Bertemu Ki Polak

3 0 0
                                    

Beberapa kejadian memang tidak pernah terduga. Kembali lagi mereka membuang tanpa rasa iba. Tidak ada satupun dari mereka yang mempunyai nurani. Aku berada di titik terendah dan masih sempat direndahkan lagi. Mereka menganggap diri sebagai manusia paling sempurna dan tidak pernah berbuat salah. Baiklah, aku ikuti kemauan mereka.

***

Pada kehamilan pertamanya dulu, Isah sangat terbantu dengan adanya Nek Risok. Namun, kehamilan sekarang tidak bisa ia beritahu siapapun termasuk neneknya. Isah harus sebisa mungkin menyembunyikannya dari keluarga maupun dari warga.

Namun, sepandai-pandainya Isah menyembunyikan bangkai, mereka pasti bisa mengendusnya. Warga sudah curiga kalau Isah sedang mengandung. Warga mengawasi Isah ketika sedang membeli keperluan bahan pokok ke warung.

“Isah…kamu hamil? Kenapa perut kamu terlihat besar?” kata Bu Ciot yang melihat Isah lewat dari rumahnya.

“Mungkin ini lemakku, Bu. Tubuhku sekarang semakin gemuk” sela Isah.

“Iya juga sih” jawab Bu Ciot. 

Terlepas dari cibiran warga, Isah membatasi diri untuk berinteraksi dan keluar rumah lagi. Dia lebih banyak melakukan kegiatan di dalam rumah, sekalinya ia keluar rumah hanya untuk mengambil air minum di sumur. Dia harus menutupi perutnya dengan kain berlapis-lapis dan mengenakan baju yang berukuran besar. Kebutuhan pangan dan sebagainya sudah ia siapkan dari beberapa bulan lalu. Isah berharap bisa memerankan sandiwaranya dengan baik. 

Lambat laun warga tidak bisa lagi dimanipulasi oleh Isah. Mereka mengetahui kalau Isah sudah mencemari nama kampung dengan hamil di luar nikah. Isah telah melakukan perzinahan yang melanggar norma agama dan asusila. Ini yang membuat warga murka.

“Isah…kamu pergi dari sini” teriak Kepala Desa Palangan yang bernama Pak Agus.

“Isah…keluar kamu! Kamu sudah mencoreng nama baik kampung kita” tambah Pak Salim yang merupakan tetangga Isah. Ia yang menyebarkan informasi kalau Isah sedang hamil. Pak Salim menyaksikan Isah sedang memasak sambil memegang perutnya yang besar.

“Iya Isah…keluar kamu! Pergi dari kampung kami!” celetuk warga lain.

Isah yang mendengar suara ribut keluar untuk memeriksanya. Dia terkejut ketika melihat kerumunan warga yang membawa obor. Mereka terus meneriaki Isah.

“Ada apa ini ibu-ibu dan bapak-bapak?” tanya Isah penasaran.

“Kamu pergi dari sini! Kamu hamil! Kamu telah melakukan perzinahan. Kami tidak mau generasi kami mengikuti kelakuan kamu!” teriak Pak Salim.

“Tidak bisakah kita membicarakannya baik-baik dulu?” tanya Isah ingin berdamai. Kondisinya yang lemah tidak akan mampu menimpali teriakan warga satu persatu.

“Kami minta kamu pergi dari sini! Bukan meminta untuk berunding” balas Mpok Inah.

“Bagaimana bisa aku pergi dalam keadaan seperti ini? Aku mohon tolong kasihanilah aku sampai melahirkan nanti” mohon Isah sambil menangis. Ia tidak tau harus pergi kemana apalagi sudah selarut ini. Rumah orang tuanya juga cukup jauh dari tempat tinggal Isah sekarang. Mereka pastinya tidak akan pernah mau menerima Isah dalam kondisi seperti itu, yang ada Isah malah akan diusir lagi. Ia juga tidak akan mungkin pergi ke rumah neneknya.

“Kalau kalian tidak keberatan, tolong izinkan aku angkat kaki besok pagi. Aku akan pergi besok subuh” mohon Isah sekali lagi.

“Kamu banyak omong! Sudah tau salah, malah menawar lagi. Ayo, Bapak Ibu kita bakar saja rumah ini secara paksa kalau anak ini tidak mau pergi. Dia juga turut kita bakar” ajak Pak Agus. Seharusnya sebagai Kepala Desa, ia yang berusaha melerai dan menenangkan warga. Akan tetapi, Pak Agus semakin membuat warga panas dan mengajak mereka berbuat hakim seenaknya. 

Tau SalakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang