Dengan tangan menumpu kepala, Jennie tampak memperhatikan jalanan sambil merenungkan ucapan Rosé. Mulai menyukai Levine, katanya? Bagaimana mungkin? Jennie yakin sekali bahwa ia tak memiliki perasaan seperti itu.
Kalaupun kehadiran Sienna membuatnya terusik, bukankah hal tersebut merupakan hal yang wajar? Mengingat bagaimana Levine memarahi Sienna beberapa waktu yang lalu, Sienna pasti bukan orang baik. Jennie patut merasa khawatir.
"Dia belok ke arah Madison Avenue, Jane." ucap Rosé sembari terus menjaga jarak aman.
Madison Avenue adalah salah satu jalan paling bergengsi di daerah Manhattan, terkenal dengan butik-butik mewah dan kantor-kantor perusahaan besar. Di tengah kesibukan dan kemewahan yang terpancar dari gedung-gedung tinggi dan deretan toko desainer, mobil Levine melaju dengan tenang, menyusuri jalan yang selalu sibuk oleh aktivitas para pebisnis dan penggemar belanja.
Kemudian, setelah beberapa menit berlalu, Levine berhenti di depan sebuah restoran mewah di Park Avenue. Jennie mengenali tempat itu sebagai Astor Court, sebuah restoran terkemuka yang sering dikunjungi oleh para elite kota.
"Ada perlu apa dia ke sini?" lirih Rosé sembari menepikan mobilnya di tempat yang tersembunyi, namun masih bisa memantau pergerakan Levine.
Jennie yang tak sabaran, langsung ancang-ancang membuka pintu mobil. "Aku juga tidak tahu. Ayo susul saja."
Tapi dengan cepat, Rosé menahannya. "Hey, tunggu! Your black glasses, Queen!" ucapnya sambil mengulurkan sebuah kacamata hitam yang terlihat keren dan branded. "Pakai ini juga," lanjutnya dengan memberikan sebuah topi hitam bertuliskan, BOSS BITCH MODE.
"Masa kau mau keluar tanpa melakukan penyamaran? Nanti jika kau ketahuan bagaimana?!" Rosé mengomelinya dengan nada serius, seolah mereka sedang dalam misi rahasia sungguhan.
Jennie pun menjawab sambil mengenakan atribut-atribut yang sebelumnya Rosé berikan. "Ya, maaf... namanya juga detektif amatiran."
Setelah dirasa tampilan mereka tak bisa dikenali, mereka pun turun dari mobil. Similir angin siang membuat rambut mereka berterbangan, menciptakan aura dramatis yang justru lebih mirip seperti selebriti yang sedang menghindari paparazzi. Langkah mereka mantap, penuh keyakinan, seolah dunia adalah panggung dan mereka bintangnya.
Namun, ketika mereka hendak menuju restoran, sebuah kejadian konyol terjadi. Ponsel Jennie yang terletak di dalam tas tiba-tiba berdering. Jennie yang sibuk merogohnya, jadi tak fokus dengan jalan di depan, sehingga ia berakhir menabrak seorang pria gemuk di pintu utama restoran.
"Are! kya tum dekh nahin sakate? kya tumhaaree aankhen vahaan hain ya ve sirph sajaavat hain?! (Apa kau tak bisa melihat? Itu matamu ada di sana atau cuman hiasan?!)"
Jennie yang tak mengerti dengan maksudnya, hanya bisa menganga lebar. Kemudian, ia menoleh pada Rosé sambil bertanya, "Ros, bicara apa beruang Masha ini?"
"Katanya, kita cantik."
"Apa?"
"Iya, biarkan aku mengucapkan terima kasih padanya."
Rosé pun tampak menjabat tangan pria berkebangsaan India itu sambil tersenyum lebar. Sepertinya, ini waktu yang tepat untuk mengucapkan dialog yang sering ia dengar di drama-drama. "Khamsahamnida, shibal sekkiya."
Kemudian dengan cepat, Rosé menarik tangan Jennie untuk pergi meninggalkan pria tersebut. "Ayo!"
Jennie yang bingung dengan apa yang baru saja terjadi, langsung bertanya. "Kenapa kau malah berbicara padanya dalam bahasa Korea?"
"Karena jika aku berbicara dalam bahasa India, yang kutahu hanya acha acha dan nehi nehi, Jane."
Setelah berhasil menghindari situasi aneh itu, mereka melangkah masuk ke dalam restoran. Suasana di dalam cukup tenang, dengan meja-meja yang tertata rapi dan lampu yang bersinar terang. Sementara Levine tampak berbincang serius dengan seorang pria di salah satu meja yang agak tersembunyi di sudut ruangan, membuat keduanya sulit untuk diperhatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐑. 𝐂𝐀𝐒𝐒𝐀𝐍𝐎𝐕𝐀
Romance"Silahkan pulang larut malam dan bertingkahlah seperti gadis nakal. Tapi jika kau tidur dengan lelaki lain, kau tahu, aku tidak akan tinggal diam saja 'kan, Sayang?"