“Kenapa jantungku berdebar-debar kalau ingat wajahnya?”
Lagi.
Aku benci mengakui ini, tapi aku merasa tidak suka untuk lagi-lagi melihat Kim Taehyung masuk kelas di pukul sepuluh pagi. Lengkap dengan jaket kain warna merahnya hari ini. Juga luka di sudut bibirnya yang sepertinya terasa sakit sekali. Lagilagi menghadap guru di kelas sambil membungkuk sembilan puluh derajat dan mengucapkan kata maaf dengan suara lirih. Lagi-lagi dimarahi, diumpat, juga dihina oleh guru yang kian jengah akan tingkahnya.
Namun Kim Taehyung seolah sudah kebal dengan semua itu. Dia seolah mendadak tuli begitu pun guru yang sudah angkat tangan. Hukuman tidak pernah membuat Taehyung menyesali perbuatannya jadi ia dipersilahkan duduk. Mungkin dari pada ia dikeluarkan dari kelas—yang tentunya akan membuatnya senang, lebih baik kurung berandal itu di sini. Hukuman yang tentunya akan dibenci anak sepertinya adalah belajar.
Tapi aku tidak melihat gestur kesal. Seperti kemarin, Taehyung mengusir Moon Bok. Kurasa dia sengaja melakukannya agar bisa mempermainkanku. Tapi dia tidak menoleh padaku setelah duduk. Dia buru-buru mengeluarkan bukunya dari tas—padahal kupikir tadinya tas itu sekedar aksesoris buatnya. Tapi dia benar-benar membawa buku, kemudian mencatat dengan tenang. Serius. Aku belum pernah melihat wajahnya yang seserius itu.
Tentu. Selama ini aku tidak pernah memperhatikannya.
Kemudian aku sadar ada banyak hal yang tak kuketahui dari Taehyung dan hati ini ingin mencari tahu lebih jauh. Bukankah aku mulai bertindak aneh sekarang? Aku merasa tidak sepeduli itu pada orang lain sebelum ini namun melihatnya dicerca membuatku berpikir dia mungkin memiliki alasan untuk datang terlambat. Apa karena dia sudah baik membantuku piket? Apa hatiku tersentuh semudah itu?
“Ah ... lelah sekali hari ini.”
Dua jam pelajaran, baru setelah jam makan siang akhirnya
Taehyung mengeluh sambil merenggangkan tulang-tulangnya.
Juga ... melihatku lagi.
Lagi-lagi dia menghampiriku di meja sudut kantin. Kurasa dia ketagihan dengan roti lapis yang kubawa. Aku pun mulai terbiasa dengan kehadirannya dan tidak lagi sungkan membagi sepotong roti dari kotak bekalku. Meski itu artinya jatah untuk perutku berkurang sedikit. Makanan kantin tidak terlalu cocok denganku, dan untuk mengatasinya aku selalu membawa bekal dari rumah.
Tapi hari ini kulihat Taehyung mengambil makanan. Juga membeli mi instan dan dua jus kotak, lantas ia memberiku salah satunya.
“Aku punya minumanku sendiri,” tolakku sambil menunjukkan botol air mineralku.
Taehyung terkekeh. Ia lantas mengambil minumannya kembali. Mulai menusuknya dengan sedotan dan menyesapnya ketika bicara padaku lagi.
“Kau tak pernah jajan. Berapa uang sakumu?” Dia bertanya.
Sebenarnya dia menanyakan sesuatu yang sensitif, namun marah-marah padanya tidak pernah baik untuk kesehatan, terutama jantungku.
“Makanan rumah jauh lebih sehat." Maka kuputuskan mengalah.
“Tapi makanan dari luar rumahmu jauh lebih enak.”
Aku membeku ketika setelah kalimat itu Taehyung menarik sedotan dari mulutnya. Memasukkannya ke mulutku kemudian meraih sebelah tanganku untuk memegang kotak jus itu sendiri. Setelahnya ia melanjutkan acara makannya tanpa melihatku lagi.
Aku yakin mataku masih membelalak atas perlakuannya. Apa bahkan dia tahu kalau jajan sembarangan perutku bisa sakit? Bukan karena makanannya tidak bersih, hanya saja perutku yang tidak mau terima. Dan yang baru saja ini ... bekas mulutnya, 'kan? Kuharap Taehyung tak punya penyakit untuk ditularkan padaku.