ENAM BELAS

308 29 10
                                    

Ridho terdiam di cafe yang terletak di rooftop hotel tempatnya bermalam. Solo, akan Ridho catat sebagai kota perjuangannya mendapatkan cinta. Menurut kabar beredar di sosial media, acara lamaran tetap berlangsung, tapi belum ada foto-foto lamaran yang tersebar.

Masih ingat ucapan Ramadya siang tadi, kakak ketiga Vreya itu menemuinya sesaat setelah Ridho diseret paksa keluar dari venue lamaran. Ramadya melemparkan sebotol minuman dingin dan mengajaknya merokok.

"Keraton memang kejam dan tidak adil. Jangankan bagi Vreya yang hanya anak bawang, keputusan keraton saja lebih menguntungkan putra mahkota dari pada Gusti kanjeng ratu.

Itulah sebabnya Vreya membelot dari Keraton dan pergi ke Jakarta." Ucap Ramadya menghisap rokoknya.

Membuka minuman kalengnya, Ramadya meneguknya, "Tidak ada cinta di dalam Keraton, jadi pergilah mencari cinta lain. Karena Vreya akan tetap menikah dengan laki-laki pilihan Keraton."

Vreya-nya tetap akan menikah dengan lelaki pilihan keraton.

--

Waktu berputar begitu cepat, berita seputar pernikahan Vreya silih berganti memenuhi televisi hingga sosial media. Bagaimana persiapan salah satu kerjaan di Jawa menyambut menantu baru keraton. Pernikahan akan digelar tujuh hari tujuh malam lengkap dengan arak-arakan keliling kota dengan kereta kencana.

Semakin mendengar beritanya, Ridho semakin hampir gila rasanya. Lelaki itu patah sepatahnya hingga kesehatannya menurun. Beruntung liga sedang libur, sehingga Ridho bisa beristirahat di kediaman kedua orang tuanya.

"Dho. Ngapain?" Tanya Zela -kakak perempuan Ridho.

Menutup tubuhnya dengan selimut Ridho hanya bergumam tak jelas.

"Udah, kita tuh jadi orang harus tahu diri Ridho. Inget kowe iku sopo, Vreya iku sopo." Lanjut Zela, naik ke tempat tidur Ridho, bersandar pada head board dan menyalakan televisi.

Siaran berita mengatakan akad pernikahan Vreya dilangsungkan siang nanti. Zela melirik adiknya yang enggan membuka selimut.

"Hanya karena kamu populer jadi pemain timnas bukan berarti kamu bisa dapetin Vreya semudah itu." Zela masih mengoceh meskipun tak ada sautan dari adik lelakinya.

"Dua jam lagi siaran akadnya tuh. Persiapkan hati. Diingat, jatuh cinta sama istri orang itu dosa."Zela akhirnya meninggalkan kamar Ridho karena tak ada response apapun dari adiknya.

--

Gambar Vreya muncul di televisi, tak ada aura bahagia terpancar disana. Gadis itu cantik dengan riasan paes ageng dan kain melilit tubuhnya. Membuat Ridho sempat terkesima diantara rasa sakit didalam dadanya.

Gambar berganti menunjukkan Radita dan Alifian duduk berhadapan siap melakukan prosesi akad nikah, menikahkan Vreya dan Alifian.

Semuanya membuat Ridho semakin pusing dan merasa dingin.

Hingga ketika prosesi akad selesai dilangsungkan, bulir air mata Ridho menetes. Satu demi satu. Memalukan memang. Ridho menangisi kehilangannya atas Vreya. Tidak ada lagi Vreya yang bisa dia rindukan. Tidak ada lagi Vreya yang dia harapkan untuk bisa dia miliki.

Vreya-nya sudah menjadi milik orang lain.
Dan Ridho hanya bisa menangisinya dalam diam.

--

Italia, dua bulan kemudian.

"Gue udah di bandara, lu dimana?" Ucap Ridho berbicara disambungan teleponnya. Pandangannya beredar mencari dua orang yang berjanji menemuinya, Marselino dan Hokky.

"Gue ama Marceng udah duluan Dho tadi ketemu Justin. Lu sama Nathan sama bininya ye. Mereka udah di lounge, coba lu telepon mereka. Sorry ye." Sahut Hokky dari seberang telepon.

Berdecak kesal, Ridho mengiyakan dan mematikan sambungan teleponnya. Mengirim pesan pada Nathan, menanyakan posisi lelaki itu.

Sepuluh menit mendorong kopernya, Ridho menemukan Nathan tengah duduk berdua bersama Sarah, menikmati pesanan mereka disalah satu lounge di Bandara.

"Eh, Ridho. Assalamu'alaikum." Sapa Sarah ketika Ridho meletakan tasnya dan duduk dihadapannya dan Nathan.

"Waalaikumsalam Sarah. Dari tadi kalian?"

Menelan kuenya, Nathan menggeleng, "Baru lima belas menit. Kau sudah sehat? Patah hati sampai rawat inap." Goda Nathan.

"Ya apa bedanya sama elu, sunat aja rawat inap segala. Lemah." Balas Ridho tak mau kalah.

Sarah tertawa terbahak, lalu menutup mulutnya dengan tangan, "Udah, udah. Lu ngga ganti baju hitam dulu Dho?"

Menggeleng ringan, Ridho menyeruput americano dingin milik Nathan. "Ini aja lah ntr didouble pake blazer hitam. Gapapa kan ya, yang penting udah cuci muka, sikat gigi, sisiran." Jawab Ridho.

Tak lama keduanya bersiap, menaiki mobil yang telah dipersiapkan untuk membawa mereka ke Tuscani.

--

Tuscany, Italia.

Semua hampir selalu berdecak kagum melihat betapa mansion mewah milik Jay dan Mai ini sangat besar. Halaman luasnya dipenuhi banyak mobil yang terparkir dan karangan bunga duka cita untuk Jay dan Mai.

Benar, keduanya baru saja kehilangan anak mereka, Eugene yang baru berusia tiga hari.

Ridho turun dari mobil, meregangkan badannya setelah berada dalam perjalanan darat selama tiga setengah jam. Merapikan blazernya dan menyisir rambutnya singkat, Ridho, Nathan dan Sarah berjalan memasuki mansion. Semakin kedalam beberapa wajah yang mereka kenal terlihat sudah ada. Beberapa wajah familiar yang terlihat di pertandingan Serie A juga terlihat meskipun Ridho tidak mengenalinya.

Masih terus berjalan mencari Mai dan Jay di taman belakanga mansion yang dipilih menjadi pemakaman bagi Eugene, langkah Ridho terhenti. Lelaki itu menahan nafasnya dan denyutan dihatinya yang terasa nyeri. Rindunya seketika menyeruak tak mampu dia tahan.

Dihadapannya, Vreya dengan kebaya hitam dan sanggul-nya, tengah berlutut, memeluk Mai yang menangis tersedu.

Vreya, cintanya, yang kini telah dimiliki lelaki lain, berada dihadapan matanya.

Rizky Ridho - Pick The Princess UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang