Kembalinya Denan

5 0 0
                                    

Cerita kami tidak hanya tentang balas dendam, mati dan menang. Akan tetapi, kalian bisa nilai sendiri, kami termasuk orang sakit yang sangat butuh untuk diperhatikan bukan melulu dihina. Kami juga butuh cinta dan kebahagiaan, sama seperti kalian yang menciptakannya untuk diri dan keturunan kalian. Kami juga senang dengan ketenangan, tidak saling mengusik dan mengurus kehidupan masing-masing dengan damai, karena kami juga tau kalau kami ada kelainan yang harus dibenarkan. Biarlah kami merasakannya di sisa hidup kami.

***

Sebuah gubuk pemberian dari orang tuanya adalah tempat Isah membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang. Dia benar-benar mengabdikan diri menjadi seorang ibu yang baik. Tidak ada lagi ambisi yang akan menyiksa Isah, apalagi peperangan yang akan memisahkannya lagi dengan anaknya. Anak yang seharusnya menjadi fokus perhatian Isah saat ini.

“Demah, hari ini kamu sudah main kemana saja?” tanya Isah. Suatu kebiasaan Isah  menanyai anaknya ketika menjelang tidur. Dia tau kalau berkomunikasi dan memiliki quality time dengan anaknya adalah momen-momen yang tidak akan bisa ia ulang lagi.

“Tadi aku bertemu dengan seorang bapak-bapak. Dia menangis melihatku. Aku tanya kenapa bapak itu menangis. Dia hanya terdiam sambil mengelus lembut kepalaku. Jika ayahku ada, apakah dia juga akan melakukan seperti itu juga Bu?” tanya Demah kepada Isah. 

Pertanyaan yang membuat Isah berpikir lama. Ia lupa kalau Demah sedari kecil tidak pernah merasakan seorang ayah. Isah bingung harus menjawab apa, terlebih dia juga tidak pernah bertemu dengan Denan lagi. Dia sebenarnya tidak terlalu paham dengan karakter dan figur Denan. Dulu ia tidak ada kepikiran kesana tentang Denan. 

Lamunan Isah dibuyarkan oleh Demah. Demah memegang tangan Isah dan menatapnya lekat. Ia lalu berkata “Tidak apa, Bu. Aku mengerti. Aku tidak mau melihat ibu murung seperti itu lagi. Aku sangat bersyukur sudah memiliki ibu sepertimu”

Kata-kata Demah itu semakin membuat Isah kagum. Demah tumbuh menjadi anak pintar walaupun usianya baru beranjak lima tahun. Anak seusia dia belum tentu mengerti perasaan ibunya, mereka pasti sedang senang-senangnya menuntut sesuatu dari orang tuanya. Satu nikmat yang harus Isah syukuri sampai sekarang.

Demah seorang anak laki-laki yang tidak pernah mau merepotkan ibunya. Ia mengerti kalau ibunya sudah tidak muda lagi, Demah selalu membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah tangga walaupun Isah tidak pernah menyuruhnya melakukan hal itu. Demah juga kerap membantunya berkebun di ladang.

“Tolong berbuahlah yang banyak. Ibuku sangat membutuhkan buahmu untuk dijual di pasar. Kasihanilah dia. Dia rela kelelahan bekerja untuk menghidupi ku” bisik Demah kepada tanaman kacang yang sedang disiramnya. Walaupun dengan volume suara yang sangat kecil, Isah bisa mendengar ucapan anaknya itu. Ada kegelian yang ia rasakan setelah mendengarnya. Isah mengingat masa-masa bahagianya dengan Denan dulu, mereka berdua sangat mirip dalam hal meratukan Isah.

***

Disatu sisi Isah merasa bangga dengan tumbuh kembang Demah yang semakin pintar. Sisi lain, Isah juga sangat khawatir dan takut akan jati dirinya sebagai Tau Salak. Ia takut apabila Demah tidak bisa menerima sosoknya itu. Akhirnya Isah merasakan hal yang dirasakan oleh orang tuanya dulu. Dia harus pelan-pelan mengajarkan Demah akan hal itu, kalau dipaksa Demah pasti akan berontak seperti yang ia lakukan dulu.

“Demah, kamu mau makan selain makanan yang biasa kamu makan?” tanya Isah kepada Demah.

“Maksud ibu?” tanya Demah mengernyitkan kening.

“Kamu mau makan ikan tapi yang sudah lama mati” jawab Isah.

“Bangkai ikan? Bukankah kita biasanya makan ikan yang sudah mati, Bu?” tanya Demah lagi.

Tau SalakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang