BAB 22

66 6 0
                                    

          “Gue turut berduka cita, ya, atas kegagalan pernikahan bokap lo,” daripada Kelaya yang membersamai Cia di samping gadis itu. Bersama Iris dan Audrey—seperti biasa, ketiganya tengah menemani Ciara menuju kantin di jam istirahat pertama. Di kelas tadi, Kelaya mendapati Ciara yang hanya diam tanpa mengajaknya mengobrol seperti biasa. Ciara memang tipikal gadis yang tak banyak bicara, tapi biasanya akan selalu ada pembicaraan meski itu tidak terlalu penting untuk dibicarakan. Dan, Kelaya akhirnya memberitahukan semuanya pada Iris dan Audrey—menceritakan semuanya pada mereka. Kelaya tahu pasti hal apa yang membebani pikiran Ciara, dan dia ingin membuatnya lebih baik dengan bantuan kedua temannya itu.

         Ciara tersenyum simpul, sebenarnya, seperti senyum yang dipaksakan untuk hadir di bibirnya. “Aku, sih, sebenarnya enggak papa kalau memang pernikahannya harus ditunda. Tapi, aku masih selalu ngerasa bersalah sampai saat ini sama Mama Bleza,” menghela napas, “Meski pun Papa pastiin waktu yang tepat buat nepatin janjinya, aku yakin dia sedih. Pasti ada rasa kecewa yang enggak bisa dia ungkapin dan dia sembunyiin di balik senyum tulusnya,” gadis itu memang piawai untuk tidak terlalu memperlihatkan kegalauannya. Meski itu beban yang terasa berat untuk Ciara pikul sendiri, dia tentu tidak ingin merepotkan ketiganya.

          “Semuanya enggak mungkin cuma kebetulan gak, sih?” Iris sudah diwanti-wanti oleh Audrey agar tidak mengada-ngada, gadis itu tak mengabaikan Audrey dan mengisyaratkan untuk mendengarkannya dahulu, seperti Kelaya dengan kekalemannya meski Iris tidak pernah yakin gadis itu benar-benar kalem. “Kayaknya semesta lebih ngerestuin hubungan lo sama Jeffandra, deh. Kalian berdua pacaran, kan?”

          Dipikirkan Audrey dengan serius pada akhirnya, ada benarnya juga. Tapi apa mungkin jika semua memang menuju ke sana? Audrey bingung untuk sedih atau senang di sini.

          Ciara mengerjap pelan, apalagi dengan omongan temannya yang itu? Mana mungkin mereka benar-benar percaya jika dirinya berpacaran dengan Jeffandra? Itu G. I. L. A. Dan orang normal mana pun pasti berpikir jika hubungan antara dua bersaudara itu tidaklah mungkin.

          “Eh!” Ciara terjeda oleh Kelaya yang berhenti tiba-tiba, hampir menabrak punggung gadis itu jika tak mendengar ucapannya. “Panjang umur, orangnya nongol, Ci.”

          Cowok itu ... seperti hantu. Muncul tiba-tiba dan menyandar di pilar. Meski tidak terlalu mengagetkan bagi ketiga gadis yang mengaku pernah menyukainya secara terang-terangan itu, tetap saja mendebarkan jika bertemu dengan cara seperti ini. Terlibat dalam kecanggungan yang menjengkelkan sekaligus menyenangkan.
    
         “Kita jalan duluan, oke?” Itu dari Iris, tangan Ciara disenggol pelan ketika gadis itu menaikan satu alisnya dan ketika akan pergi.

          Jeffandra sempat menatapi tajam langkah ketiganya sebelum benar-benar menghampiri Ciara, yang tersenyum dengan sangat manis bersama ketibaannya di depan mata. Kali ini, bukan gadis itu lagi yang menyambutnya. Melainkan Jeffandra. Yang tanpa ragu menggenggami tangannya, meski tidak sama dengan Ciara, meski tidak semanja gadis itu ketika menginginkan perhatiannya, seolah-olah masalah sebelumnya lenyap begitu saja, mungkin tidak, Jeffandra melupakan satu hal. Jika dia masih punya misi yang masih menggantung, jika dia harus menemukan segala jawaban daripada gadis cantik di sampingnya itu.

           “Oh, ya, aku belum bilang terima kasih sama kamu, Kak,” sela Ciara saat Jeffandra mulai memintanya mengimbangi langkah. Tersenyum pada cowok itu, lagi, kali ini lebih lebar. “Atas kebersediaan kamu untuk tetap bertahan buat aku.”

          Menarik senyum tipis, oh... menganggapnya begitu, ya? “Lo enggak marah atas perlakuan gue tadi pagi?” Jeffandra mengalihkan topik.

          “Kenapa harus marah?” Ciara terkekeh. “Harusnya aku bisa ngertiin, dong? Kalau setiap orang pasti punya hal yang sangat penting buat diprioritasin.”

JEFFANDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang