3 Pacaran?

453 92 6
                                    

"Kenapa Mama mau menjodohkanku dengan duda anak satu? Ma, kenalan Papa di dunia bisnis itu banyak. Kenapa harus duda? OMG!" Clarin menggerutu tak terima saat ibu dan ayahnya bercerita tentang perjodohannya dengan Samuel.

"Dia memang duda, tapi dia tampan dan kaya, Rin! Kamu tutup mata saja! Jika kamu berhasil menikah dengannya, perusahaan kita akan semakin di atas!" Ibunya terus membujuk, suaranya penuh antusiasme seolah-olah Clarin sedang ditawarkan sebuah hadiah besar, bukan perjodohan yang tak diinginkannya.

Clarin mendengus, masih merasa kesal. "Kenalan dulu saja saat pesta ulang tahunmu nanti!" Ayahnya, Adhi, menambahkan dengan nada tenang, seolah mencoba menenangkan amarah Clarin.

"Kalau tidak cocok, tidak masalah jika tidak lanjut, bukan?" Adhi menatap putrinya dengan pandangan penuh harap. Dia tahu Clarin tidak akan mudah dibujuk, tapi dia juga tahu bagaimana menarik simpati anak kesayangannya itu.

"Iya, oke!" Clarin akhirnya menyerah, meskipun dalam hatinya masih ada perasaan tidak nyaman. Dia memang selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya, dan keputusan ini pun tak luput dari perhatian mereka. Ayah dan ibunya tersenyum puas melihat respon Clarin. Bagaimanapun, perlakuan mereka terhadap Clarin dan Dania memang selalu berbeda.

Clarin adalah anak kandungnya. Adhi dan Sonya memiliki hubungan percintaan sebelum dia dipaksa menikah dengan ibu Dania. Adhi terpaksa menerima perjodohan karena tergiur kekayaannya. Uang dan kekuasaan menjadi alasan mengapa Adhi bersedia "bertanggung jawab" atas kehamilan tersebut. Dania adalah beban, bukan kebanggaan.

Bahkan Clarin dan Dania lahir di hari yang sama. Dia terpaksa meninggalkan Sonya dan Clarin saat itu, demi misinya menguasai harta keluarga ibu Dania. Berpura-pura sayang dan menyayangi mereka demi mencapai apa yang ia inginkan

Bagi Adhi, Dania bukan hanya beban; dia adalah saksi dari rahasia kelam yang mereka sembunyikan selama ini. Apa yang Dania ucapkan memang benar, mereka yang merencanakan kematian ibu Dania saat itu. Berharap Dania juga ikut mati dalam kecelakaan, namun takdir berkata lain. Dania selamat, meski mereka telah berulang kali mencoba menyingkirkannya, Dania selalu berhasil bertahan.

"Dania aneh itu tidak hadir, kan? Aku tidak mau pestaku rusak!" Clarin menatap ibunya dengan tatapan penuh tuntutan. Pesta ulang tahunnya adalah momen penting, dan dia tidak ingin ada gangguan, terutama dari seseorang seperti Dania.

"Tidak, kamu jangan khawatir!" Ibunya menyahut cepat, berusaha meyakinkan Clarin. "Siapa juga yang mau mengundang orang yang bukan bagian dari keluarga kita?" Sonya menambahkan dengan senyum sinis. Bagi mereka, Dania tidak pernah menjadi bagian dari keluarga, dan mereka akan memastikan bahwa dia tidak pernah menjadi bagian dari hidup Clarin yang sempurna.

*****

Dania Pov

Setelah ciuman kita semalam, aku merasa sedikit canggung ketika berhadapan dengan Samuel. Aku masih tidak percaya bagaimana aku bisa begitu gampangan dan membalas ciumannya begitu saja. Apa kamu itu pelacur

Hari ini, kami menghabiskan waktu akhir pekan bersama Ben di playground. Anak itu berlari-lari dengan ceria bersama teman-teman sebayanya, tertawa tanpa beban. Melihatnya bermain begitu lepas membuatku merasa lega—setidaknya aku punya sesuatu yang bisa aku alihkan dari perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Untung saja Samuel memiliki Ben, yang tanpa sadar menjadi pelarian saat jantungku berdegub terlalu kencang setiap kali aku mendapati tatapan Samuel yang selalu tampak lebih dalam dan penuh arti.

Aku berusaha tetap tenang dan tersenyum, meski dalam hati masih ada banyak pertanyaan yang berputar. Apa yang sebenarnya aku rasakan terhadap Samuel? Kenapa setiap kali dia berada di dekatku, perasaanku jadi campur aduk seperti ini? Apakah ini hanya bagian dari rencana balas dendamku, karena Nadya, atau... sesuatu yang lain? Sesuatu yang tidak pernah aku duga akan muncul di tengah semua ini?

Saat Samuel duduk di sebelahku, aku bisa merasakan kehadirannya dengan begitu nyata, seakan ruang di antara kami menghilang. Tanpa sadar, aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan kegelisahan yang perlahan menguasai diriku.

"Hmmm, kamu mau ice cream?" Samuel bertanya dengan senyuman tipis, matanya melirik ke arah kedai ice cream yang terkenal di dekat playground.

"Aku?" jawabku gugup, sembari merutuki diri dalam hati. Dia menawarimu, Dania, kenapa kamu bodoh sekali?

"Iya, kamu. Kamu suka rasa apa?" Suaranya lembut, seperti tidak ada yang aneh dalam pertanyaannya, tapi entah kenapa jantungku berdegup lebih kencang.

"Coklat," jawabku akhirnya, sambil berusaha menutupi wajahku yang pasti sudah memerah karena malu.

"Pas sekali, Ben juga suka rasa coklat. Akan aku belikan." Samuel tersenyum sebelum bangkit berdiri dan berjalan menuju kedai itu. Aku hanya bisa duduk di sana, memandangi punggungnya yang menjauh, sambil mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa sesak.

Oh Tuhan, kenapa bicara dengannya rasanya canggung sekali? Dan sekarang, hubungan kita ini sebenarnya apa? Semalam kita... ciuman, dan sekarang seharian aku berjalan bersamanya dan Ben seperti sebuah keluarga. Setiap detik yang berlalu hanya membuat perasaanku semakin kacau.

Aku menggigit bibirku, berusaha menghentikan pikiran-pikiran yang semakin kacau. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak bisa mengabaikan apa yang kurasakan sekarang.

"Kamu memang suka menggigit bibir ya?" Suara Samuel tiba-tiba berbisik lembut di telingaku, membuat tubuhku bergetar tanpa sebab. Sentuhan es krim yang manis dan dingin tiba-tiba menempel di bibirku, membuatku semakin terpaku. "Makanlah bagianmu," lanjutnya dengan nada yang menggoda, senyumannya tak terelakkan.

Jantungku berdegup kencang, entah karena kejutannya atau karena aku sadar betapa dekatnya dia denganku saat ini. Aku menatap es krim yang dia pegang di depanku, dan tanpa sadar, lidahku menjilat bagian yang dia tawarkan. Manisnya es krim itu terasa seolah mengusir semua kebingungan yang berkecamuk dalam pikiranku, tapi hanya untuk sesaat.

Aku menatap Samuel dengan perasaan campur aduk, mata kami terhubung dalam keheningan yang intens. Seolah-olah dunia di sekitar kami lenyap, menyisakan hanya kami berdua dan perasaan yang tak terucapkan, namun semakin nyata.

Namun, momen itu hancur begitu saja ketika Ben tiba-tiba mendekat, matanya berkaca-kaca dan suaranya terdengar getir. "Kenapa Papa dan Tante seperti orang pacaran? Kalian bohong ya?" tanyanya dengan nada yang penuh tuduhan, membuat hatiku mencelos. "Tante mau menggantikan Mamaku?"

Aku terperangah, tidak menyangka Ben akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menarik Ben ke dalam pelukanku, memangkunya dengan lembut. Dengan satu tangan, aku meraih es krim yang Samuel bawa dan mencoba tersenyum, meskipun hatiku bergetar.

"Kami hanya makan es krim, sayang," ujarku dengan lembut, mencoba membuat Ben percaya. "Tante tidak akan menggantikan Mamamu. Tante di sini hanya untuk menemanimu dan Papa, tidak lebih."

Ben memandangku dengan mata yang masih penuh keraguan, tapi pelukan itu sepertinya menenangkannya sedikit. Aku bisa merasakan Samuel mengamati kami, dan ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku semakin bingung. Hubungan ini, situasi ini—semuanya begitu rumit, dan aku tidak tahu bagaimana harus melanjutkannya. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin melihat Ben terluka karena kebingungan ini. Karena semua rencana yang ia susun bersama  Nadya. Karena tujuan utama Nadya adalah melindungi anak dan keluarga kecilnya ini kan?

Begitupun tujuannya. Satu-satunya yang ingin Dania sakiti adalah ayah, ibu tiri dan saudara tirinya! Hanya mereka yang harus merasakan sakit!

******

Yang mau baca cepat kunjungi karya karsa yaaaaa :*

Wattpad tetep lanjut sampai tamat

A Wife For My Husband (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang