Tekanan Akademis Meningkat

16 12 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Ambisi tanpa pengertian adalah penjara bagi jiwa yang mencari kebebasan."

*
*
*

Bab 6: Tekanan Akademis Meningkat

Malam itu, Rayhan duduk di meja belajarnya, menatap buku yang terbuka di depannya. Namun, pikirannya jauh dari materi pelajaran. Kata-kata Ardi masih terngiang di kepalanya: "Kamu pikir kamu kuat?" Pertanyaan itu lebih dari sekadar ejekan. Itu adalah tantangan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Rayhan menghela napas panjang. Di satu sisi, dia merasa bangga telah berdiri di hadapan Ardi hari ini. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran yang semakin hari semakin berat di pundaknya—kekhawatiran akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ardi jelas tidak akan membiarkan masalah ini selesai begitu saja, dan Rayhan tahu bahwa ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Sementara dia tenggelam dalam pikirannya, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya. Sebelum Rayhan sempat menjawab, pintu terbuka dan ayahnya, Pak Alvarendra, masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.

"Rayhan," panggil ayahnya singkat, lalu langsung menuju ke arah meja belajar Rayhan. "Sudah berapa lama kamu belajar malam ini?"

Rayhan menatap ayahnya, berusaha menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba muncul. "Baru mulai, Yah."

Pak Alvarendra menatap buku pelajaran yang terbuka di meja Rayhan, lalu menghela napas. "Kamu tahu ini bukan hanya soal memulai, Rayhan. Kamu harus konsisten. Ujian semakin dekat, dan nilai kamu harus di atas rata-rata kalau mau jadi yang terbaik."

Rayhan mengangguk perlahan. "Iya, aku tahu, Yah."

Namun, di dalam dirinya, Rayhan merasa semakin tertekan. Setiap kali ayahnya berbicara soal prestasi akademis, Rayhan selalu merasa bahwa ia sedang berjalan di atas tali yang sangat tipis. Satu kesalahan, dan semuanya bisa runtuh. Ayahnya tidak pernah menerima alasan apa pun, apalagi kegagalan.

"Ayah nggak mau ada masalah di sekolah," lanjut Pak Alvarendra, suaranya penuh peringatan. "Ingat, kamu di sini bukan untuk bermain-main. Kalau ada hal yang mengganggu fokus kamu, segera hentikan. Aku tidak akan mentolerir kegagalan, Rayhan."

Rayhan menelan ludah. Dia tahu apa yang dimaksud ayahnya. Meskipun ayahnya belum mendengar apa yang terjadi di sekolah—tentang Ardi, Beni, dan semua ketegangan sosial yang dia hadapi—Rayhan tahu bahwa setiap langkah yang salah bisa berarti masalah besar di rumah.

"Aku akan fokus, Yah. Nggak ada masalah di sekolah," jawab Rayhan dengan suara pelan.

Ayahnya menatapnya selama beberapa detik, seolah mencoba membaca apakah Rayhan benar-benar jujur. Setelah beberapa saat, Pak Alvarendra akhirnya mengangguk.

"Bagus. Kalau begitu, ayah harap kamu terus fokus. Jangan sampai kecewakan ayah."

Setelah mengatakan itu, Pak Alvarendra meninggalkan kamar Rayhan, menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Namun, keheningan itu terasa lebih berat daripada sebelumnya.

Rayhan memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. "Aku nggak bisa mengecewakan ayah," pikirnya. Tapi di dalam hati, ia tahu bahwa semakin lama, ia semakin sulit menyeimbangkan harapan ayahnya dengan apa yang terjadi di sekolah.

***

Keesokan harinya, saat tiba di sekolah, Rayhan merasa ketegangan yang menggantung di udara. Meski Ardi tidak langsung menghadangnya, Rayhan tahu bahwa pertemuan mereka berikutnya hanya tinggal menunggu waktu. Ia berusaha untuk tetap tenang, tapi pikiran tentang apa yang mungkin akan terjadi terus menghantuinya.

Saat jam istirahat, Rayhan memutuskan untuk menghindari kantin dan kembali ke perpustakaan, tempat yang selalu memberinya ketenangan. Namun, kali ini, perpustakaan tidak sepenuhnya sepi. Saat ia masuk, Nadia sudah duduk di salah satu meja, dengan setumpuk buku di depannya.

"Hei, Rayhan," sapa Nadia dengan senyum hangat saat melihatnya masuk.

Rayhan tersenyum tipis dan duduk di seberang Nadia. "Hei. Lagi belajar?"

"Ya, sedikit," jawab Nadia sambil melirik buku di depannya. "Kamu sendiri? Kenapa nggak di kantin?"

Rayhan mengangkat bahu. "Nggak terlalu suka keramaian."

Nadia tertawa kecil. "Aku juga. Makanya aku sering di sini."

Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa menit, menikmati suasana tenang perpustakaan. Namun, Rayhan bisa merasakan bahwa Nadia ingin mengatakan sesuatu. Ada kegelisahan yang tampak jelas di wajahnya.

"Rayhan," akhirnya Nadia berbicara, nadanya sedikit ragu. "Aku dengar cerita dari beberapa teman... tentang apa yang terjadi kemarin. Kamu melawan Ardi?"

Rayhan menghela napas panjang. "Bukan melawan, sebenarnya. Aku cuma... nggak mau mereka terus-terusan ganggu orang lain."

Nadia mengangguk, meski wajahnya tampak khawatir. "Aku paham. Tapi kamu tahu kan, Ardi nggak akan berhenti begitu saja? Dia pasti akan cari cara buat balas dendam."

Rayhan menatap Nadia, lalu mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku nggak bisa terus diam, Nadia. Kalau kita terus-terusan ngalah, mereka akan pikir mereka bisa melakukan apa saja."

Nadia menatapnya dengan tatapan prihatin. "Aku cuma nggak mau kamu terjebak dalam masalah yang lebih besar. Ardi dan gengnya... mereka punya pengaruh besar di sekolah ini."

Rayhan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Nadia. Ia tahu Nadia benar, dan kekhawatirannya bukan tanpa alasan. Namun, ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar rasa takut. Ada perasaan bahwa ia harus berdiri melawan apa yang salah, meskipun itu berarti harus menghadapi risiko yang besar.

"Aku nggak bisa terus menghindar," jawab Rayhan akhirnya, nadanya tenang tapi tegas. "Kalau aku nggak melawan sekarang, aku akan menyesal nanti."

Nadia menatapnya, lalu tersenyum kecil. "Kamu keras kepala, ya?"

Rayhan tersenyum, meski rasa cemas tetap ada di dalam dirinya. "Mungkin."

Percakapan mereka kembali sunyi, namun ada rasa pengertian di antara mereka. Nadia mungkin tidak sepenuhnya setuju dengan keputusan Rayhan, tapi dia mengerti bahwa ini adalah sesuatu yang harus Rayhan hadapi sendiri. Dan meskipun Nadia khawatir, dia tetap ada di samping Rayhan sebagai teman.

***

Di kelas, suasana hari itu terasa lebih tegang dari biasanya. Rayhan bisa merasakan tatapan Ardi dari bangku seberang, seolah menunggu waktu yang tepat untuk bergerak. Namun, yang mengejutkan, tidak ada konfrontasi langsung. Ardi hanya menatapnya sesekali, seolah merencanakan sesuatu, tapi tidak bertindak.

Ketegangan itu berlanjut hingga bel pulang berbunyi. Rayhan menyiapkan buku-bukunya dengan cepat, berharap bisa segera keluar sebelum Ardi dan teman-temannya menghadangnya. Namun, saat ia keluar kelas, sebuah tangan menepuk pundaknya.

"Rayhan."

Rayhan menoleh dan melihat Ardi berdiri di belakangnya, dengan senyum yang sulit diartikan.

"Aku cuma mau bilang satu hal," kata Ardi pelan namun tajam. "Kamu mungkin merasa berani sekarang, tapi ingat... sekolah ini bukan cuma tempat buat anak pintar. Di sini, yang kuat yang berkuasa. Jadi, jangan terlalu sombong kalau kamu belum benar-benar tahu cara mainnya."

Rayhan menatap Ardi tanpa berkata apa-apa. Bagian dari dirinya ingin membalas, ingin mengatakan bahwa dia tidak takut. Tapi ia tahu bahwa kata-kata tidak akan menyelesaikan apa pun. Sementara Ardi berjalan menjauh, Rayhan hanya berdiri di sana, menyadari bahwa ancaman itu bukan hanya sekadar ejekan.

Ancaman Ardi adalah kenyataan yang harus dihadapinya. Dan Rayhan tahu, cepat atau lambat, ia akan dipaksa untuk menghadapi Ardi—bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan sesuatu yang lebih besar.

Namun, untuk sekarang, Rayhan hanya bisa berharap bahwa hari itu tidak datang terlalu cepat. Karena di balik semua ketegangan di sekolah, masih ada satu hal yang lebih menekan pikirannya—tuntutan ayahnya. Nilai ujian yang akan datang, dan harapan ayahnya yang tampaknya semakin sulit untuk dipenuhi.

Sambil berjalan pulang, Rayhan merasa berat di pundaknya semakin bertambah. "Aku harus menemukan cara untuk menyelesaikan ini," pikirnya. "Sebelum semuanya lepas kendali."

Dua Wajah Reyhan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang