06

532 68 12
                                    

"Calisa, maafin gue. Gue sayang banget sama lo," ujar Calvin.

Entah sudah berapa lama, Calvin membujuk satu adiknya itu. Tapi, Calisa tidak bersuara sama sekali, dia hanya fokus dengan sarapan paginya.

"Calisa, ayolah ngomong."

Calisa berdecak kesal. "Gue lagi makan Calvin, bisa diem dulu gak?"

"Iya, maaf," ucap Calvin pelan.

Calvin pun membiarkan Calisa untuk fokus dengan kegiatannya, dia tidak ingin membuat mood adiknya semakin memburuk.

Beberapa menit kemudian, Calisa selesai dengan sarapannya, dia membereskan bekasnya terlebih dahulu. Sebenarnya, dia ingin menghindar dari Calvin, tapi lagi-lagi Calvin membuntutinya.

"Vin, gue lagi beresin ini dulu, lo ngapain ngikutin gue sih?" tanya Calisa.

"Maafin gue Calisa," ujar Calvin.

"Iya, nanti dulu," jawab Calisa yang kini sudah beralih mencuci piring. Calisa benar-benar belum ingin berdebat dengan Kakaknya itu.

Setelah selesai, Calisa menghembuskan napasnya berat. Dia menghampiri Calvin.

"Lo mau minta maaf perihal apa lagi, sih?" tanya Calisa. Perempuan itu mendudukkan dirinya di sebelah Calvin.

"Ya maaf, semalam gue emosi sama lo, Cal. Gue gak mau lo terjebak di permainan lo sendiri," ujar Calvin.

Calisa tersenyum sinis. "Bukan permainan gue, tapi permainan lo, Calvin."

"Lo tahu, gak, sih, Arlian itu kaya gimana?" tanya Calisa.

"Gue tahu, Calisa. Makannya gue nyuruh lo yang turun tangan di sini," jawab Calvin.

"Lo mau membahayakan adik lo sendiri? Lo mau bikin adik lo ada di posisi yang mengenaskan? Lo mau bikin adik lo menderita?" tanya Calisa bertubi-tubi.

Calvin memejamkan matanya, berusaha menetralkan emosinya yang hendak memuncak. Terkadang, Calisa ini memang pandai memancing emosi.

"Vin, lo yakin gue bakalan berhasil?" tanya Calisa lagi.

"Calisa, gue Kakak lo, gue gak mungkin membahayakan adik gue sendiri. Gue menyuruh lo buat ikut andil, karena gue yakin lo pasti bisa," ujar Calvin.

"Tapi gue gak yakin, Calvin. Gue takut," ucap Calisa.

Gue takut jatuh hati sama dia. Calisa membatin tanpa sadar.

"Dia misteri, Vin." Calisa kembali menerawang bagaimana sifat dan karakteristik laki-laki yang akhir-akhir ini selalu menjadi bayangannya di setiap harinya, kemana pun Calisa, Arlian pasti ada.

"Justru itu, lo yang harus memecahkan misterinya," balas Calvin.

"Dia rumit, gue gak mampu," ujar Calisa.

Calvin memegang kedua bahu Calisa. "Calisa lihat gue! Mana Calisa yang selalu optimis? Mana Calisa yang gak pernah ragu sama kemampuannya sendiri? Mana Calisa yang selalu berani?"

"Calvin, kali ini beda. Bukan cuma nyawa gue taruhannya, tapi hati gue juga," cicit Calisa.

"Wait, jangan bilang lo beneran jatuh hati sama dia, Cal?" tanya Calvin.

"Enggak Calvin, gue cuma takut," jawab Calisa.

"Gue yakin lo gak akan pernah jatuh hati sedikit pun sama dia. Gue yakin dia bukan tipe lo, Calisa," ujar Calvin.

"Hati gak ada yang tahu, gue gak tahu apa yang akan berubah di hari ini, besok, dan seterusnya."

Calisa tidak bersungguh-sungguh mengucapkan hal itu, dia hanya menguji Calvin, dia hanya menguji emosi Kakaknya itu.

LDR || Love Death RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang