenalan Sasya.
Sasya sudah dikerubungi masyarakat, Tama biarkan hal itu, dia juga kembali ke meja kerjanya.
Dari meja kerjanya sesekali Tama perhatikan gerak gerik Sasya yang terlalu serius mendengar dan mencatat berbagai keluhan dari masyarakat.
Dua jam berlalu beberapa masyarakat masih ada di meja kerja Sasya.
Pekerjaannya sudah hampir selesai. Setelah membuatkan es teh manis dia berjalan ke meja kerja Sasya.
Dia letakan satu gelas es teh manis. Petani terakhir pergi dari meja kerja Sasya, detik itu juga Sasya langsung menelanjangi Tama dengan tatapan yang tajam.
"Minum dulu.. " Kata Tama dia geret kursi untuk duduk dihadapan Sasya.
Bukannya langsung meminum es teh manis buatan Tama. Sasya malah terus menatap Tama dan es teh manis secara bergantian.
"Ga ada racunnya kok.. "
Tama jadi tersenyum, wajah Sasya seperti menaruh curiga, walau pada akhirnya dia meminum es teh manis buatannnya. "Oke. Makasih.. "
"Aus banget ya?" Kata Tama lagi setelah Sasya habiskan sekaligus es teh manis buatannya.
"Biasa aja.. "
"Oh biasa aja.. " Menganggukan kepalanya Tama ulangi ucapan Sasya.
Sasya seperti nya tak ingin membuang waktunya dia langsung menyodorkan buku catetan nya dihadapan Tama, membuat wajah Tama berubah serius. Hampir 80% persolaan yang terjadi dari petani Desa adalah soal pupuk.
Pupuk yang tidak memadai jumlah nya, pupuk yang masa kadaluarsa nya melampaui batas tanggal. Bahkan pupuk rusak sebelum terpakai.
Membaca hal itu Tama sebagai perangkat Desa jelas malu. Selama ini dia selalu memberikan yang terbaik untuk masyarakat, urusan pengadaan memang bukan tugas nya. Dia tidak tau menau tentang hal ini, tapi dia tau siapa dibalik semua ini.
Ada yang tidak beres pikir Tama. Mungkin setelah ini dia harus mengecek data pengeluaran anggaran.
"Setau Saya Pupuk sudah menggunakan produk bagus.."
"Tiap bulan anggaran paling besar ya untuk Pupuk.." Kata Tama lagi.
Mungkin sekarang yang ada dipikiran Sasya dan Tama itu sama. Tapi Sasya tak mau terlalu pusing untuk urusan dalam. Biarkan itu jadi urusan Tama. Dia tinggalkan Tama untuk menelpon seseorang.
"Dimana harus beli pupuk?" Kata Sasya setelah kembali.
"Ya—kepasar.. "
Sasya pikir jika harus kepasar mungkin dia akan mendapatkan pupuk dengan merk yang sama. Sasya sudah berkordinasi dengan pihak kampus untuk bisa mendapatkan pupuk yang jauh lebih bagus.
Pihak kampus setuju untuk mengirim pupuk sore nanti.
"Nanti bisa antar saya ke pom bensin deket perbatasan Desa?"
"Mau apa?"
"Ambil pupuk.. " Kata Sasya.
"Bisa aja. Mau sekarang?"
"Nanti sore aja. Sekarang panas, saya ga sanggup kalau harus naik motor kamu ditambah panas.."
"Bisa gak sih kamu ganti jok motor?" Kata Sasya lagi, pertanyaan nya semakin membuat Tama kesal.
"Ga."
Dengan tidak berdosanya Sasya hanya mengangguk, kembali mengecek beberapa catatannya tanpa menghiraukan kalau perkataan nya cukup menyinggung Tama.
Tama memilih untuk kembali ke meja kerjanya. Pikirnya ada hal lebih serius yang harus dia selesaikan dibanding harus mengurusi Sasya.
°°
SeeYou^^
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS RASA
General FictionSatu titik rasa yang tersusun rapih saling terhubung membentuk garis lurus yang tak ada ujungnya.