7

160 35 10
                                    

Ditemani semilir angin dia duduk diam dibalik punggung Tama. Di perjalanan melewati perdesaan yang asri hatinya menghangat. Dia baru menyadari kebahagiaan ternyata tercipta atas rasa syukur.

Rumah-rumah sederhana diisi canda
—tawa. Orang-orang disana terlihat dekat walau dengan kesederhanaan nya.

Diam-diam dia jadi rindu akan Ibu nya di rumah, mungkin sepulang nya mengambil pupuk dia bisa menelpon Ibunya di rumah.

Dibawah helm yang menutupinya terkadang matanya mengerjap karna sinar matahari masih menyengat. Dia sudah menempuh hampir setengah perjalanan. Sedari tadi Tama tak mengajaknya berbicara, hal itu tak jadi masalah, karna dia juga merasa belum terlalu akrab dengan Tama.

Dia masih abu-abu untuk menyikapi semua sikap Tama, tapi dari semua hal yang Tama lakukan, dia yakin kalau Tama adalah orang baik seperti kedua orang tuanya.

Punggungnya sudah terasa pegal, dia sentuh sedikit punggung Tama bermaksud menanyakan kapan perjalanan akan berakhir.

"Sebentar lagi.." Kata Tama mengerti akan kode yang dia berikan.

Tama tak berbohong, selang 20 menit motornya berhenti di pom bensin yang Sasya maksud.

Semakin sore membuat matahari kian turun, panas pun sirna disambut langit yang akan jadi gelap. Sasya langsung melepaskan helm nya, dia segera menghubungi pihak kampus yang katanya sudah ada di tempat.

"Aku di belakang kamu.. "

Suara dibalik telpon membuat Sasya jadi berbalik arah, dan benar sosok laki-laki yang umurnya tiga tahun lebih tua darinya sudah ada dihadapannya.

Dia tersenyum menurunkan handphone nya. "Sory ya Ka lama.. " Kata Sasya berbasa basi pada sosok laki-laki yang tak lain adalah seorang laborant kampus yang memang ikut andil dalam pengabdian ini.

"Gak kok, aku belum lama.."

Dari jarak yang tak jauh Tama hanya menunggu Sasya yang sedang berbicara dengan seseorang yang tak dia kenal. Dia duduk di motor asik bermain game didalam handphone.

"Tama.. "

Tama yang dipanggil jadi mematikan handphone nya, dia melihat Sasya sudah menekuk wajahnya terlihat kesusahan membawa karung kecil tentu berisikan pupuk. Tama langsung mengambil alih apa yang Sasya bawa.

"Ini berapa karung?" Kata Tama, melihat dia hanya menggunakan motor dia takut tak bisa mengangkut semuanya.

"4. Bisa ga?" Sasya menimpali sambil melihat Tama yang sedang menyusun pupuk di motornya.

Beruntung Tama sudah mengikat kayu dibelakang motornya, kalau tidak mungkin pupuk yang bisa diangkut hanya satu kantong.

"Bisa—bisa.. " Kata Tama lagi akhirnya setelah menaikan 4 kantong pupuk.

Satu kantong lagi dia terima dari sosok laki-laki berperawakan tinggi putih dengan senyum yang ramah.

Setelah semua kantong pupuk berhasil Tama susun dibelakang motor mengikatnya dengan kencang dia tersenyum bangga akan kinerja nya sendiri.

"Sya.. "

"Iya Ka?"

Pandangannya bertemu. Sasya putuskan pandangan itu, sosok laki-laki itu jadi kikuk sendiri.

"Kenapa, Ka?" Kata Sasya lagi.

Tama yang baru saja menyeka keringatnya sendiri harus melihat pemandangan yang membuatnya jadi seperti orang asing sendiri. Dia berpura-pura sibuk mengecek ikatan pada pupuk, memastikan bensin masih terisi penuh pada motornya. Telinganya terpasang untung mendengarkan obrolan antara Sasya dan laki-laki yang tak dia kenal.

GARIS RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang