04: Her Guardian Angel

2.1K 354 427
                                    

"Perfect."

Itulah kata pertama yang keluar dari mulut Levine saat melihat sepatu high heels yang ia bawakan begitu sempurna melekat di kaki Jennie. Kilaunya memantulkan sinar ruangan, menciptakan kesan yang begitu elegan dan mahal.

"Kenapa bisa pas begini? Kau tahu dari mana ukuran kakiku?" tanya Jennie ketus.

"Feeling," jawab Levine singkat, dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. Ia lalu berdiri sembari memperlihatkan telapak tangannya. "Ukuran kakimu tak lebih besar dari satu jengkal tanganku."

"Cih! Tanganmu memang bukan tangan manusia. Entah apa yang kau makan waktu kecil, hingga kau bisa tumbuh sebesar ini!"

Seketika Levine memasang wajah sinis. Ia pun berdiri di belakang Jennie dan membalikkan tubuh wanita itu untuk berkaca di sebuah cermin. Perbedaan tinggi mereka cukup kontras, hingga saat berpelukan, mungkin bisa sekaligus cium kening.

Sambil memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat ekspresi Jennie, Levine berkata. "Kau menyebutku besar, tapi tidakkah kau berpikir kau yang kecil?" tanya nya pelan.

Jennie pun melepaskan tangan Levine yang tadi sempat berada di pundaknya. Ia terlihat kesal. "Walaupun aku kecil, setidaknya aku tidak rata. Aku masih punya hal lain yang bisa ku sebut besar."

Levine langsung menghela nafas panjang, seolah mengerti apa yang Jennie maksud. "Aku tunggu di parkiran basement." ucapnya sembari berbalik pergi, keluar dari kamar.

"Maksudku itu nyaliku. Nyaliku yang besar. Kenapa dia malah kabur?" tanya Jennie sembari menatap kepergian Levine dengan heran. "Apa aku terlalu ambigu?"

".... Ah, sudahlah." gumamnya, memutuskan untuk tidak terlalu mempedulikan apa yang ada di pikiran suaminya itu. "Kau sudah terlalu banyak menyita waktuku. Aku harus segera bersiap-siap."

Maka setelah itu, Jennie melepaskan handuk yang melilit kepalanya, membiarkan rambutnya yang sudah agak kering terurai. Ia pun dengan cepat membuka bathrobe yang ia kenakan, membiarkannya jatuh ke lantai. Kemudian, tanpa sehelai kain pun di tubuhnya, Jennie melangkah pelan menuju tempat tidur, di mana dress merah pemberian Levine tergeletak tidak rapi.

Tapi baru juga ingin meraih dress tersebut, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lagi.

"Jane, kunci mobilku—"

"AAAAAAAAAAAAA!!!! KELUAR KAU BAJINGAN!"

Bugh!

Kotak dress yang Jennie lempar, menghantam pintu dengan keras.

Levine, yang terkejut oleh teriakan dan serangan mendadak itu, refleks mundur beberapa langkah sebelum buru-buru keluar dari kamar. Sekilas, wajahnya menunjukkan kekagetan, namun senyum jahil segera muncul saat menyadari situasi yang baru saja terjadi.

"Ternyata memang besar," gumam Levine dengan sedikit tawa saat ia menuruni anak tangga.


°°°


"Kurang ajar!" Jennie mengomel ketika memasuki lift menuju parkiran basement. Ia masih tak terima dengan kejadian saat Levine melihatnya tadi. "Apa susahnya mengetuk pintu terlebih dahulu? Hanya karena ini rumahnya, bukan berarti dia bisa sembarangan masuk ke kamar seorang gadis 'kan?"

"Sialan!"

Sambil menunggu lift turun, Jennie bersandar di dinding logam yang dingin, mencoba menenangkan amarahnya yang masih membara. Pikirannya berputar-putar, membayangkan berbagai cara untuk membalas perlakuan Levine.

"Dasar menyebalkan," gumam Jennie sambil merapikan dress merah yang kini membungkus tubuhnya dengan sempurna. "Awas saja kau!"

Pintu lift terbuka, dan Jennie melangkah keluar menuju parkiran basement. Di sana, deretan puluhan kendaraan mewah menyambut pandangannya, semuanya berwarna hitam pekat. Kegelapan dari warna mobil-mobil itu menciptakan aura intimidatif yang sesuai dengan Levine sebagai seorang mafia. Namun, ada satu hal yang mencolok, merusak kesan suram yang diciptakan oleh kendaraan-kendaraan itu—sebuah Porsche pink yang terparkir di sudut, seperti kilatan neon dalam lautan kegelapan.

𝐌𝐑. 𝐂𝐀𝐒𝐒𝐀𝐍𝐎𝐕𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang