9

196 28 12
                                    

Helai-helai rambut yang tertiup angin memaksa dia harus mencuci tangan kotornya. Hampir dua jam lamanya dia berada di Green House untuk memeriksa beberapa tanaman.

Seperti yang Tama katakan pagi tadi, kalau dia tak bisa menemani Sasya siang ini. Jadi sejak siang Sasya menjalankan tugasnya sendiri. Hal itu tak jadi masalah, dia sudah mulai nyaman berada di desa ini. Beberapa petani juga cukup membuatnya senang.

"Mba Sasya... "

Dia yang tengah sibuk membersihkan tangan seketika mematikan kran air. Dia lihat seorang wanita paruh baya, wajahnya begitu sumringah membuat dia langsung ikut tersenyum juga.

"Iyaa?" Kata Sasya

"Makasih ya.. "

Dia kerutkan dahinya mendengar ucapan terimakasih dari seorang yang mungkin petani dilihat dari tangan yang kotor karna lumpur. Terimakasih untuk apa pikir Sasya.

"Terimakasih ya, sekarang air aliran ke sawah jadi lancar, kemaren-kemaren selalu macet. Dan lebih sering mati.. "

Mendengar hal itu Sasya langsung tersenyum, oh ternyata pipa air yang kemaren dia ganti terbukti efektif pikirnya. Dia sangat lega mendengar hal itu.

"Sama-sama.. " Kata Sasya.

"Kalau ada masalah lagi bisa kasih tau saya ya Bu.. "

"Ah—nak Sasya ini baik sekali." Dengan logat khasnya perempuan itu seperti sudah sangat akrab dengan Sasya. "Jangan lah panggil Saya Ibu, panggil Mama saja ya.. "

Sasya mengangguk setuju. "Iya Mama.. "

"Ngomong-ngomong, kamu ini cantik sekali.. "

Berkali-kali Sasya tersipu malu, tak terasa perbincangan itu berlangsung cukup lama, sampai dia tersadar jika harus membagikan pupuk pada petani untuk di uji coba, apakah pupuk yang Sasya bawa dari Jakarta efektif.

Matahari semakin terik seakan berada diatas kepala, Sasya menutup kepalanya dengan topi, dia berjalan menyusuri ladang dengan kaki yang menggunakan sepatu boots.

Dia bagikan pupuk pada petani, dan menjelaskan cara mengaplikasikannya. Dia juga bertanya apakah ada masalah, seperti nya tanpa dijawab, harusnya Sasya mengerti. Daun-daun jagung yang mengering itu sudah menjadi masalah yang harusnya tidak terjadi.

Helaan nafas nya terdengar berat, seharusnya bulan ini sudah memasuki musim hujan, tapi nyatanya disini masih terasa kemarau bahkan panas menyengat kulit.

Info dari Ibu nya kalau di Jakarta sudah cukup sering hujan, bahkan beberapa daerah tergenang air karna banjir.

Sasya potong daun-daun jagung yang kering, suara gesekan dari daun jagung dan pisau yang dia bawa seakan mewakili rasa kecewanya.

Dia rasa dia akan berhasil mengelola tanaman kecil seperti tomat, cabai dan selada yang berada di green house, tapi dia cukup pesimis untuk mendapatkan hasil panen yang memuaskan pada ladang padi dan jagung.

Dia putuskan untuk duduk di gubuk kecil sembari mencatat masalah yang harus dia selesai kan.

"Gagal panen sudah berlangsung lima tahun terakhir.."

Sasya yang sedang fokus kedepan jadi menolehkan kepalanya, seorang perempuan yang bisa Sasya tebak lebih muda darinya duduk di sebelahnya ntah sejak kapan.

"Perkenalkan Saya Ryuka, mahasiswi pertanian.."

"Sasya.. " Jawabnya sembari menerima jabatan tangan seseorang perempuan yang bernama Ryuka.

GARIS RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang