Kemarahan Ayah

2 1 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Kemarahan yang lahir dari kekecewaan sering kali mengaburkan kasih sayang yang tersembunyi di baliknya."

*
*
*

Bab 18: Kemarahan Ayah

Rayhan menghela napas panjang saat dia tiba di rumah, bahunya masih terasa nyeri akibat pukulan Faisal. Setiap langkah menuju pintu depan rumahnya terasa berat, bukan hanya karena rasa sakit fisik, tetapi juga beban mental yang semakin menumpuk. Masalah di sekolah semakin besar, dan Rayhan tahu bahwa pertarungan belum benar-benar berakhir. Tapi ada sesuatu yang lebih besar yang menunggunya di rumah-konfrontasi dengan ayahnya.

Saat Rayhan membuka pintu, dia mendengar suara ayahnya berbicara dengan nada serius di ruang tamu. "Kamu dari mana?" tanya Pak Alvarendra segera setelah Rayhan masuk.

Rayhan mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Dari sekolah, Yah. Aku pulang agak telat," jawabnya sambil melepas sepatunya.

Ayahnya bangkit dari kursi, tatapannya langsung tertuju pada Rayhan, yang masih mengenakan seragam sekolah yang sedikit kusut. "Aku dapat telepon dari guru hari ini," kata ayahnya dengan nada tajam. "Kamu terlibat perkelahian lagi?"

Rayhan merasakan tenggorokannya menegang. Dia tahu bahwa masalah ini tidak bisa dihindari lagi. "Aku nggak cari perkelahian, Yah," jawabnya perlahan. "Mereka yang datang padaku."

Pak Alvarendra mengerutkan dahi, wajahnya memerah karena marah. "Jangan beri aku alasan, Rayhan. Kamu bilang kamu bisa mengatasi masalah ini. Kamu janji tidak akan terlibat dalam masalah seperti ini lagi!"

Rayhan mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menahan diri agar tidak membalas dengan marah. "Aku nggak punya pilihan, Yah. Ardi dan gengnya terus memaksaku. Aku nggak bisa lari setiap kali mereka datang. Aku harus melawan."

Ayahnya melangkah mendekat, nadanya semakin keras. "Kamu pikir berkelahi akan menyelesaikan masalah? Kamu pikir kekerasan itu solusi? Aku sudah cukup bersabar denganmu, Rayhan. Aku ingin kamu fokus pada sekolah, bukan membuat masalah seperti ini!"

Rayhan menatap ayahnya, merasakan rasa frustrasi yang selama ini terpendam semakin kuat. "Aku berusaha, Yah! Tapi masalah di sekolah ini lebih besar dari apa yang Ayah kira. Ardi sudah melampaui batas, mereka melibatkan orang dari luar sekolah untuk menjatuhkan aku. Apa Ayah pikir aku bisa tinggal diam?"

Pak Alvarendra terdiam sejenak, matanya menatap tajam ke arah Rayhan. "Dan kamu memilih untuk melawan mereka? Kamu pikir dengan bertarung, kamu akan keluar sebagai pemenang? Kamu tidak bisa selesaikan masalah ini dengan tangan kosong, Rayhan!"

Rayhan menggelengkan kepalanya, mencoba menahan rasa frustrasinya. "Aku sudah mencoba, Yah. Aku mencoba untuk tidak terlibat, tapi mereka tidak akan berhenti sampai aku benar-benar jatuh. Apa aku harus terus diam dan membiarkan mereka menghancurkan aku dan teman-temanku?"

Ayahnya membalas dengan nada yang lebih rendah namun penuh tekanan. "Kamu bisa menyelesaikan masalah ini tanpa kekerasan. Tapi kamu memilih cara yang salah. Kamu seperti mengulangi kesalahan yang kamu buat dulu, Rayhan."

Rayhan menunduk, mengingat masa lalu yang tidak ingin ia ingat. Insiden pertarungan Muay Thai yang menyebabkan lawannya cedera serius masih menghantui pikiran ayahnya, dan sekarang, ayahnya menggunakan itu sebagai alasan untuk terus menekannya. "Ini bukan soal pertarungan lama itu, Yah," ucap Rayhan perlahan, suaranya penuh emosi. "Ini berbeda. Aku hanya ingin melindungi diriku dan teman-temanku."

Pak Alvarendra menghela napas panjang, lalu menatap Rayhan dengan sorot mata yang tajam. "Aku nggak peduli. Mulai sekarang, kamu harus berhenti terlibat dalam perkelahian. Fokus pada sekolah. Jangan biarkan hal ini menghancurkan masa depanmu."

Rayhan terdiam, menatap lantai dengan pandangan kosong. Dia tahu bahwa ayahnya tidak akan mengerti apa yang dia alami. Tidak peduli seberapa besar usahanya menjelaskan, ayahnya selalu kembali ke masalah akademis. Baginya, nilai dan prestasi akademis adalah satu-satunya yang penting.

Setelah beberapa saat hening, Pak Alvarendra berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Rayhan sendirian dengan pikirannya. "Apa gunanya menjelaskan," pikir Rayhan. "Ayah tetap akan melihat ini sebagai kesalahan."

Rayhan berdiri di ruang tamu, memandangi bayangan ayahnya yang semakin jauh. Ia merasa terjebak-di satu sisi, ia harus bertarung untuk melindungi dirinya sendiri dan teman-temannya, tapi di sisi lain, ia harus berhadapan dengan ekspektasi ayahnya yang tak pernah berhenti menekannya.

***

Malam itu, Rayhan duduk di kamarnya, menatap buku-buku pelajaran yang berserakan di meja. Namun, pikirannya jauh dari pelajaran. Bayangan perkelahian di sekolah dan percakapan dengan ayahnya terus berputar di kepala, membuatnya sulit untuk fokus.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Rayhan mengambil ponsel itu dan melihat pesan dari Nadia: "Apa kamu baik-baik saja? Gimana di rumah?"

Rayhan menatap pesan itu sejenak sebelum membalas: "Aku baik. Tapi di rumah, nggak jauh beda dengan di sekolah."

Tidak lama kemudian, pesan balasan dari Nadia masuk: "Aku tahu ini berat, Ray. Tapi kamu nggak sendirian. Aku dan Beni selalu ada buat kamu."


Rayhan tersenyum kecil membaca pesan itu. Meski situasi di rumah dan sekolah semakin sulit, dukungan dari Nadia dan Beni memberinya sedikit rasa tenang. "Terima kasih, Nad. Aku hargai itu."

Setelah meletakkan ponselnya, Rayhan berdiri dan berjalan menuju cermin di kamarnya. Di sana, ia menatap dirinya sendiri-seorang siswa yang dianggap culun dan kutu buku di luar, tapi menyimpan kekuatan seorang petarung di dalam. "Kapan semua ini akan berakhir?" pikirnya. Setiap hari terasa seperti pertarungan yang tak ada habisnya.

Namun, di tengah rasa lelah yang menguasai pikirannya, Rayhan juga menyadari satu hal: dia tidak bisa menyerah. Ardi masih menjadi ancaman, dan jika Rayhan menyerah sekarang, dia tidak hanya akan kehilangan harga dirinya, tetapi juga membiarkan teman-temannya menderita.

Dengan tekad baru, Rayhan meraih sarung tinju di sudut ruangan dan mengenakannya. Malam itu, dia kembali berlatih, melepaskan semua rasa frustrasi dan kemarahan yang selama ini dia pendam. Setiap pukulan yang ia lancarkan ke samsak tinju adalah cara untuk melawan rasa takut dan tekanan yang terus menghantuinya. Aku harus siap. Aku tidak bisa mundur sekarang.

***

Keesokan harinya di sekolah, suasana semakin tegang. Rayhan bisa merasakan bahwa sesuatu sedang terjadi di balik layar. Bisikan-bisikan terus terdengar di lorong-lorong sekolah, tatapan siswa lain semakin jelas mengarah padanya.

Saat jam istirahat, Rayhan, Nadia, dan Beni duduk di bangku di halaman sekolah. Beni tampak gelisah, sementara Nadia mencoba menjaga agar suasana tetap tenang.

"Ray, kamu dengar gosip terbaru?" tanya Beni, suaranya terdengar gemetar.

Rayhan menggeleng pelan. "Belum. Ada apa?"

Beni menelan ludah sebelum menjawab. "Aku dengar Ardi merencanakan sesuatu yang lebih besar. Anak-anak bilang mereka dengar dia bicara soal 'aksi terakhir'."

Nadia menatap Rayhan dengan cemas. "Aku dengar hal yang sama. Ini nggak terdengar seperti perkelahian biasa, Ray. Mereka mungkin benar-benar merencanakan sesuatu yang serius."

Rayhan terdiam, mencerna informasi itu. Aksi terakhir?. Ini bukan pertanda baik. Jika Ardi benar-benar merencanakan sesuatu yang besar, Rayhan harus siap untuk segalanya.

"Apa pun itu, kita harus bersiap," kata Rayhan akhirnya, menatap teman-temannya dengan tatapan serius. "Aku nggak akan membiarkan mereka menjatuhkan kita. Jika mereka datang, kita harus siap."

Nadia menggenggam tangan Rayhan, menatapnya dengan penuh tekad. "Kami di sini untuk kamu, Ray. Kita akan hadapi ini bersama."

Rayhan tersenyum kecil, merasa sedikit lebih kuat meskipun ancaman semakin nyata. "Terima kasih, Nad. Aku akan pastikan kita nggak jatuh."

Meskipun Rayhan merasa didukung oleh teman-temannya, ia tahu bahwa pertempuran terbesar masih di depan. Dan kali ini, dia harus lebih siap dari sebelumnya.

Dua Wajah Reyhan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang