13

420 68 13
                                    

Arlian berdiri diam di depan makam Aira, tubuhnya gemetar dalam dinginnya sore ini. Beberapa hari terakhir ini, Arlian seringkali di datangi oleh mendiang Aira dalam mimpinya, yang membuat dirinya tidak tenang.

Jujur saja, hatinya berat, dipenuhi rasa penyesalan dan rasa bersalah yang entah kapan berujungnya. Arlian menatap nisan sederhana di hadapannya, terukir nama yang akhir-akhir ini terus membuatnya tak tenang.

Arlian jatuh berlutut, tangannya gemetar saat menyentuh gundukan tanah tersebut.

"Aira..." suaranya parau, hampir tak terdengar. "Aku... aku minta maaf, Ai."

Arlian merasakan tenggorokannya mengering, karena selama ini Arlian tidak pernah mengucap maaf sekali pun setelah kejadian di mana ia membunuh Aira. Berbeda dengan kali ini, matanya bahkan sudah berkaca-kaca.

"Dari awal seharusnya bukan kamu... seharusnya aku membunuh ayah kamu, bukan kamu, Ai" ucapnya terbata-bata. "Tapi aku salah, aku malah bunuh kamu, padahal di sini kamu nggak salah apa-apa, kamu juga korban keegoisan orang tua kita."

"Aku salah, Aira. Aku salah karena mengira kamu terlibat dalam rencana busuk ayah kamu dan ayah aku. Maafin aku, Aira," ucap Arlian seraya mengusap batu nisan di depannya.

Kenyataan bahwa ia telah menghilangkan nyawa Aira, yang tak bersalah dan hanya terjebak dalam dendam yang membutakan.

"Maaf, Aira. Maaf karena selama ini kehidupan aku selalu baik-baik aja tanpa aku merasa bersalah karena udah bunuh kamu. Maaf karena kata maaf itu gak pernah terucap sama sekali dan aku baru sadar kalau ternyata selama ini aku yang salah," ucap Arlian.

"Padahal, yang membuat hancur hubungan aku sama Calisa itu bukan kamu Ai, tapi ayah aku dan ayah kamu."

"Ayah aku yang tiba-tiba hancurin hari pernikahanku dan merencanakan buat celakain ayahnya Calisa. Ayah kamu yang bikin Ayahnya Calisa meninggal dan bikin aku kecelakaan sampai amnesia."

"Mereka berdua juga maksa kamu buat nikah sama aku, dan aku baru sadar itu, Aira."

"Aku beneran baru sadar kalau semua yang terjadi gak ada campur tangan kamu sama sekali."

"Maaf, Aira. Maaf karena awalnya aku selalu ngira kalau kamu sama jahatnya kaya mereka."

"Harusnya aku gak bunuh kamu, harusnya sekarang kamu masih di sini, masih bahagia."

"Maaf karena aku sempet ngira kamu juga yang bikin Calisa kecelakaan, bahkan sampai Calisa lupa sama aku, tapi ternyata semuanya ulah ayah aku."

"Harusnya yang aku habisin itu ayah kamu dan ayah aku sendiri, bukan kamu."

Arlian tak henti-hentinya meminta maaf di depan makam itu. Tanpa Arlian ketahui, sedari tadi Calisa mendengarkan apa yang ia ungkapkan.

Ya, Arlian datang ke tempat pemakaman itu bersama Calisa. Tapi, Arlian menyuruh Calisa untuk tetap berada dalam mobil, hanya saja Calisa tidak menuruti perkatan Arlian.

"Ar?" panggil Calisa yang membuat Arlian terlonjak.

Arlian mengusap kasar air matanya yang hendak turun. "Cal, udah aku bilang, tunggu di mobil!"

"Bosen, Ar," ucap Calisa. "Masih lama?" lanjutnya.

"Udah kok," jawab Arlian seraya berdiri.

"Kamu dari tadi di sini? Kamu dengerin semua yang aku bicarain?" tanya Arlian.

Calisa menggelengkan kepalanya, berbohong. "Gak, aku gak denger."

"Serius?" tanya Arlian kembali memastikan.

"Serius, Arlian!" jawab Calisa.

Calisa menggandeng tangan laki-laki itu. "Ayo, pulang. Aku capek."

Tanpa sadar, Arlian tersenyum. "Ayo," ucapnya seraya merangkul Calisa.

LDR || Love Death RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang