Memasuki kawasan Desa keningnya mengerut, suasana gelap gulita tak seperti dua hari kemaren pikirnya.
Jam masih menunjukkan pukul 7 malam, Sasya tepuk pundak Tama bermaksud untuk bertanya, kenapa keadaan Desa begitu gelap.
"Ini mati lampu atau gimana?" Kata Sasya
Tama dibalik kemudi baru menyadari kalau hari ini listrik padam, dia lupa memberitahu Sasya kalau listrik di desa memang akan padam seminggu satu sampai dua kali.
"Iya, pemadaman listrik mingguan.."
"Ha? gimana?" Kata Sasya menimpali dengan bingung.
Sebenarnya Sasya tau kalau di Desa ini listrik tidak akan selalu menyala. Setelah tiga hari disini, ini lah pertama kalinya listrik padam. Desa benar-benar jadi gelap, dia tidak bisa lihat apapun.
"Nanti aja jelasinnya di rumah.."
Dia tak jawab lagi pernyataan Tama. Dia lebih memilih memegang pundak Tama cukup erat, seketika sakit perutnya hilang berganti dengan suasana yang mencekam perasaannya.
Tama cukup sulit membawa motor karna tangan Sasya semakin kencang. Dia hentikan motornya.
"Kok brenti?!"
Sasya semakin menekan pundak Tama. Tama bisa merasakan kuku tajam milik Sasya mungkin sudah menancap di pundak nya.
"Gimana saya mau bawa motor?? Kalau tangan kamu terus dipundak saya??" Kata Tama, tangannya menarik tangan Sasya yang berada di pundaknya, dia taroh tangan Sasya untuk melingkari perutnya.
"Sudah diem. Sebentar lagi juga sampe.."
Sasya benar-benar diam, dia ikuti apa yang Tama katakan, tangannya melingkar diperut Tama.
Dua puluh menit perjalanan tersisa tak ada yang membuka mulut, akhirnya motor Tama sampai didepan rumah.
"Akhirnya kalian datang.."
Bu Ratih dan Pak Dawan datang dari dalam rumah sambil membawa lampu emergency. Dengan penerangan seadanya, Sasya tidak salah melihat kalau Bu Ratih tersenyum sambil melihat tangannya yang melingkar diperut Tama.
Menyadari hal itu dia langsung buru-buru melepaskan dan turun dari motor. Dia jadi kikuk sendiri harus berhadapan dengan bu Ratih. Dia takut bu Ratih jadi berpikir yang tidak-tidak.
"Belum makan kan kamu?" Kata Bu Ratih.
Sasya menggeleng dengan senyuman tipis, Bu Ratih selalu mengingat kan nya pada Ibunya di rumah, hanya saja bu Ratih lebih bertutur lembut dibanding ibu nya yang tegas. Dia benar-benar bersyukur mendapatkan tempat tinggal sementara bersama Pak Dawan dan bu Ratih yang baik.
"Yasudah Ibu siapkan makan dulu ya.."
Bu Ratih pergi dari hadapannya, menyisakan dia, Tama dan Pak Dawan.
Pak Dawan membantu Tama membawa pupuk masuk kedalam rumah.
Sambil mengamati gerak gerik Tama dan Pak Dawan, Sasya masih berdiri tak jauh dari mereka. "Sisanya lusa nanti dibawa kesini Pak.. " Kata Sasya.
"Nanti pagi saya langsung bawa ke petani pupuk nya.. " Lanjutnya, ada harapan yang dia gaungkan pada malam yang begitu gelap. Semoga apa yang dia usahakan ada hasil dan tidak mengecewakan.
Pak Dawan yang baru menaruh pupuk terakhir, menghampiri Sasya. "Terimakasih ya.. " Katanya, senyum terukir tipis tapi matanya menatap kosong seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Tama sudah kasih tau saya kalau ternyata pupuk yang kita gunakan selama ini gak bagus.."
Sasya ikut prihatin mendengar hal itu, karna seperti nya ada yang tidak beres soal anggaran yang keluar dan kualitas yang didapat.

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS RASA
Ficción GeneralSatu titik rasa yang tersusun rapih saling terhubung membentuk garis lurus yang tak ada ujungnya.