11

270 37 9
                                    

Masih dengan perasaan kesal dia pindahkan satu demi satu pupuk kedalam balai Desa. Dari jarak yang tak jauh dia lihat Sasya asik berbincang dengan Juan dan juga Ayahnya.

Kantong pupuk terakhir dia bawa, nafasnya terengah dia jatoh kan dirinya sendiri di lantai balai Desa bersama tumpukan pupuk.

Bulir keringat jatuh dari pelipis, matanya terpejam mengatur nafas yang tak beraturan.

Pipi yang merasakan dingin membuat mata jadi terbuka, dia menangkap sosok Sasya ada di hadapannya, membawa sebotol air mineral dingin.

"Capek ya? Minum dulu.." Kata Sasya saat Tama tak kunjung menerima minumannya.

Matanya sengaja dia pautkan dengan mata Sasya, memori dalam pikiran seolah berputar cepat menampilkan wajah cerah Sasya yang tertawa bersama Juan.

Dia putuskan untuk menerima minuman yang Sasya berikan, lantas menegaknya langsung. Dahaga yang dia rasa hilang sirna bersamaan dengan senyuman yang tampil diwajah Sasya.

"Kenapa?" Kata Tama

Perempuan dihadapannya itu hanya menggelengkan kepala, senyum masih menghiasi wajahnya. Kemudian pergi dari hadapannya.

Ditengah kebingungan nya atas sikap Sasya, tiba-tiba suasana balai Desa jadi ramai, dipenuhi petani-petani yang akan membawa pupuk ke ladang.

Sasya dan Juan berdiri bersebelahan membagikan pupuk pada petani, ada beberapa perangkat Desa yang datang juga. Dia jadi ikut membantu membagikan pupuk.

Satu jam berlalu semua pupuk sudah habis dibagikan, dia lihat seperti nya Juan akan pulang.

"Terimakasih ya, Nak. Sudah repot-repot bawa ke Desa. Harusnya kan Tama bisa ambil di perbatasan Desa.." Kata Pak Dawan, nada bicara nya jadi segan, dia benar-benar tidak tau kalau hari ini Sasya akan membawa pupuk sebanyak ini. Terlebih pihak kampus yang harus datang.

"Sama-sama Pak.. " Jawab Juan "ga repot sama sekali, sekalian saya juga mau jengukin Sasya.. " Lanjutnya, membuat Sasya yang berada disebelah nya tersipu malu.

Merasa kehadirannya tak cukup penting, dia putuskan untuk pergi. Kaki nya membawa dia pada hamparan ladang yang luas.

Petani-petani tengah sibuk aplikasikan pupuk, dia tersenyum ada harapan yang dia gaungkan keatas langit, semoga kali ini panen berjalan lancar.

Dia tidur kan tubuhnya di gubuk kecil. Sejak tadi dada nya terasa sesak, dia sangat tau kalau hal ini adalah bagian dari mencintai. Dia tak mengerti kenapa bisa jatuh cinta pada Sasya secepat ini. Terlebih dia hanyalah seorang pengangguran yang tak jelas masa depannya.

Dia renungkan semuanya, lambat laun angin membawa tubuhnya nyaman, rasa kantuk mulai menderap, saat matanya ingin terpejam, seseorang datang menghampiri nya.

"Saya yakin tahun ini pasti panen gagal lagi.. "

Dia bangun dari tidurnya, dia pandangi seorang perempuan yang sudah sangat dia kenali.

Siapa lagi kalau bukan Ryuka. Anak dari seseorang pemilik tanah berhektar-hektar di Desa ini. Sebagian ladang disini juga milik Bapaknya.

"Tanah kering tak bernutrisi..."

"Perairan yang jelek.. "

"Ish.. Ish... "

Tama yang mendengar hal itu hanya memandangi padi-padi yang mulai menguning. Dia harap ucapan Ryuka salah, semoga tahun ini panen berhasil.

"Ka Tama!!!"

"Kenapa harus teriak-teriak, Ryuka??"

Ryuka ini memang senang sekali membuat Tama kesal. Anak itu hanya memberikan deretan giginya yang rapih tersenyum bodoh dihadapan Tama.

GARIS RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang