Jennie berjalan di sepanjang koridor kampus dengan langkah ringan. Setiap kali ada orang yang lewat, ia tak lupa melontarkan senyum atau sekadar memberi anggukan ramah. Sesekali, ia berhenti untuk membetulkan papan pengumuman yang miring, atau memungut kertas yang berserakan di lantai. Bahkan, ketika melihat adik tingkatnya kebingungan mencari ruang kelas, Jennie tanpa ragu memberikan arahan dengan penuh antusias.
Di kantin, ia menyapa kasir dengan ceria, memuji segelas almond matcha latte pesanannya yang disajikan dengan estetika yang sempurna. Semua terasa lebih hangat dan menyenangkan. Bahkan, teman-temannya sempat menggodanya karena wajahnya yang tampak sumringah sejak pagi, seperti tak ada satu hal pun yang bisa mengganggu mood-nya.
Namun, di tengah senyumnya yang terus mengembang, Jennie tiba-tiba terhenti di tangga menuju perpustakaan. Dia mulai bertanya-tanya dalam hati-apa yang sebenarnya membuatnya begitu bahagia dan ceria hari ini? Apakah ini hanya efek dari suasana hatinya yang sedang baik, atau ada hal lain yang tanpa sadar telah menyentuh hatinya?
"Itu gigimu apa tidak kering tersenyum terus?" tanya Rosé yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Jennie.
Gadis berambut pirang itu menatap Jennie dengan satu alis terangkat, sorot matanya tajam di balik kacamata yang membuatnya terlihat semakin keren akhir-akhir ini. Rosé mengenakan jaket kulit hitam yang tampak pas di tubuhnya, dipadu dengan celana hitam longgar dan kaos putih polos yang sederhana namun tetap berkelas. Di tambah dengan topi hitam yang melindungi rambutnya, ia terlihat semakin berkarisma persis seperti anak kedokteran yang ambisius.
"Dikasih pertanyaan bukannya dijawab malah mematung. Hellourrrr nyonya Cassanova?! Ini yang tertinggal di sini hanya ragamu saja, ya? Jiwamu yang suci melayang ke mana?!"
Menggelengkan kepalanya beberapa kali, Jennie pun mencoba membangkitkan kesadarannya lagi. "Sepertinya ada yang salah denganku, Rosé. Aku jadi ramah sekali hari ini. Semua orang ingin kuberi senyum. Bunga tertiup angin saja bisa membuatku terharu." tutur Jennie dengan nada serius.
Berhubung Rosé tahu bahwa Jennie juga akan pergi ke perpustakaan sama seperti dirinya, Rosé pun menanggapi sambil menggandeng lengan sahabatnya itu. Lalu kemudian, keduanya berjalan menaiki anak tangga.
"Memangnya tadi kau habis bertemu dengan siapa?"
"Tidak ada."
"Bohong! Mengaku saja, Jane. Jantan mana lagi yang membuatmu salah tingkah?"
Jennie hanya diam, fokus membuka pintu kaca, lalu berjalan menyusuri beberapa rak buku dengan Rosé yang mengikutinya dari belakang.
"San melamarmu?" tanya gadis itu lagi.
"Tidak."
"Oh, jadi kau yang melamar San?"
Jennie mengangkat jari telunjuknya, lalu menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. "No, no, no, no. I'm not that foolish. Cari mati itu namanya. Kau lupa, aku punya suami yang galak? Aku ketahuan berciuman saja dia marahnya sudah seperti kucing yang ekornya diinjak, apa lagi jika aku melamar pria lain?! Dia bisa menghabisiku. Eh, bukan aku. Dia mana tega. Maksudku, menghabisi San."
Kemudian, Jennie tampak mengambil salah satu buku tebal yang memang ia perlukan untuk kelasnya hari ini. Jari-jarinya pun dengan cekatan membuka daftar isinya, sementara Rosé menatapnya penasaran, tak sabar mendengar kelanjutan dari kata-kata Jennie tadi.
"Coba tebak siapa yang mengantarku ke kampus."
"Uhm... Levine?"
"Seratus untukmu!" serunya sambil menutup buku di tangannya.
Rosé tertawa kecil melihat antusias temannya itu, tetapi Jennie tampak masih menyimpan sedikit kejutan. Dengan gerakan pelan, ia membuka tasnya sedikit demi sedikit, memperlihatkan isinya pada Rosé. Di dalamnya sudah tersimpan hadiah manis dari Levine berupa satu pack menstrual care plester, dua bungkus cokelat, dan sebotol air mineral.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐑. 𝐂𝐀𝐒𝐒𝐀𝐍𝐎𝐕𝐀
Romance"Silahkan pulang larut malam dan bertingkahlah seperti gadis nakal. Tapi jika kau tidur dengan lelaki lain, kau tahu, aku tidak akan tinggal diam saja 'kan, Sayang?"