Dibanding merasa takut atau terkejut, Levine justru lebih merasa kesal. Sebab, pria yang sekarang duduk di depannya ini adalah pria sialan. Tak peduli sudah sejauh apa hidup berjalan dan sudah seberapa banyak tahun berganti, di mata Levine, pria itu tetaplah pria yang sama. Dia begitu bajingan, brengsek, manipulatif dan tak bisa dipercaya. Bahkan setelah dirasa-rasa, semua hal buruk ada pada dirinya.
Jika Levine adalah sosok yang pemikir, terencana, memiliki sisi lembut di antara sisi gelapnya, serta pandai bernegosiasi, maka Devíns tidak seperti itu. Devíns adalah manusia yang bergerak tanpa kendali, seperti anjing gila yang tak tahu kapan harus berhenti. Setiap tindakannya dipenuhi oleh amarah dan keserakahan, selalu acuh terhadap kekacauan yang ia ciptakan. Dia hanya terus memandang dunia sebagai tempat yang harus ia kuasai, tanpa perlu ruang untuk kompromi atau rasa iba.
"Aku pikir apa yang disampaikan Ayah waktu itu sudah jelas," ujar Levine kala menjentikkan ujung rokoknya ke asbak. Bara apinya pun jatuh dalam sekejap. "Resta nel tuo angolo, o finirai schiacciato nel mio (Tetap di sudutmu, atau kau akan hancur di sudutku)."
Seketika Devíns tertawa sarkas. Dengan tangan yang terlipat di dada, kaki yang disilangkan, serta sorot mata yang memandang remeh, Devíns pun berkata, "Semenjak dia mengusirku dari kediamannya, semua yang dia katakan tak lebih berharga dari sampah menurutku. Kau pikir dengan berkata seperti itu, nyaliku akan menciut? Hahaha, aku bukan lawan yang bisa kau kalahkan dengan mudah. Jadi jangan berlagak paling kuat dan berkuasa di sini, Tuan... Cassanova? Hahaha."
Rahang Levine tampak mengeras. Ia paling tak suka jika nama belakangnya itu disebut tanpa rasa hormat. Tapi bukan Levine namanya jika dapat terpancing dengan mudah. Dengan nada yang tenang, ia menuturkan, "Kita ini seperti dua roda dalam mesin yang sama, Devíns. Selama tidak saling bersinggungan, semuanya akan berjalan mulus. Aku tidak peduli dengan hal yang akan kau lakukan. Tapi jangan pernah sekali-kali merecoki bisnis yang ingin aku bangun. Aku dan Tuan Zhang sudah lebih dulu membuat kesepakatan. Kau tak bisa datang begitu saja lalu menawarkan penawaran yang tak masuk akal. Ada etika dalam dunia bisnis yang perlu kau patuhi."
"Who cares about ethics, huh? Sellers are more interested in making money. And I can bring that to the table."
Menepuk tangannya dua kali, para penjaga yang sedari tadi berdiri di belakang Devíns akhirnya datang ke meja mereka. Masing-masing dari penjaga itu menenteng dua koper besar, yang jika dihitung berjumlah dua belas koper. Dan begitu isinya di buka, tumpukan uang dollar terlipat rapi di dalamnya.
Mata Tuan Zhang langsung berbinar. Dia bukannya berasal dari kalangan miskin, dia juga kaya raya. Namun memang, isi kepalanya hanyalah uang, uang, dan uang saja. Melihat uang sebanyak itu di depannya, mana mungkin ia bisa tahan? Maka, kala tangannya terangkat ingin menyentuh uang tersebut, dengan gerakan cepat Devíns menepis tangannya.
"Not yours."
"Tapi Tuan—"
"Tentukan dulu kau ingin memberikan lahanmu pada siapa."
Mulut Tuan Zhang sudah terbuka, ingin memilih Devíns, tapi tiba-tiba Levine menghempaskan secarik berkas ke atas meja. Kertas itu terbang dan isinya bertebaran kemana-mana, memecah ketegangan yang menggelayuti ruangan.
Tuan Zhang menatap bingung, namun rasa ingin tahunya mengalahkan keinginannya untuk menyentuh uang. Dia menunduk, melihat foto-foto yang berserakan di atas meja. Setiap gambar menampakkan dirinya dengan seorang wanita, berpelukan mesra di sebuah resort, berciuman di dalam mobil, bahkan tidur dalam satu ranjang dengan selimut yang tergulung.
Belum sempat Tuan Zhang meredakan keterkejutannya itu, lagi-lagi Levine menghempaskan sesuatu. Kali ini sebuah flashdisk yang dimasukkan ke dalam sebuah plastik klip.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐑. 𝐂𝐀𝐒𝐒𝐀𝐍𝐎𝐕𝐀
Romance"Silahkan pulang larut malam dan bertingkahlah seperti gadis nakal. Tapi jika kau tidur dengan lelaki lain, kau tahu, aku tidak akan tinggal diam saja 'kan, Sayang?"