Kala matahari sudah meninggi, Jennie masih belum terbangun. Tidurnya pulas dalam balutan selimut putih dan dekapan hangat Levine. Wajahnya tampak begitu damai, seolah tak peduli akan apapun yang terjadi disekitarnya. Sementara Levine sudah terjaga lebih dulu, tapi tak ada keinginan untuk beranjak. Pemandangan Jennie yang terlelap di sisinya adalah keindahan yang tak ingin Levine lewati.
Helai rambut Jennie berantakan di atas bantal, sebagian menutupi wajahnya yang sedikit memerah. Napasnya teratur, bibirnya terbuka tipis, menyiratkan sisa-sisa keintiman dari malam panas yang mereka lalui. Levine menatapnya dalam diam, merasakan kedekatan yang lebih dalam daripada sekadar sentuhan fisik. Jemarinya dengan lembut menyusuri punggung Jennie, bukan untuk membangunkan, tapi untuk mengingatkan dirinya bahwa wanita ini nyata—dan ada di sini bersamanya.
"Mau sampai kapan memperhatikanku?" tanya Jennie dengan mata yang masih terpejam. Sesekali ia juga bergerak kecil, mencari posisi nyaman di pelukan Levine.
"Entahlah," Levine menjawab sembari mengeratkan pelukan mereka. "Memperhatikanmu dalam diam, memang sudah lama menjadi kebiasaanku."
Menarik dirinya sedikit, perlahan Jennie mulai membuka matanya, membiasakan diri dengan cahaya yang masuk ke kamar. Butuh beberapa detik baginya untuk sepenuhnya sadar, dan ketika ia mendongak, tatapannya bertemu dengan mata Levine yang sejak tadi memandanginya sambil tersenyum hangat.
Pria itu tak mengatakan apa-apa lagi, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Menarik dagu Jennie dengan lembut, Levine mulai menunduk, ia menatap bibir Jennie dengan lekat sebelum mendaratkan sebuah kecupan singkat di sana. "This is how I say good morning."
Jennie tersenyum kecil. "Good morning too." balasnya dengan suara yang pelan.
Levine yang gemas tampak mengelus pipi Jennie dengan jari telunjuknya. "Not hungry, uhm? Mau aku bawakan sarapan?"
"Tidak usah, nanti aku saja yang turun."
"Bisa berjalan?"
"Itu...."
Levine tertawa kecil, "Biar aku saja yang mengambilnya untukmu. Tunggulah di sini," ucapnya sesaat sebelum menyibakkan selimut mereka, dengan niatan untuk pergi. Namun belum sempat Levine turun dari ranjang, tiba-tiba Jennie menahan tangannya.
Levine yang merasakan sentuhannya itu sontak menoleh, memperhatikan Jennie yang sudah duduk dengan tubuh polos berbalutkan selimut. "Kenapa, Sayang?"
"Aku ingin mandi dulu. Bisa antarkan?"
"Tentu. Kemarilah,"
Levine pun memindahkan tangan kiri Jennie ke atas pundaknya, mengaitkan lengan wanita itu agar lebih nyaman. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai mengangkatnya, merasakan betapa lembutnya kulit Jennie saat mereka bersentuhan. Selimut yang melingkar di tubuh Jennie pun tampak menjuntai ke bawah, menyapu setiap deretan keramik yang mereka lewati.
"Jadi setelah ini, siapa yang akan pindah ke kamar siapa?"
Jennie pun menjawab, "Kau. Kau yang harus pindah ke kamarku."
Menghentikan langkahnya sejenak, Levine pun mulai memperhatikan setiap hal yang ada di kamar istrinya itu. Meja riasnya dipenuhi oleh berbagai produk kecantikan, mulai dari lipstik berwarna-warni, hingga beberapa parfum berharga jutaan. Di sudut kamar, lemari kaca empat pintu menyimpan barisan pakaian, tas, serta sepatu yang seolah tak bisa ditambahkan lagi.
Di samping meja belajar, rak buku menjulang tinggi, dipenuhi oleh deretan novel yang beragam. Mulai dari kisah cinta yang menggugah hati hingga fiksi ilmiah yang memikat imajinasi. Sementara meja belajarnya sendiri sudah dipenuhi oleh tumpukan buku medis. Sedangkan di atas mejanya, mading kecil menghiasi dinding, dipenuhi tempelan catatan berwarna pink dan kuning yang menampilkan berbagai hal penting yang harus diingat Jennie—tugas kuliah, deadline, dan kutipan inspirasional.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐑. 𝐂𝐀𝐒𝐒𝐀𝐍𝐎𝐕𝐀
Romance"Silahkan pulang larut malam dan bertingkahlah seperti gadis nakal. Tapi jika kau tidur dengan lelaki lain, kau tahu, aku tidak akan tinggal diam saja 'kan, Sayang?"