HAPPY READING
NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA
"Cinta seorang ayah bisa menjadi belenggu, tetapi juga kunci untuk pembebasan."
*
*
*Bab 28: Kemarahan Sang Ayah
Malam itu, suasana di rumah Rayhan terasa sunyi dan tegang. Setelah insiden di sekolah, Rayhan merasa bahwa situasi mulai membaik. Dia telah membuat langkah besar dengan mengalahkan Ardi secara fisik dan moral, dan meskipun masalah belum sepenuhnya selesai, setidaknya dia punya rencana untuk mengungkap kebusukan Ardi di depan siswa-siswa lain.
Namun, satu masalah besar masih menunggunya di rumah—ayahnya.
Saat Rayhan baru saja selesai makan malam, ayahnya, Pak Alvarendra, tiba-tiba memanggil dari ruang tamu. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, penuh dengan nada serius yang Rayhan kenal betul.
"Rayhan, kita harus bicara," kata ayahnya tegas.
Rayhan merasakan perutnya berdesir. Ia tahu percakapan ini akan sulit. Selama ini, ayahnya sangat menentang keterlibatan Rayhan dalam hal apa pun yang berbau kekerasan. Setelah insiden pertarungan Muay Thai yang pernah menimpa Rayhan di masa lalu, Pak Alvarendra menjadi sangat protektif, terutama dalam hal apapun yang terkait dengan pertarungan fisik.
Dengan langkah pelan, Rayhan berjalan menuju ruang tamu, di mana ayahnya sudah duduk di sofa, wajahnya tampak tegang. Ibu Rayhan tidak terlihat, mungkin sengaja meninggalkan mereka untuk memberi ruang bagi percakapan ini.
Rayhan duduk di seberang ayahnya, merasa gelisah.
"Aku dengar dari gurumu tadi siang," kata Pak Alvarendra tanpa basa-basi, menatap Rayhan tajam. "Kamu terlibat perkelahian lagi. Di sekolah."
Rayhan menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Itu bukan perkelahian biasa, Yah. Ardi menantangku, dan aku—"
"Berapa kali aku bilang, Rayhan?!" potong ayahnya dengan nada marah. "Kamu nggak boleh terlibat dalam kekerasan lagi! Apa kamu nggak belajar dari insiden dulu? Setiap kali kamu bertarung, kamu menempatkan dirimu dalam bahaya. Dan sekarang, kamu malah melakukannya di sekolah?"
Rayhan mencoba menahan emosinya. Dia tahu ayahnya tidak akan mudah mengerti. "Aku nggak punya pilihan, Yah. Kalau aku nggak melawan, Ardi akan terus mengancamku dan teman-temanku. Aku tidak bisa tinggal diam saat dia terus menindas orang lain."
Pak Alvarendra menggelengkan kepala, masih dengan tatapan marah. "Ini bukan soal pilihan, Rayhan. Kamu bisa menyelesaikan masalah tanpa harus menggunakan kekerasan. Kamu pintar, kamu punya otak. Kenapa kamu selalu memilih untuk bertarung?"
Rayhan mengepalkan tangan di samping tubuhnya, mencoba menahan rasa frustrasi yang semakin menumpuk. "Aku nggak memilih untuk bertarung, Yah! Aku mencoba menghindar selama mungkin, tapi Ardi nggak akan berhenti sampai aku melawannya. Ini bukan hanya tentang aku—ini juga tentang teman-temanku yang jadi korban. Kalau aku nggak melawan, dia akan terus menghancurkan hidup mereka."
Pak Alvarendra menatap Rayhan dalam-dalam, suaranya menjadi lebih rendah tapi tetap tegas. "Kamu pikir dengan bertarung, kamu bisa menyelesaikan masalah? Kekerasan hanya akan membawa lebih banyak masalah, Rayhan. Lihat apa yang terjadi sekarang. Kamu dihadapkan pada masalah besar di sekolah, dan aku khawatir ini akan memengaruhi masa depanmu."
Rayhan terdiam, merasa dilema yang selama ini ia hadapi semakin nyata. Dia tahu ayahnya tidak sepenuhnya salah, tapi dia juga merasa bahwa dalam situasi ini, dia harus bertindak.
"Aku tahu kamu khawatir, Yah," kata Rayhan dengan suara lebih pelan. "Tapi aku berusaha untuk tidak menggunakan kekerasan. Aku mencoba menyelesaikan ini dengan cara yang lebih baik. Dan sekarang, kami punya rencana untuk menghentikan Ardi tanpa harus bertarung lagi."
Pak Alvarendra mengangkat alisnya, meskipun ekspresinya masih tampak skeptis. "Rencana apa?"
Rayhan menarik napas panjang, lalu mulai menjelaskan tentang bagaimana dia, Nadia, dan Beni berencana untuk mengungkap bukti-bukti tentang Ardi dan kelompoknya. Mereka berencana untuk menunjukkan kepada seluruh sekolah bahwa Ardi bukan hanya berkuasa dengan kekerasan, tetapi juga melalui intimidasi, pemerasan, dan ancaman.
"Kami sudah mengumpulkan bukti, Yah," lanjut Rayhan dengan hati-hati. "Pesan-pesan ancaman yang dikirimkan oleh Ardi dan teman-temannya ke siswa-siswa lain. Kami akan tunjukkan semua itu kepada siswa-siswa di sekolah, supaya mereka tahu siapa Ardi sebenarnya. Kalau orang-orang berhenti takut padanya, dia nggak akan punya kekuatan lagi."
Pak Alvarendra terdiam sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan kata-kata Rayhan. "Dan kamu yakin ini akan berhasil? Tanpa melibatkan pertarungan lagi?"
Rayhan mengangguk mantap. "Kami yakin. Ini cara terbaik untuk menghentikan dia tanpa harus menggunakan kekerasan."
Pak Alvarendra menghela napas panjang, wajahnya mulai melunak meskipun masih terlihat lelah. "Rayhan, aku tahu kamu ingin melindungi dirimu dan teman-temanmu. Tapi aku hanya ingin kamu mengerti bahwa kekerasan bukan jawabannya. Kamu punya potensi besar, dan aku nggak mau kamu mengorbankan itu hanya untuk pertarungan yang mungkin tidak akan menyelesaikan apapun."
Rayhan menatap ayahnya, merasa ada perubahan kecil dalam nada bicara ayahnya. Meskipun masih ada ketegangan di antara mereka, Rayhan bisa merasakan bahwa ayahnya mulai memahami situasi yang dia hadapi.
"Aku akan lakukan yang terbaik, Yah," kata Rayhan akhirnya. "Aku nggak akan mengecewakanmu."
Pak Alvarendra mengangguk pelan, meskipun ekspresinya masih penuh dengan kekhawatiran. "Baiklah. Tapi ingat, Rayhan—ini adalah kesempatan terakhirmu. Jangan sampai ini berakhir dengan perkelahian lagi."
Rayhan tersenyum kecil, merasa sedikit lebih lega. "Aku janji, Yah."
***
Setelah percakapan dengan ayahnya, Rayhan kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Meskipun hubungan mereka masih tegang, dia merasa bahwa setidaknya ada pemahaman baru yang mulai terbentuk antara dirinya dan ayahnya. Pak Alvarendra, meskipun keras, sebenarnya hanya ingin melindunginya dari bahaya.
Malam itu, Rayhan merenung tentang apa yang terjadi di sekolah dan di rumah. Dia tahu bahwa hari-hari ke depan akan menjadi sangat menentukan. Pertarungannya dengan Ardi mungkin sudah selesai, tetapi perjuangan untuk mengubah dinamika di sekolah belum berakhir.
Dia harus memastikan bahwa rencana mereka untuk mengungkap kebenaran tentang Ardi berjalan lancar. Hanya dengan begitu, dia bisa memastikan bahwa kekuasaan Ardi benar-benar berakhir, dan sekolah bisa menjadi tempat yang lebih aman bagi semua orang.
Dengan tekad yang semakin kuat, Rayhan berbaring di tempat tidurnya, siap menghadapi apa pun yang akan datang. Dia tahu bahwa perjuangannya belum selesai, tetapi untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa dia tidak lagi berjuang sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Wajah Reyhan
Roman pour AdolescentsRayhan Devano Alvarendra, seorang siswa pindahan yang pendiam dan kutu buku, terjebak di sekolah baru yang dikuasai oleh kekuatan fisik dan status sosial. Di balik penampilannya yang culun, Rayhan sebenarnya adalah seorang atlet Muay Thai nasional y...