Satu minggu berlalu ntah apa yang membuat ibu nya setuju. Mungkin karna Sasya yang sudah terlanjur daftar atau memang ada alasan lain, yang jelas Ibu nya berharap semua akan baik-baik saja.
"Ini serius Mah powerbank sebanyak ini?"
"Udah gapapa bawa aja, mamah gamau kamu jadi hilang kabar karna ga bisa cari listrik.."
Sasya geleng kan kepalanya, ada saja tingkah Ibu nya ini. "Ada kok Mah listrik.. "
Sasya sudah konfirmasi dengan pihak kampus walau daerah yang akan menjadi tempat pengabdian nya memang desa kecil yang jauh dari kota, tapi disana masih ada listrik.
"Tapi kan ga 24 jam.. " Kata Ibu nya lagi.
Benar, memang benar listrik disana tidak menyala selama 24 jam, hanya beberapa jam saja bahkan tidak sampai 12 jam, tapi setidaknya kalau hanya untuk mencharger handphone, dia masih bisa.
Dia harap begitu.
"Ya yaudah aku bawa.. " Akhirnya Sasya mengalah tidak ada salahnya juga, repot juga kalau pada kenyataanya disana ternyata tidak ada listrik sama sekali.
Sasya, mahasiswi Agroteknologi berumur 20 tahun sekarang sudah siap dengan dua kopernya menghadapi segala resiko yang akan dia dapat ditempat pengabdian.
Waktu berputar cukup cepat, jam keberangkatan nya sudah tiba, bahkan dia sudah ada di bandara. Sekarang dia sedang mendengarkan beberapa intruksi yang dosennya berikan. Lima mahasiswa beserta 3 dosen pembimbing berharap semua kegiatan berjalan lancar.
Pesawat mulai terbang ada doa yang dia panjatkan. Semoga dia bisa kembali ke Jakarta dengan sehat dan selamat.
Menempuh perjalanan udara selama kurang lebih empat jam akhirnya mereka tiba di bandara. Karna daerah yang akan dituju berbeda, lima orang terpecah menuju desa yang akan menjadi tempat pengabdian.
Matahari sangat terik seolah menyengat kulit, setelah menempuh perjalanan udara kini Sasya harus menempuh jalur laut, memakan waktu kurang lebih 8 jam mungkin dia harus banyak bersabar.
Dia berjalan menyusuri tiap ruangan yang kapal ini sediakan, ini pertama kalinya dia menggunakan tranportasi kapal laut sejauh ini, angin laut sedikit membuatnya pusing dan mual tapi matanya dimanjakan dengan pemandangan yang indah. Bahkan sekarang matahari sudah mulai turun seolah ditelan lautan luas.
Semburat langit berwarna orange tentu saja dia abadikan.
Ketika langit sudah benar-benar gelap, angin terasa semakin kencang dia jadi mual dan pusing. Dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap ketika matanya terbuka dia sudah sampai, rasanya badannya sudah gatal ingin mandi.
Dia mencoba menyadarkan kesadarannya, beruntung rasa mual dan pusing nya sedikit berkurang setelah bangun tidur.
Dia sudah sampai pelabuhan.
Dia bisa lihat keadaan begitu gelap, penerangan bersumber pada lampu-lampu kapal yang bersandar, selebihnya yang terlihat terang hanya tugu pintu masuk dan keluar pelabuhan saja. Itu pun sangat kecil.
Rasa dingin semakin menusuk tulangnya, suara deburan ombak mengikis rasa sepi dalam benaknya, apakah teman-temannya yang lain sudah sampai tujuan pikirnya.
Sasya memeluk dirinya sendiri, dia melihat jam sudah pukul 8 malam. Dia amati dosennya yang sedang berbicara pada seseorang dibalik telpon, Sasya bisa menangkap kalau itu dari pihak desa yang akan Sasya tuju.
Setelah mematikan telpon, Sasya menunggu apa yang dosennya akan katakan.
Dia jadi cemas...
"Kita harus naik kapal lagi ternyata.. "

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS RASA
General FictionSatu titik rasa yang tersusun rapih saling terhubung membentuk garis lurus yang tak ada ujungnya.