HAPPY READING
NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA
MUNGKIN ADA BEBERAPA YANG BELUM TERBIASA DENGAN PENULISAN SEPERTI INI. KALAU MAU SKIP, SKIP AJA. SAYA INGIN MENCOBA PENULISAN YANG BERBEDA
"Perubahan adalah langkah pertama menuju penemuan diri, meski sering kali dimulai dalam kesendirian."
*
*
*Bab 1: Kedatangan Rayhan di Sekolah Baru
Rayhan Devano Alvarendra berdiri di depan gerbang SMA Harapan Bangsa, memandangi bangunan besar yang menjulang tinggi di depannya. Sekolah ini terlihat megah, hampir seperti istana bagi kaum elit. Segalanya tampak sempurna dari luar-sekolah dengan reputasi terbaik, murid-murid berpakaian rapi, mobil-mobil mewah berjejer di tempat parkir, dan tentu saja, harapan yang setinggi langit. Namun, di balik wajah dinginnya, Rayhan merasa tidak nyaman.
Dia menarik napas dalam-dalam dan berjalan masuk. Langkah-langkahnya terdengar berat di telinganya sendiri. "Ini hanya sekolah lain," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini tidak seburuk yang terlihat.
Namun, dia tahu, ini bukan sekadar sekolah. Di sini, para siswa berkuasa bukan karena kepintaran atau prestasi akademis. Di sini, kekuatan dan uang adalah segalanya, dan Rayhan? Ia hanya siswa pindahan yang terpaksa mengubur impian dan kemampuannya karena tuntutan sang ayah.
Di aula, ia disambut oleh tatapan-tatapan ingin tahu. Beberapa murid berbisik-bisik di sudut, ada yang meliriknya sambil tertawa kecil, sementara yang lain tidak peduli sama sekali. Rayhan sudah terbiasa dengan perhatian semacam ini-sikap dingin dan tatapan mencemooh. Namun, perasaan terasing ini masih mengganggunya.
Seorang guru perempuan menghampirinya dengan senyum tipis. "Kamu Rayhan, kan? Siswa pindahan dari Jakarta?" tanya guru itu ramah.
Rayhan mengangguk. "Iya, Bu."
"Ikut saya, saya akan mengantarkanmu ke kelas."
Dalam diam, Rayhan mengikuti guru itu menyusuri lorong sekolah. Langkah mereka terhenti di depan sebuah kelas besar. "Ini kelasmu. Semoga kamu cepat menyesuaikan diri," katanya sambil mendorong pintu.
Rayhan memasuki kelas, disambut dengan suasana yang ramai. Seperti yang diduganya, sebagian besar siswa langsung berhenti berbicara dan mulai memandangnya dengan tatapan yang tidak bersahabat. Salah satu dari mereka, seorang siswa berbadan besar dengan rambut bergaya klimis, tersenyum mengejek.
"Hei, lihat! Siswa baru!" seru siswa itu, diikuti gelak tawa teman-temannya.
Rayhan hanya menghela napas. "udah dimulai," pikirnya. Pengalaman pindah sekolah tidak pernah mudah, terutama ketika ia harus terus menjalani peran ini-menjadi sosok yang lemah dan tidak mencolok. Tepat seperti yang diinginkan ayahnya.
***
Setelah pelajaran pertama usai, Rayhan menuju kantin. Meski kelas berakhir tanpa insiden besar, ejekan dari beberapa siswa tak pernah berhenti. Suasana di kantin pun tak kalah menegangkan. Sekelompok siswa duduk di salah satu sudut ruangan, tertawa dan saling bercanda. Rayhan bisa merasakan tatapan mereka saat ia mengambil tempat duduk sendirian di ujung kantin.
Seorang siswa bertubuh kekar mendekat, diikuti beberapa anak lainnya. Wajahnya menyiratkan arogansi, dan tatapannya tajam menilai Rayhan dari ujung kepala hingga kaki.
"Kamu siswa baru, kan?" tanyanya, tanpa basa-basi.
Rayhan menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "Iya," jawabnya pendek.
"Namaku Arkan Daharyadika, biasa dipanggil ardi" kata siswa itu, suaranya rendah namun jelas. "Kamu tahu, di sekolah ini, ada aturan tak tertulis yang harus kamu patuhi."
Rayhan menatap Ardi lebih lama, mencoba menilai maksud dari kalimat tersebut. "Apa maksudmu?"
Ardi mendekat, wajahnya semakin serius. "Di sini, yang berkuasa adalah mereka yang kuat. Kalau kamu nggak kuat, ya jangan sok-sokan."
Teman-teman Ardi tertawa kecil di belakangnya, seolah ucapan itu adalah lelucon yang lucu. Tapi Rayhan tidak tersenyum. Ia tahu tipe-tipe seperti Ardi, anak-anak yang merasa dunia ada di bawah kaki mereka hanya karena fisik atau kekayaan.
"Aku nggak ada urusan sama aturan kalian," balas Rayhan datar, mencoba menghindari konfrontasi.
Ardi tersenyum sinis. "Bagus kalau kamu tahu diri. Jangan bikin masalah, atau kamu bakal susah di sini."
Rayhan hanya menunduk, tidak mau memperpanjang percakapan yang jelas-jelas bertujuan untuk menekannya. "Untuk sekarang, aku harus bertahan," pikirnya. Ia tidak ingin menarik perhatian, apalagi memancing masalah lebih besar.
***
Malam itu, di rumah, Rayhan duduk di meja belajarnya, mengerjakan tugas yang diberikan di sekolah. Di belakangnya, suara televisi terdengar samar, namun fokusnya terpecah saat ayahnya, Mahen Alvarendra, masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk.
"Apa yang kamu lakukan hari ini?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Rayhan menoleh, agak terkejut. "Sekolah, seperti biasa."
"Kamu belajar kan? Jangan sampai lupa apa tujuanmu pindah ke sekolah itu," suara ayahnya terdengar dingin dan penuh tuntutan.
"Iya, Yah. Aku belajar," jawab Rayhan pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Dia tahu, ayahnya tidak akan menerima alasan apa pun.
"Bagus. Jangan sekali-kali mengecewakan ayah. Kamu tahu kenapa kamu ada di sana. Bukan untuk main-main, tapi untuk menjadi yang terbaik. Tidak ada ruang untuk kelemahan," ujar ayahnya tajam, lalu pergi begitu saja, meninggalkan Rayhan dalam hening yang penuh tekanan.
Rayhan memejamkan mata, menahan napas. "Aku tidak bisa terus begini," pikirnya. "Aku harus menyeimbangkan semuanya, meskipun rasanya hampir mustahil."
Namun di lubuk hatinya, Rayhan tahu bahwa sekolah ini adalah medan tempur lain. Tempat di mana ia harus melindungi dua hal: reputasi akademis yang diinginkan ayahnya, dan jati dirinya yang ingin bebas.
Dan dia hanya bisa berharap tidak akan kehilangan keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Wajah Reyhan
Genç KurguRayhan Devano Alvarendra, seorang siswa pindahan yang pendiam dan kutu buku, terjebak di sekolah baru yang dikuasai oleh kekuatan fisik dan status sosial. Di balik penampilannya yang culun, Rayhan sebenarnya adalah seorang atlet Muay Thai nasional y...