15

560 72 15
                                    

Saat ini Arlian dan Calisa tengah duduk di salah satu bangku di taman kota, tentunya di bawah naungan pepohonan yang rindang. Matahari siang itu bersinar dengan terik, namun angin sepoi-sepoi yang bertiup membuat suasana menjadi terasa nyaman.

Calisa menatap Arlian dengan tatapan penuh harap. "Ar, kamu punya waktu hari ini? atau ada kerjaan penting?" tanya Calisa dengan suara pelannya. Ada nada ragu yang tersembunyi di balik pertanyaan itu, membuat Arlian menoleh dengan alis yang sedikit berkerut.

"Buat hari ini nggak ada kerjaan penting sih, semuanya di handle sama sekertaris aku. Kenapa emangnya? masih kangen, Cal?" tanya Arlian sedikit bergurau.

Calisa tersenyum tipis. "Aku... mau ngajak kamu ke rumah sakit," ucapnya.

"Ke rumah sakit? Kamu sakit, Calisa?" tanya Arlian.

"Bukan aku, aku nggak kenapa-napa kok," jawab Calisa. Dia menarik napasnya panjang. "Kamu pasti belum tahu ini, ibuku dirawat di rumah sakit jiwa, Ar. Rencananya hari ini aku mau jenguk beliau," lanjutnya.

Aku tahu, Calisa. Batin Arlian.

Arlian berpura-pura terkejut. "Maksud kamu?"

"Aku serius, Arlian. Ibuku dirawat di rumah sakit jiwa karena dia depresi atas kepergian ayahku," ucap Calisa.

"Dan dia juga menganggap aku udah meninggal," lanjutnya, yang kali ini membuat Arlian benar-benar terkejut. Pasalnya, Arlian hanya mengetahui jika Helen Ibunya Calisa  selalu menolak kunjungan dari Calisa tanpa alasan tertentu.

"Kenapa, Cal?" tanya Arlian.

Calisa menarik napasnya panjang. "Jadi, dulu ayahku punya sahabat, ayah dan sahabatnya itu beneran deket banget. Tapi sayangnya, karena adanya persaingan bisnis di antara mereka berdua, mereka akhirnya bermusuhan karena salah satu dari mereka yang menang, yaitu ayah aku."

"Entahlah, banyak rencana-rencana yang dirancang sahabat ayah aku buat hancurin ayah dan keluarganya, termasuk aku. Singkatnya, ada satu kejadian yang bikin ayah marah besar, dia pergi ke rumah sahabatnya itu dengan penuh emosi, sampai akhirnya dia kecelakaan dan meninggal. Aku kira, kecelakaan itu ya pure kecelakaan, tapi ternyata itu juga bagian dari rencana sahabatnya ayah aku ini."

"Ah, rasanya udah gak pantas beliau disebut sahabatnya ayah, mungkin lebih tepat musuhnya ayah."

"Nggak cukup sampai di situ, dia juga menyusun rencana buat bunuh aku. Tapi, beruntungnya aku punya Calvin. Calvin selalu siap siaga lindungi aku."

"Tapi ternyata, setelah itu, ibuu mengalami depresi parah dan menganggap aku meninggal karena kejadian yang diskenario sama orang-orang jahat itu

Calisa sengaja mengungkapkan itu semua, ia penasaran dengan ekspresi Arlian jika mendengarnya. Benar saja, Arlian terdiam, seperti tengah merenungkan apa yang baru saja Calisa ucapkan.

"Ar, kenapa? kamu malu kah punya calon mertua yang dirawat di rumah sakit jiwa?" tanya Calisa.

Dengan cepat Arlian menggelengkan kepalanya. "Nggak gitu, Cal. Aku cuma speechless aja tahu semuanya."

"Aku mau ikut ketemu ibu kamu," lanjutnya.

"Serius?" tanya Calisa tak percaya.

"Serius, Calisa!" jawab Arlian.

"Ar, makasih. Sekarang aja, ya? Aku udah kangen sama bunda," ucap Calisa.

"Iya, ayo!"

Mereka pun beranjak dari kursi taman itu untuk menuju mobilnya.

***

Setibanya di rumah sakit jiwa di mana Ibunya Calisa dirawat, Arlian dan Calisa berjalan pelan menyusuri koridor yang sepi. Arlian tak melepaskan genggaman tangannya dari tangan Calisa.

LDR || Love Death RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang