Kami tidak pernah meminta akan dilahirkan dari keturunan yang seperti ini. Takdir yang tidak bisa kami pilih sendiri. Namun, masyarakat tidak mengerti bagaimana kami harus berjuang untuk tetap hidup. Diskriminasi yang kerap mereka berikan seolah menyudutkan kami sebagai manusia yang menjijikkan dan kejam. Padahal sebenarnya ini bermula dari ulah mereka sendiri. Sampai pada akhirnya kami terpaksa membalas dendam. Beginilah prinsip benih ditabur dan buah dituai.
Kami punya dunia lain yang tidak bisa ditempati oleh orang sembarangan. Sejujurnya kami juga sangat takut karena banyak orang yang mengincar kami. Setinggi-tingginya ilmu hitam yang kami miliki, sehebat-hebatnya kami bersembunyi, masih banyak orang di luar sana yang memiliki kemampuan di atas kami. Kami dalam sosok lain itu hanya orang lemah karena jiwa kami dipakai dan disandera untuk menjalankan titah, bukan atas kemauan kami sendiri.
***
Isah dan teman-temannya adalah sekumpulan anak kecil yang menjadikan sungai sebagai markas bermain. Konon kata mereka sungai adalah surga kami. Mereka tidak asal memberi istilah karena sebagian besar aktivitas masyarakat juga dilakukan di sungai. Mulai dari kegiatan mencuci baju, mencuci piring, mandi bahkan membuang kotoran.
Kehidupan primitif itu berlaku pada era 90-an di Desa Palangan. Desa yang dihuni oleh puluhan gubuk itu masih memegang teguh mitos dan adat istiadat. Disanalah Isah dilahirkan dan dibesarkan. Isah adalah seorang gadis kecil berusia delapan tahun. Setiap hari Isah membantu orang tuanya bertani dan sisanya ia pergi bermain.
Sekolah pada masa itu jarang memasuki wilayah pedesaan. Sekalinya ada, letaknya dekat kecamatan, jaraknya sekitar sepuluh sampai lima belas kilometer dari Desa Palangan. Maka dari itu anak-anak malas pergi sekolah dan lebih suka membantu orang tuanya bekerja. Para orang tua juga tidak memiliki pandangan bagus tentang pendidikan. Mereka beranggapan bahwa tanpa sekolahpun kehidupan mereka akan tetap berlanjut.
“Isah…Isah…Isah” panggil salah satu teman Isah dari luar rumah. Isah yang sudah selesai melakukan pekerjaan rumah kemudian menghampiri temannya itu.
“Iya? Sudah siap? Ayo kita berangkat” ajak Isah kepada ketiga teman seumurannya, Limah, Minah dan Bokah. Mereka melewati jalan kecil penuh bebatuan dan terjal. Hari ini rencananya mereka akan berenang dan memetik berbagai macam buah yang tumbuh liar di bibir sungai.
Selain anak-anak itu, para ibu juga sudah ramai bekerja. Ada yang mencuci baju, mencuci sayuran dan mandi. Ditengah bahu sungai yang lain, ada beberapa orang bapak-bapak yang sedang memancing. Pemandangan ini sudah biasa terjadi disana, bahkan tidak pandang waktu, mau pagi, siang dan sore hari.
Air sungai yang bening dan bersih membuat Isah dan kawan-kawannya tidak berhenti berenang. Padahal hari sudah mulai terik, mereka terus saja mengeksplor berbagai macam gaya berenang. Sebenarnya ketiga teman Isah yang lain dilarang bermain ke sungai, tapi mereka punya banyak cara untuk mengakali orang tuanya.
“Kakiku sudah kerut terkena air nih. Kita cari makan saja, yuk” ajak Minah sambil menepi ke pinggir sungai. Dia lalu mengambil pakaiannya yang diletakkan di atas batu. Sebelum mandi, mereka melepaskan pakaian dan menaruhnya di atas batu. Sungai sarat oleh bebatuan yang ukurannya besar-besar. Biasanya bebatuan itu digunakan masyarakat sebagai tempat bersembunyi ketika ingin membuang air besar.
“Ayo kita cari buah bidara! Aku melihat pohon bidara lain diujung sana, mungkin buahnya banyak yang matang” kata Bokah sambil menunjuk ke sebelah kanan sungai. Disana memang jarang dihinggapi orang-orang karena terdapat rawa. Kata warga setempat, rawa itu adalah sarang jin dan hantu.
“Ide bagus itu. Pasti disana banyak buah-buahan” tambah Limah.
“Aku juga penasaran” kata Isah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tau Salak
HorrorSetiap daerah pasti memiliki kearifan lokal masing-masing dan kepercayaan terhadap mitos. Begitu juga dengan daerah Lombok, salah satu pulau yang dijuluki Seribu Masjid. Pulau destinasi wisata yang indah nan cantik. Akan tetapi, dibalik itu semua ad...