Happy Reading
..
.
Voment guys..
..
.
Lionel menghela nafas lalu menoleh kearah kaca tembus pandang yang memperlihatkan panorama gedung-gedung tinggi dan jalan raya Jakarta yang padat."Jika tidak ada yang ingin kau katakan, keluarlah" Ucap Lionel membuat Rafka menghela nafas lalu menghampiri ranjangnya.
"Lionel bisakah aku meminta satu permintaan kepadamu?" Tanya Rafka membuat Lionel mengerutkan keningnya.
"Hm?"
"Tetaplah hidup, itu permintaan abang"
Lionel hanya mengulas senyum tipis dengan tatapan kosong yang masih tetap ada, ada rasa getir ketika mendengar ucapan dengan nada permohonan yang terdengar kental.
Kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus ketika sudah berubah seperti ini mereka baru seperti ini? Kenapa ketika ia juga ikut hancur baru mereka mengerti?.
Ada banyak kata kenapa yang ia ingin ungkapkan namun sedetik kemudian ia memilih tetap bungkam dan menelan habis kata kenapa yang ingin ia ujarkan.
"Bisakah?" Tanya Rafka dengan tatapan yang menatap Lionel dengan tatapan sendu.
"Umur tidak ada yang tahu" Jawab Lionel asal.
Ia tidak ingin mengiyakan karena ia juga telah merasa keberatan ketika memakai raga yang bukan miliknya ditambah dengan perasaan aslinya yang masih tertinggal.
Perasaan kecewa itu semakin dalam dan semakin lebar hingga ikut menghancurkan kepercayaan dan harapan.
Menyisakan cangkang kosong dengan bekas luka yang dalam yang mungkin akan lama terobati atau mungkin tidak akan pernah terobati.
Lionel lelah namun untuk melakukan hal gila nan nekat ia masih belum berani, ia takut tuhan akan marah dan melaknatnya.
Jadi untuk saat ini ia hanya bisa bertahan hidup seperti biasa, dengan luka tentunya.
"Maafkan abang, istirahatlah" Ujar Rafka lalu berjalan keluar ruangan meninggalkan Lionel yang menatap punggungnya dengan tatapan kosong.
"Jika saja kau mengucapkan kalimat itu 2 minggu yang lalu kemungkinan kau masih hidup bersama adikmu yang asli sekarang, Rafka" Gumam Lionel.
Lionel merebahkan kepalanya diatas bantal, menarik nafas panjang lalu memejamkan matanya.
..
.
Rafka keluar dari ruangan Lionel dengan wajah datar tanpa ekspresi namun tatapannya berkaca-kaca."Kak, Lionel" Ucap Liona.
"Jangan diganggu dahulu, Lionel istirahat di dalam" Balas Rafka membuat Liona mengigit bibir bagian bawahnya pelan, kebiasaannya ketika gugup.
"Tapi Lionel baik-baik saja bukan?" Ucap Liona.
"Dia mungkin baik-baik saja secara fisik namun untuk mentalnya, buruk" Balas Rafka lalu mendudukkan dirinya dikursi disamping ruangan.
Penyesalan memang selalu menjadi hal terakhir yang akan datang sebagai penutup.
Dan penyesalan itu sekarang yang tengah Rafka rasakan dan kemungkinan bukan hanya dia melainkan semua orang yang pernah melukai sang adik.
Perlakuan dingin, penghinaan verbal serta kekerasan fisik selalu mereka lakukan terhadap Lionel tanpa alasan yang logis.
"Kenapa harus Lionel?" Gumam Raska sembari menyenderkan tubuhnya di dinding putih rumah sakit.
Tatapannya menatap lampu dengan tatapan kosong dan pikirannya berkelana entah kemana saja, berusaha mengumpulkan kenangan bersama sang adik bungsu.