BAB 17

96 7 0
                                    


        Rumah ini sebenarnya sudah didekorasi sejak hari lalu. Antonio benar-benar berniat membuktikan jika ucapannya bukan bualan belaka. Pria itu sungguhan akan melangsungkan pernikahannya esok. Wow.... great job. Jeffandra akui dirinya terkagum pada kesungguhan Antonio. Rumah ini sudah berhiaskan pernak-pernik indah, yang melengkapi keindahan dekorasinya, megah—kali ini tidak berlebihan menyebutnya istana. Antonio rupanya tidak tanggung-tanggung perihal rencananya. Applause. Bleza pasti sangat bahagia. Pesta meriah bukan lagi impiannya, tapi menjadi kenyataan dan benar-benar miliknya.

      Pagi ini mereka sedang berada di satu meja, melangsungkan sarapan. Tidak terkecuali Jeffandra, yang sebelumnya sungguh mengejutkan Bleza. Anak itu telah ada lebih dahulu bersama Antonio di meja makan, melangsungkan sarapan berdua sebelum digenapi kehadirannya dan Ciara.

        Jika ditanya bagaimana perasaannya, Bleza senang tentu saja. Walau tidak banyak diwakili percakapan—seperti biasa, setidaknya Jeffandra tidak membuat kekacauan seperti yang sudah-sudah. Anak itu hening, kadang menjawab perkataan Antonio saat pria itu mengajaknya bicara. Mungkinkah ini pembuktian ucapannya kemarin? Perihal ... mempertimbangkan kemauannya? Bleza rasa ini terlalu cepat. Dan meski pun Bleza katakan dirinya merasa senang dengan kedekatan yang mulai terjalin antara putranya dengan calon ayah, tidak bisa dipungkiri, perasaan gelisah selalu menjadi pemenang yang pada akhirnya menghapus perasaan senang yang hadir di relungnya. Perasaan yang bahkan terlalu ambigu untuk Bleza hadirkan.

        “Aku berangkat ya, Sayang?” Setiap perlakuan Antonio, dari tersenyum padanya, memeluk setengah tubuhnya, hingga mencium keningnya, atensi Bleza hanya separuh untuk pria itu dan lebih banyak diisi kecanggungan. Kecanggungan yang tidak pernah ingin untuk Bleza rasakan sejak hadir di meja ini hingga sarapan usai. “Setelah aku anterin anak-anak, dan setelah pekerjaanku selesai, aku janji buat ngabarin kamu perihal cincin impian kamu itu.”

       Dahi Bleza bergelombang spontan. “Anterin anak-anak?”

        Antonio mengangguk, siapa lagi jika bukan dua orang yang sebentar lagi akan resmi menjadi kakak beradik itu. “Jeffandra yang minta,” beritahunya, binar di kedua matanya tidak bisa membohongi jika Antonio terlihat begitu senang.

        Berbeda dengan Antonio, Bleza selalu menjadi kebalikannya. Wanita itu menatapi Jeffandra yang sudah siap dari kejauhan sana, ia tidak pernah bisa berpikir positif tentangnya entah kenapa. Tatapan anak itu turut memindai saat Antonio menyebut namanya.

        Sejenak menenangkan diri, oke Bleza, mungkin memang itu yang harus kamu lakukan. Memulai percaya pada Jeffandra dan setiap perlakuannya. Mungkin selama ini kamu hanya terlalu men-judge berlebihan. “Take care!”

        Bleza berdiri dari tempatnya duduk untuk turut membersamai langkah Antonio dari belakang, menuju mobil hitam miliknya yang sudah terparkir di halaman depan. Menatapi interaksi antara Jeffandra dengan Adelard lebih intens, membaca gerak-gerik anak itu yang syukurlah tidak mencurigakan.

     Bleza hanya berharap satu hal.

     Jeffandra tidak sedang membuat bualan dan semua yang dilakukannya memang murni dari hati kecil milik putranya itu. 

****

       “Nah... ini dia nih yang ditunggu-tunggu.” Jeffandra disambut sorakan heboh Christ, cowok itu.... sungguh tidak penting sekali, menghadang jalannya ketika memasuki kantin. Ketika Jeffandra sangat ingin untuk mendinginkan kepalanya, dengan rokok—perihal perlakuan manis Antonio pada mamanya yang terasa lancang bagi Jeffandra. Ternyata Jeffandra masih tidak menyukainya. Bukan tentang dua orang yang belum benar-benar resmi mengikat janji, tapi ada perasaan tak suka yang hadir di relungnya melihat keromantisan itu. Sesuatu yang entah kenapa sulit untuk Jeffandra terima sebagai kenyataannya. Walau pun itu akan menjadi kebiasaan yang Jeffandra tonton tiap harinya nanti. Hell!

JEFFANDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang