Pertemuan dengan Teman Pertama

20 16 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Persahabatan adalah jembatan yang menghubungkan hati yang terasing."

*
*
*

Bab 4: Pertemuan dengan Teman Pertama

Keesokan harinya, Rayhan duduk di bangku belakang kelas, berusaha menenangkan pikirannya yang masih terusik oleh kejadian kemarin. Dia masih bisa membayangkan Beni terbaring lemah di tanah sementara Ardi dan kelompoknya tertawa puas. Rayhan menyesal tidak melakukan apa pun, tapi dia tahu bahwa melawan saat itu mungkin akan memperburuk keadaan-baik di sekolah maupun di rumah.

Hari ini, cuaca mendung, seolah mencerminkan perasaannya. Di kelas, suasana juga terasa lebih suram. Rayhan memerhatikan bahwa beberapa siswa yang biasanya ribut dan penuh canda tawa terlihat murung. Mungkin karena ada ujian mendadak dari guru, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam sedang terjadi di balik senyum mereka.

"Rayhan, boleh duduk di sini?" Suara lembut mengalihkan perhatiannya dari lamunan.

Rayhan mendongak dan melihat sosok Nadia berdiri di sebelahnya. Wajahnya ramah, meskipun ada sedikit keraguan di matanya.

Rayhan mengangguk pelan. "Boleh."

Nadia duduk di kursi di sebelahnya. Beberapa detik berlalu dalam keheningan canggung, hingga akhirnya Nadia memecahnya. "Aku lihat kamu kemarin... di lapangan belakang. Kamu hampir melawan Ardi."

Rayhan merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia mengingat situasi itu-kekacauan di dalam dirinya saat harus memutuskan apakah akan bertindak atau tidak. "Aku nggak mau cari masalah," jawabnya singkat.

Nadia menatapnya lebih lama, seolah mencoba memahami alasan di balik sikap Rayhan. "Aku tahu itu, tapi... kadang kita harus melawan, Rayhan. Bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk orang lain yang nggak bisa membela dirinya."

Kata-kata Nadia menggema di benak Rayhan. 'Untuk orang lain yang tidak bisa membela dirinya.' Apakah ia harus melawan demi Beni kemarin? Rayhan tahu ia memiliki kekuatan, tapi setiap kali ia berpikir untuk menggunakannya, wajah ayahnya muncul di benaknya-mengingatkannya untuk tetap berada di jalur yang telah ditentukan.

"Aku cuma nggak mau masalah lebih besar," balas Rayhan, berusaha terdengar tenang meski ada konflik batin di dalam dirinya. "Aku harus fokus... pada hal yang lebih penting."

Nadia terdiam sesaat, lalu menundukkan kepala. "Aku ngerti. Tapi ingat, Rayhan, di sekolah ini... Ardi dan gengnya nggak akan berhenti. Kalau kamu nggak balas, mereka akan terus-terusan ganggu kamu."

Rayhan menatap Nadia, menyadari bahwa di balik peringatan itu, Nadia peduli padanya-bahkan meski mereka hampir tidak pernah bicara sebelumnya. Ada kehangatan di kata-katanya, kehangatan yang selama ini jarang Rayhan rasakan sejak ia tiba di sekolah ini.

"Kenapa kamu peduli?" tanya Rayhan akhirnya, merasa bahwa pertanyaan itu pantas untuk diajukan.

Nadia mengangkat bahu, sambil tersenyum tipis. "Aku juga dulu pernah jadi korban Ardi. Mereka nggak akan berhenti sampai kamu berdiri sendiri. Tapi... aku beruntung punya teman yang mau membantuku."

Rayhan merasa ada rasa malu yang menjalar di dirinya. Dia berpikir tentang bagaimana Nadia mungkin pernah mengalami hal yang lebih buruk dari yang dialaminya saat ini, namun tetap bisa kuat. Sementara dirinya, seorang yang mampu melawan, malah memilih untuk menghindar.

"Tapi kamu nggak perlu melawan sendirian," lanjut Nadia. "Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa andalkan aku."

Rayhan tidak pernah membayangkan bahwa seseorang seperti Nadia-yang terlihat tenang dan hampir tak terdengar di kelas-akan menawarkannya bantuan. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Nadia berbicara, dan untuk pertama kalinya, Rayhan merasa ia tidak sepenuhnya sendirian di sekolah ini.

"Terima kasih, Nadia," jawab Rayhan akhirnya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Aku akan ingat itu."

Nadia tersenyum, kali ini lebih cerah, sebelum kembali fokus pada buku pelajarannya. Meski percakapan mereka berakhir, Rayhan merasa ada sesuatu yang berbeda. Kehadiran Nadia membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Ia kini memiliki seseorang yang memahami apa yang sedang ia hadapi, dan meskipun ia belum siap untuk bertindak, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak harus melawan sendirian.

***

Saat bel sekolah berbunyi menandakan waktu istirahat, Rayhan berjalan keluar kelas dengan lebih santai dari biasanya. Ia mengarahkan langkahnya menuju kantin, berharap bisa mendapatkan sedikit waktu untuk merenung. Namun, saat melewati koridor, ia kembali melihat Beni-kali ini sendirian, duduk di bangku dengan kepala menunduk.

Tanpa berpikir panjang, Rayhan mendekati Beni dan duduk di sebelahnya. Awalnya, Beni tidak menyadari kehadirannya hingga Rayhan membuka suara.

"Beni," panggil Rayhan pelan. "Kamu nggak apa-apa?"

Beni mendongak, matanya menunjukkan kelelahan yang dalam. "Aku baik-baik saja," jawabnya singkat, meski jelas terlihat bahwa ia sedang berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.

Rayhan tahu perasaan itu. "Dengar," ucapnya, mencoba lebih lembut. "Aku lihat apa yang terjadi kemarin. Maaf, aku nggak bisa bantu."

Beni hanya mengangguk, meski raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak terlalu peduli. "Bukan urusan kamu. Lagipula, mereka selalu begitu. Aku sudah biasa."

"Harusnya nggak perlu terbiasa," balas Rayhan. "Nggak ada yang harus diperlakukan kayak gitu."

Beni tersenyum pahit. "Di sekolah ini, yang kuat menang. Kalau kamu lemah, ya seperti aku-kamu harus siap untuk diinjak."

Rayhan diam mendengar kalimat itu. Ada kebenaran dalam kata-kata Beni, sesuatu yang ia lihat sendiri sejak pertama kali datang ke sekolah ini. Tapi, entah mengapa, mendengar hal itu diucapkan dengan begitu pasrah membuatnya merasa marah-bukan hanya pada Ardi dan kelompoknya, tapi juga pada dirinya sendiri.

"Kamu nggak sendirian," kata Rayhan akhirnya, suaranya penuh keyakinan. "Aku mungkin nggak bisa banyak bantu sekarang, tapi aku janji... ini nggak akan terus begini."

Beni menatap Rayhan, terkejut mendengar kata-kata itu. "Kamu serius?"

Rayhan mengangguk. "Aku nggak tahu bagaimana caranya, tapi aku janji. Kita nggak akan terus-terusan diinjak."

Beni terdiam lama, sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Terima kasih, Rayhan."

Setelah percakapan itu, Rayhan meninggalkan Beni dengan perasaan yang campur aduk. Ia tahu bahwa ucapannya adalah janji yang berat, tapi kali ini, ia tidak bisa lagi hanya menjadi penonton. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya-keinginan untuk melawan semakin kuat, meski ia masih harus menyeimbangkannya dengan harapan ayahnya.

***

Sepulang sekolah, Rayhan duduk di ruang latihannya seperti biasanya. Dia menatap samsak tua di depannya dengan perasaan yang bercampur. Setiap hari, ia terus menekan kekuatan yang ia miliki, terus berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya di sekolah. Tapi, semakin hari, semakin sulit baginya untuk menahan semua itu.

Dengan satu gerakan cepat, Rayhan melayangkan pukulan ke samsak, memukulnya dengan keras. Suara pukulan itu bergema di ruangan kecil itu, namun tidak ada yang bisa mendengarnya. Hanya dirinya yang tahu bagaimana setiap pukulan itu menyimpan rasa frustrasi yang telah lama terpendam.

"Berapa lama lagi aku bisa menahan ini?" pikirnya.

Sambil terus memukul, Rayhan mulai menyadari satu hal: bahwa mungkin, cepat atau lambat, ia harus membuat pilihan. Tetap menjadi Rayhan yang diam dan patuh, atau melawan mereka yang terus menginjak orang-orang seperti Beni-dan mungkin, melawan ayahnya sendiri.

Pilihan itu semakin mendekat. Dan Rayhan tahu, ia tidak bisa terus menghindar.

Dua Wajah Reyhan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang