Tekanan dari Ayah

29 17 3
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Harapan yang dibebankan sering kali menjadi beban, tetapi kebebasan adalah jalan menuju pemahaman."

*
*
*

Bab 2: Tekanan dari Ayah

Pagi yang dingin menyelimuti rumah keluarga Alvarendra, namun bagi Rayhan, udara terasa lebih berat daripada biasanya. Setelah percakapan singkat dan dingin dengan ayahnya semalam, Rayhan merasa ada beban tak terlihat yang terus menghimpitnya. Ia berusaha fokus menyelesaikan sarapannya di meja makan, namun pikirannya melayang-layang, memikirkan pertemuannya dengan Ardi di sekolah kemarin.

"Apa kamu dengar apa yang ayah bilang semalam?" Suara Pak Alvarendra membuyarkan lamunannya. Suara itu dingin, teratur, dan tanpa emosi—seperti mesin.

Rayhan menelan makanan di mulutnya, lalu menatap ayahnya yang sudah berpakaian rapi, siap berangkat ke kantor. "Dengar, Yah. Aku paham," jawabnya singkat.

Pak Alvarendra duduk di depannya, menatap anaknya dengan mata yang penuh harapan, namun juga tekanan yang luar biasa. "Bagus. Jangan pernah lupa kenapa kamu pindah ke sekolah itu. Kamu tidak hanya harus pintar, Rayhan. Kamu harus menjadi yang terbaik. Aku tidak mau mendengar cerita yang tidak-tidak soal perilakumu di sekolah."

Rayhan menggigit bibir bawahnya, menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan. Ia ingin berkata bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia tidak membutuhkan pengawasan ketat seperti ini. Namun, setiap kali kata-kata itu hampir keluar, ia selalu mengingat kembali kejadian dua tahun lalu.

Insiden. Kata itu selalu muncul di benaknya setiap kali ayahnya mulai berbicara tentang 'menjadi yang terbaik'. Rayhan tahu bahwa ayahnya tidak bisa lepas dari insiden itu—sesuatu yang mengubah cara pandang ayahnya terhadap Rayhan, terhadap hidup mereka.

"Aku akan berusaha, Yah," ujar Rayhan, suaranya terdengar hampa.

Ayahnya mengangguk tipis, lalu berdiri. "Ingat, jangan pernah kecewakan ayah. Aku tidak akan mentolerir kegagalan."

Rayhan hanya bisa mengangguk, melihat sosok ayahnya menghilang di balik pintu. Setelah kepergian ayahnya, rumah terasa lebih sunyi. Hanya suara langkah kaki ibunya yang terdengar dari arah dapur.

"Kamu tahu kan ayahmu hanya ingin yang terbaik untuk kamu?" Suara lembut ibunya terdengar dari belakang. Ibu Rayhan, seorang perempuan dengan wajah yang selalu terlihat letih namun penuh kasih sayang, mendekat dengan senyum tipis di bibirnya.

Rayhan mengangguk pelan, meskipun hatinya tidak sepenuhnya setuju. "Aku tahu, Bu."

"Tapi kamu juga harus jaga dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Terkadang... ayahmu terlalu berlebihan," ibunya menambahkan, lalu memberikan pelukan hangat.

Rayhan membiarkan pelukan itu berlangsung sejenak, menikmati sedikit kenyamanan yang diberikan oleh ibunya. Namun, ketika pelukan itu berakhir, beban itu kembali terasa. Berat. Menekan.

"Iya, Bu. Aku akan baik-baik saja."

***

Hari kedua di SMA Harapan Bangsa berjalan seperti yang ia duga—penuh tatapan sinis dan bisikan-bisikan di lorong. Di kelas, Ardi dan kelompoknya tampak sengaja memilih tempat duduk di dekat Rayhan. Setiap gerakan kecil Rayhan seperti undangan bagi mereka untuk mencemooh.

"Hei, si kutu buku sudah siap buat hari ini?" Ardi menyindir sambil menepuk bahu Rayhan dengan keras. Teman-temannya tertawa kecil di belakangnya.

Rayhan menoleh perlahan. "Aku cuma mau belajar. Nggak ada masalah kan?" jawabnya, tetap tenang. Tentu saja, Ardi tidak puas dengan jawaban itu.

"Terserah kamu. Tapi ingat, di sini yang lemah cuma jadi penonton," Ardi berbisik tajam, lalu kembali ke kursinya.

Rayhan menundukkan kepala, membiarkan kata-kata itu berlalu begitu saja. Tidak ada gunanya melawan sekarang. Itu adalah mantra yang terus ia ulang dalam kepalanya. Ia tahu apa yang ia mampu. Tapi dia tidak boleh melawan. Tidak di sini, tidak dengan situasi seperti ini.

Saat jam istirahat tiba, Rayhan menyelinap keluar kelas, berusaha menghindari Ardi dan gengnya. Namun, saat berjalan di koridor yang sepi, ia mendengar suara langkah kaki yang mengekor di belakangnya.

"Rayhan!" Suara itu menghentikan langkahnya.

Rayhan menoleh dan melihat sosok gadis dengan wajah yang akrab. Nadiana Ilona, salah satu teman sekelasnya yang sejak awal tidak banyak bicara dengannya, kini berdiri tak jauh. Dengan raut muka yang sedikit tegang, dia berjalan mendekat.

"Kamu nggak apa-apa? Aku lihat Ardi dan anak-anaknya selalu gangguin kamu," tanya Nadia, suaranya sedikit berbisik.

Rayhan tersenyum tipis, mencoba meyakinkan. "Nggak apa-apa. Aku bisa urus mereka."

Nadia mengerutkan kening. "Mereka nggak akan berhenti, Rayhan. Mereka bakal terus ganggu kamu kalau kamu nggak balas. Dan Ardi... dia bukan tipe orang yang gampang berhenti."

Rayhan hanya mengangguk. Ia tahu Nadia mungkin benar. Tapi ia tidak bisa mengambil risiko. "Aku punya alasan sendiri, Nadia. Aku nggak bisa melawan mereka sekarang."

Nadia terdiam sejenak, menilai ekspresi Rayhan yang tampak serius. "Baiklah. Tapi kalau kamu butuh bantuan, aku di sini," katanya sebelum berjalan pergi meninggalkan Rayhan sendirian di lorong.

Rayhan menghela napas panjang, merasa semakin terjepit di antara dua dunia. Dunia di mana ia harus menjadi anak penurut yang tidak boleh melawan, dan dunia di mana ia harus menjadi sosok yang kuat dan bertahan di hadapan para penindas.

***

Sore itu, setelah sekolah, Rayhan kembali ke rumah. Ia segera menuju ruang latihan kecil yang ada di sudut rumahnya, ruangan yang ia minta dari ayahnya untuk menjaga kondisi fisiknya sebagai seorang mantan atlet. Di dalam ruangan itu, ada samsak tua yang sudah dipenuhi bekas pukulan.

Rayhan menatap samsak itu untuk beberapa detik, mencoba menenangkan pikirannya. "Ayah bilang jangan terlibat dalam perkelahian," ingatnya. Namun, tidak ada yang mengatakan ia tidak boleh berlatih.

Dengan gerakan cepat dan terukur, Rayhan mulai melepaskan pukulan demi pukulan ke samsak itu. Setiap pukulan seolah mewakili rasa frustrasinya—terhadap ayahnya, terhadap Ardi, terhadap dirinya sendiri yang tidak bisa bertindak sesuai keinginannya.

Pukulan terakhir menghantam samsak dengan keras, membuatnya bergoyang ke belakang. Napas Rayhan terengah-engah, namun kepalanya terasa sedikit lebih ringan.

Ia duduk di lantai, terdiam di antara desahan napasnya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa suatu hari ia tidak akan bisa terus menahan diri. Suatu hari, semua ini akan meledak. Tapi untuk sekarang, ia harus bertahan. Bertahan demi ayahnya, demi kehidupan yang telah diatur untuknya.

Namun, untuk berapa lama lagi?

Dua Wajah Reyhan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang