Lisa kembali dihadapkan dengan pintu, perasaan ragu dan cemas mengisi hatinya. Tangannya gemetar sedikit saat memegang ponsel, memandang alamat yang dikirimkan oleh Kai. Apakah ini keputusan yang tepat? Apakah seharusnya dia datang ke sini? Tadi pagi, Kai menelepon dengan nada penuh penyesalan, meminta maaf atas sikap kasarnya semalam. Namun, setelah permintaan maaf itu, Kai memintanya untuk datang ke sebuah alamat. Sekarang dia berdiri di depan pintu apartemen elit.
Lisa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia merasa tidak nyaman, tetapi rasa penasaran dan juga kekhawatiran tentang apa yang sebenarnya terjadi membuatnya tetap berada di tempat itu. Dia menatap pintu di hadapannya, mengukur seberapa siap dia untuk menghadapi apa yang mungkin ada di balik pintu itu.
"Cepat tekan belnya" suara Jennie terdengar dari sebelahnya. Lisa melirik ke arah temannya, yang terlihat lebih santai meskipun jelas merasakan ketegangan yang melingkupi Lisa. Ya benar, Lisa membawa serta Jennie bersamanya karena dia tidak mau berada dalam situasi penuh kecanggungan seorang diri.
“Apa yang kita lakukan di sini, Jennie?” bisik Lisa ragu, namun tangan Jennie sudah bergerak mendekat ke arah bel pintu.
"Kita akan tahu setelah kau menekan belnya, kan?" Jennie tersenyum tipis, memberi dorongan semangat, meski matanya ikut menatap pintu dengan rasa ingin tahu yang sama.
"Aku takut" bisik Lisa, suaranya nyaris tenggelam dalam suara deburan jantungnya sendiri.
"Kita tidak datang kesini untuk berkelahi jadi cepat tekan belnya! Kakiku sudah pegal terus berdiri" keluh Jennie dengan suara serak kehabisan sabar, sebelah tangan sudah memijat betisnya yang mulai kesemutan. Dia mengurungkan niatnya untuk menekan bel.
Lisa menelan ludah "Bisa saja akan ada perkelahian. Di dalam ada Jackson"
Jennie memutar matanya, "Ya ampun, Jackson itu anak umur enam tahun. Memang apa yang bisa dia lakukan selain merajuk? Tekan saja Belnya sekarang atau aku akan pulang" ucapnya dengan nada gemas. Sepertinya Jennie merasa Lisa sedang menulis skenario drama penuh adegan baku hantam ala film aksi di dalam kepalanya.
Lisa menatap pintu seolah-olah itu adalah pintu masuk ke ring tinju, "Beri aku waktu. Aku harus menenangkan diri dulu.."
Jennie, yang sudah tak tahan dengan melodrama Lisa, akhirnya melangkah maju dan dengan tegas menekan bel pintu. Lisa langsung melotot seperti baru saja melihat Jennie memencet tombol 'akhir dunia.'
"Lama" kata Jennie, tertawa kecil sambil menikmati kepanikan Lisa yang mulai menggelinjang gelisah.
Lisa membalas dengan tatapan penuh kecurigaan. “Kau… kau ini penghancur persiapan mentalku!” serunya setengah berbisik.
“Persiapan mentalmu atau drama yang kau buat sendiri, sih?” balas Jennie sambil nyengir.
Pintu apartemen terbuka, dan di baliknya muncul Wendy dengan penampilan yang lebih santai, rambutnya pendeknya tergerai lepas, kaos dan celana panjang yang nyaman membuatnya terlihat lebih rileks dibanding pertemuan terakhirnya dengan Lisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
DADDY PARK
FanfictionPark Chanyeol, pria sempurna di mata banyak orang, mendapati hidupnya terbelit oleh berbagai dilema yang tak terduga. Di usia 24 tahun, ia telah memiliki segalanya; wajah tampan, kekayaan berlimpah, dan sepasang anak kembar yang menggemaskan. Namun...