A Wife For My Husband (On Going)

11 Sosok Baru

Aleksa menatap Dania dengan tatapan penuh amarah yang bercampur kebingungan. Matanya membara, seolah-olah baru saja terperangkap dalam sebuah permainan yang tidak ia mengerti. "Heran, kok bisa Samuel percayain Ben ke kamu? Mulai hari ini anakku tidak akan aku biarkan bermain dengan Ben! Nanti ketularan gila!" Aleksa menarik putrinya yang tengah mewarnai untuk menjauh dari Ben dengan kasar.

"Acha sayang, jangan dekat-dekat dengan Ben! Nanti kamu ketularan gila!" lanjutnya dengan nada kesal dan tajam.

Namun, Acha, dengan keberanian yang jarang terlihat pada seorang anak seusianya, berontak dan melepaskan genggaman ibunya. "Mama, Ben itu temanku! Dia tidak gila!" Acha menatap ibunya dengan mata yang penuh tekad, lalu kembali duduk di samping Ben, melanjutkan mewarnai dengan senyuman yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kemarahan ibunya.

Melihat hal ini, Dania hanya bisa tersenyum sinis. "Anakmu sepertinya memiliki sifat yang menurun dari ayahnya. Jika darimu, dia tidak mungkin seperti ini," balasnya dengan tajam, menantang Aleksa dengan pandangan yang tidak kalah menusuk.

Aleksa tersentak, merasa terpojok. Wajahnya memerah, dan amarahnya semakin berkobar. "Diam kamu, orang gila! Kamu pasti sudah mempengaruhi Acha, bukan? Kamu mencuci otak Acha!" teriak Aleksa, suaranya menggetarkan udara di sekitar mereka.

Ben yang melihat ibunya dimarahi langsung berdiri, mencoba membela Dania. "Tante, jangan marahi Mama!" Namun, sebelum Ben bisa berkata lebih banyak, Dania sudah meraih lengannya, menenangkannya dengan lembut.

"Ben, sayang, kembali bermain ya. Biarkan Mama berbicara dengan Tante Aleksa," ujar Dania dengan suara lembut, sambil menarik Aleksa menjauh dari anak-anak agar mereka tidak mendengar lebih banyak lagi.

Dengan tatapan yang tidak lagi menyembunyikan kekesalan, Dania bertanya dengan nada yang tegas, "Apa sebenarnya masalahmu denganku, Aleksa? Kenapa kamu selalu menggangguku? Apa aku pernah menyinggungmu?"

Aleksa tampak ragu, dan ucapannya terputus-putus saat ia mencoba menjawab, "Tidak, aku hanya..."

Dania mendengus, menebak dengan cepat. "Clarin? Oh, kamu budaknya? Bahkan setelah lulus, kamu masih mau saja diperbudak olehnya?" Ia tersenyum licik, merasa inilah saat yang tepat untuk melawan balik. Selama ini, ia terlalu sering mengandalkan Nadya untuk menghadapi mereka, tapi kali ini Dania tahu ia harus berdiri sendiri.

Wajah Aleksa semakin memerah, marah bercampur dengan rasa malu. "Kamu berani mengataiku budak? Kamu pikir kamu siapa? Siapa yang tidak takut denganmu? Saat masih di bangku sekolah, kamu sering kesurupan dan bicara sendirian! Apalagi kalau bukan gila namanya?"

Mendengar itu, Dania mendekatkan wajahnya ke telinga Aleksa dan berbisik dengan tenang, "Kembaranmu mati karena tenggelam, bukan karena sakit seperti yang diberitakan, bukan?"

Aleksa tersentak, wajahnya pucat pasi. "Dari mana kamu tahu?" tanyanya dengan suara gemetar, terkejut karena rahasia keluarganya tiba-tiba terbongkar. Hanya keluarganya yang tahu tentang tragedi itu—tentang bagaimana kematian kembarannya disebabkan oleh hal yang tidak pernah bisa ia lupakan. Mereka berdalih bahwa kembarannya meninggal karena sakit, bukan karena tenggelam.

Dania tersenyum dingin, menatap lurus ke mata Aleksa. "Kenapa kamu tidak memakai gaun warna pink, seperti yang kalian sepakati?" tanyanya lagi, semakin memperburuk kondisi mental Aleksa yang sudah terpojok.

"Apa yang kamu bicarakan?" suara Aleksa kini terdengar lemah, hampir tak terdengar.

Dania menatap Aleksa dengan tajam. "Kembaranmu bertanya, kenapa tidak menjawab? Aleksander menunggu jawabanmu."

Wajah Aleksa berubah, ketakutan jelas tergambar di matanya. "Dari mana kamu tahu?!" teriaknya, air mata mulai mengalir deras dari matanya. Bagaimana Dania bisa mengetahui hal-hal yang bahkan tidak pernah ia ceritakan kepada siapapun?